Mungkin ada yang membutuhkan tambahan referensi tentang "Larangan Jilbab" mulai dari Purwokerto (Unsoed) sampai Jerman. Silahkan dibaca pada Suara Merdeka 4 Pebruari 2002, Pikiran Rakyat Selasa 10 September 2002, DW-World.DE 23.09.2003 dan Tabloid MQ Jum'at 7 November 2003.
Selamat Berdiskusi Salam Asodik =============== Suara Merdeka Senin, 4 Februari 2002 Internasional Goh Dukung Larangan Jilbab di Kelas TERANCAM: Nurul Nasihah, salah seorang siswa yang masih berjilbab di SD Pasir Putih, diantar ayahnya ketika ke sekolah, Sabtu lalu. Dia Senin ini terancam dikeluarkan, kalau tetap berjilbab di dalam kelas. (Foto: Suara Merdeka/rtr-30) SINGAPURA - Para pelajar putri muslim yang menjadi pokok persoalan dalam pertentangan pemakaian jilbab, akan dikeluarkan dari sekolah bila mereka bersikeras tetap mengenakan jilbab di kelas, kata PM Singapura Goh Chok Tong, dalam komentar yang dimuat surat kabar Sunday Times, Minggu. "Anda tidak boleh menyerah. Bila sekolah menyerah, marilah kita tidak usah punya aturan-aturan apa pun juga," katanya, dalam komentar pertama secara terbuka mengenai permasalahan tersebut. "Jadi, oleh karena itu sangat jelas, mereka akan dikeluarkan," tambahnya. Peraturan di sekolah-sekolah negeri di Singapura menetapkan, para pelajar muslim tidak diperkenankan mengenakan jilbab (di negara itu, disebut tudung). Mereka bebas memakainya begitu keluar dari halaman sekolah. Membela kebijakan pemerintah, yang telah mengundang kritik dari banyak kalangan dan kelompok masyarakat di Malaysia (tetangga Singapura), PM Goh menegaskan bahwa pelarangan penggunaan jilbab bertujuan membina keselarasan antarras di sekolah-sekolah. Isu jilbab tersebut mencuat sejak awal tahun pelajaran baru pada awal Januari lalu, ketika empat murid baru perempuan usia sekitar tujuh tahun - pelajar sekolah dasar - masuk kelas dengan menggunakan tudung. Dua pelajar putri pada pekan ini sudah mengikuti ketentuan sekolah, setelah mendapat tekanan dari sekolahnya. Dua lainnya diberi batas waktu sampai Senin (hari ini) untuk mematuhi ketentuan tersebut, atau dikeluarkan. Reaksi Keras Malaysia Sehubungan dengan isu tersebut, Mustapha Ali, wakil ketua partai oposisi Malaysia, Parti Islam Se-Malaysia (PAS), pada Minggu kemarin mengatakan Singapura harus mengizinkan para pelajar putri setempat mengenakan tudung di kelas. "Tutup kepala tidak akan merusak kesatuan ras. Tidak akan ada masalah," kata Ali. Dia menambahkan, PAS mendukung sikap para orang tua kedua pelajar putri Singapura itu, dan dia merasa tindakannya bukanlah campur tangan PAS dalam urusan internal Singapura. Menteri Wanita dan Pembinaan Keluarga Malaysia, Ny Shahrizat Abdul Jalil, mengatakan setiap orang harus diizinkan mempraktekkan agamanya, dan tidak satu pemerintahan pun yang bisa menuntut hal sebaliknya. "Bagi kebanyakan wanita muslim, meminta mereka mencopot tutup kepala mereka sama seperti meminta mereka untuk tampil telanjang di depan umum," kilah pejabat tinggi Pemerintah Malaysia itu. Nyonya Shahrizal menegaskan, permasalahan tersebut memang urusan internal Singapura, sementara Malaysia berpegangan pada kebijakan untuk tidak mencampurinya. "Namun harus ada semacam rasa penghormatan atas semua agama," katanya. Wakil Menteri Pendidikan Malaysia, Datuk Abdul Aziz, pekan lalu langsung meminta Pemerintah Singapura agar meninjau kembali kebijakan tentang pemakaian tudung di sekolah. Seruan Datuk Aziz langsung ditanggapi Deplu Singapura: "Kami terkejut pada komentar yang disampaikan Wakil Menteri Pendidikan Malaysia Datuk Abdul Aziz. Ini campur tangan dalam urusan internal Singapura." Hampir semua 450.000 etnis Melayu di Singapura beragama Islam. Artinya, agama Islam merupakan agama terbesar kedua setelah Budha di negara tersebut. Populasi Singapura kira-kira empat juta jiwa, sebagian besar etnis Cina. (rtr-ant-ed-30) ========= Pikiran Rakyat Selasa 10 September 2002 Cabut Larangan Berjilbab Mahasiswi Unsoed Protes SE Dirjen Dikti PURWOKERTO, (PR).- Sejumlah mahasiswi berjilbab beberapa fakultas di Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) Purwokerto memprotes pemberlakukan Surat Edaran (SE) Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka meminta agar Rektor Unsoed mencabut ketentuan itu karena peraturan tersebut dinilai sebagai diskriminasi terhadap mahasiswi yang berjilbab. Dalam penerimaan mahasiswa baru, Unsoed memberlakukan ketentuan SE Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Kebudayaan No. 88/D/0/1984 tertanggal 28 Agustus 1984. Dalam SE yang ditandatangani Sukarji Ranuwiharjo menyebutkan untuk keperluan registrasi dan ijazah pas foto harus menghadap lurus ke depan, tidak berkacamata hitam, serta tidak menggunakan tutup kepala dan kedua telinga harus kelihatan. SE itu dikuatkan lagi dengan keluarnya SK No. 097/PT.30.0/1994 yang intinya menyebutkan, untuk mahasiswi berjilbab diperkenankan untuk mengenakan jilbab dengan syarat membuat pernyataan di atas materai Rp 6.000. Dalam surat pernyataannya yang diberlakukan khusus tersebut, antara lain menyebutkan bahwa mahasiswi yang tidak mau menanggalkan jilbabnya dalam pas foto ijazah menyatakan akan menanggung segala risiko jika terjadi sesuatu hal di kemudian hari serta berjanji tidak akan membawa-bawa nama perguruan tinggi (PT) dan sebagainya. SE Dirjen Dikti itu dipasang dibeberapa papan pengumuman pada saat penerimaan mahasiswa baru. Pengumuman tersebut mengundang sejumlah protes mahasiswi baru yang berjilbab sebab ketentuan tersebut pada tahun lalu tidak diberlakukan. Selain itu, beberapa perguruan tinggi (PT) seperti UGM dan Undip tidak mensyaratkan agar pas foto untuk keperluan registari termasuk pas foto untuk ijazah harus menanggalkan jilbabnya atau membuat surat pernyataan. "SE itu telah berlaku diskriminasi terhadap mahasiswa yang mengenakan jilbab," ungkap Kabid Keputrian Unit Kegiatan Kerohanian Islam (UKKI) Masjid Nurul Ulum Unsoed, Yammu Emika Wijaya. Menurutnya, UKKI sudah mengajukan protes ke Universitas dengan tuntutan agar ketentuan itu dicabut. Alasannya, pencabutan karena bersifat diskriminasi. Selain itu, beberapa PT terkemuka telah mengabaikan ketentuan tersebut. Dijelaskan, pada saat UKKI mengajukan protes ke Pembantu Rektor (PR) III Sudjarwo menyatakan bahwa SE itu diberlakukan kembali pada penerimaan mahasiwa 2002/2003 karena Unsoed pada tahun 1998 pernah mendapat teguran keras dari pusat. Mengenai protes terhadap pencabutan dari UKKI, pihak Unsoed tidak akan menarik kembali persyaratan itu karena SE itu masih berlaku juga belum ada peraturan baru yang mengatur tentang pencabutan berlakunya SE N0. 88/D/0/1984," kata Yammu Emika Wijawa mengutip pernyataan Sudjarwo. Pihak UKKI sendiri tetap bersikeras akan melanjutkan protes langsung ke Rektor Unsoed Prof. Dr. Rubiyanto Misman. Rencananya, mereka akan menghadap ke rektor, besok. Tanggapan mahasiswi baru berjilbab beberapa fakultas terhadap peraturan tersebut berbeda-beda, ada yang mau menanggalkan jilbabnya dalam pas foto, sebagian tetap bersikeras pas foto dengan jilbab sehingga harus membuat pernyataan di atas kertas segel dan tidak sedikit yang harus menyediakan dua foto berbeda yang berjilbab dan tidak berjilbab. Namun demikian, peraturan itu telah menimbulkan korban ada satu mahasiswa dari Jakarta yang mengalami stres karena merasa keyakinannya telah terusik. Ketika dikonfirmasi, Rektor Unsoed Rubiyanto Misman mengakui belum mengetahui peraturan tersebut. Dikatakan bahwa peraturan itu tidak berlaku absolut, hanya mungkin dari bagian registrasi tidak mau repot jika ada masalah di kemudian hari. "Dalam bulan ini kita menandatangi penggantian dua ijazah mahasiswi yang telah lulus. Alasan mereka dengan pas foto berjilbab dalam ijazahnya ternyata sulit untuk mendapatkan pekerjaan," kata Rektor. (A-99)*** ======================== DW-World.DE 23.09.2003 Pertikaian Mengenai Masalah Jilbab di Jerman Di Jerman sejak beberapa tahun belakangan pemakaian jilbab oleh kaum perempuan muslim menjadi bahan diskusi yang hangat. Dan menimbulkan pertanyaan bagaimana kemampuan berintegrasi dikalangan masyarakat, serta sejauh mana pluralisme dimungkinkan? Sementara itu Hari Rabu ini, Mahkamah Konstitusi Jerman akan memutuskan, apakah Ferestha Ludin seorang guru Jerman keturunan Afganistan diperbolehkan atau tidak memakai jilbab dalam memberikan pelajaran disekolah. Di Perancis jilbab menjadi masalah yang dipertikaian sejak 14 tahun lalu. Dan Perdana Menteri Raffarin menyatakan tidak tertutup kemungkinan untuk melarang pemakaian jilbab. Sedangkan di Inggris, jilbab bukan menjadi masalah, dan setiap muslimah dengan bebas dapat memakainya, kesekolah atau ketempat kerja. Sedangkan di Jerman belum terdapat peraturan yang seragam. Pada hari Rabu ini, Mahkamah Konstitusi Jerman akan memutuskan apakah Ferestha Ludin seorang guru Jerman keturunan Afganistan diperbolehkan atau tidak memakai jilbab dalam memberikan pelajaran disekolah. Ia tidak diperbolehkan mengajar disekolah pemerintah, karena menurut keyakinan agamanya, ia tidak bersedia melepaskan jilbab dalam memberikan pelajaran. Apakah larangan pemakaian jilbab merupakan pembatasan kebebasan bagi pemeluk Islam di Jerman?. Ketua Majelis Pusat Islam Jerman Nadeem Elyas tidak melihatnya demikian. Dikatakannya, tidak terdapat situasi, dan undang-undang di Jerman yang menentang kepercayaan seseorang, ataupun mengabaikannya. Tidak ada situasi konflik,dan setiap orang bebas menjalankan ibadah agamanya. Demikian dikatakan Nadeem Elyas. Terutama dikota-kota besar di Jerman, kaum perempuan yang memakai jilbab, merupakan pemandangan sehari-hari. Pada prinsipnya tidak diperbolehkan membatasi pemakaian jilbab bagi kaum perempuan ditempat kerja. Hal ini belum lama berselang dikuatkan oleh pengadilan masalah perburuhan di Jerman. Selain itu juga merupakan hak untuk menjalankan kebebasan beragama, sesuai dengan undang-undang dasar Jerman. Hamidah Mohaghegi yang bekerja dimajalah perempuan Islam "Huda" mengatakan,pemakaian jilbab tergantung kepada keinginanmasing-masing perempuan muslim dan pemahaman keagamaannya. Kepercayaan terhadap Islam tidak tergantung kepada selembar kain, yang disebut jilbab. Demikian ditandaskan Hamidah Mohaghegi. Sementara Alice Schwarzer, penerbit sebuah majalah perempuan terkemuka di Jerman mengatakan, tidak dapat disamakan antara jilbab dan eminsipasi. Pemakaian jilbab oleh seorang guru dalam memberikan pelajaran tidak dipermasalahkan oleh pejabat bidang pendidikan disebagian besar negara bagian di Jerman. Sebaliknya dinegara bagian Baden-Württemberg tidak diperbolehkan seorang guru memakai lambang keagamaannya dalam memberikan pelajaran. Kasusnya menimpa Farestha Ludin.Ia menolak dan mengajukannya kepengadilan sampai kepengadilan tata usaha negara di Berlin. Dan hari Rabu ini, dinantikan keputusan dari Mahkamah Konstitusi Jerman. Juga pihak gereja di Jerman menghadapi kesulitan untuk memberikan jawaban yang pasti mengenai pertikaian masalah jilbab. Teologi dari Gereja Protestan Annegret Brauch memperingatkan diijinkannya pemakaian jilbab, dan mencemaskan keputusannya dapat diinterpretasikan sebagai dukungan kelompok Islam di Jerman. Sementara Uskup Katolik Heinz Jodef Algermissen tidak mempermasalahkannya, selama kaum perempuan muslim yang mengenakannya, lebih mementingkan kepercayaannya, dan bukan bermaksud melakukan provokasi secara terbuka. Tapi satu hal sudah pasti, keputusan mahkamah konstitusi hari Rabu ini, tidak akan mengakhiri perdebatan mengenai masalah jilbab di Jerman. ========================== Tabloid MQ Jum'at, 7 November 2003 Not Just Jilbab! UPAYA memadamkan cahaya Islam masih terus terjadi di berbaga tempat, termasuk di negara berpenduduk mayoritas Muslim. Salah satu simbol Islam yang kerap diperangi kaum fobi Islam (Islamophobia) adalah jilbab. Ya, jilbab... busana yang wajib dikenakan kaum wanita Islam untuk menutup aurat sekaligus memelihara kehormatan dan keagungannya sebagai wanita. Jilbab, secara fisik, hanyalah busana, lembaran kain, penutup aurat. Rupanya, banyak orang tidak rela jika kaum Muslimah mengenakannya. Pasalnya, not just jilbab. Jilbab bukan sekadar busana. Tetapi ia adalah simbol keislaman seorang wanita, juga simbol kesalehahan atau ketaatannya kepada syariat Islam. Pemakai jilbab bahkan bisa menghadirkan "warna Islam" di mana saja. Jilbab pun bisa "mengendalikan" pemakainya untuk beramal saleh dan tidak berbuat sesuatu yang melanggar norma-norma Islam. Di negara berpenduduk mayoritas non-Muslim, wanita berjilbab menyimbolkan eksistensi umat Islam di sana. Kehadiran jilbab mestinya sama sekali tidak mengusik orang lain. Tapi, kepentingan politik dan sentimen Islam telah memunculkan sikap anti-jilbab. Setelah di Turki dan Prancis yang terus bergolak oleh pelarangan jilbab, kini larangan jilbab juga muncul di Tunisia, negara Afrika yang hampir semua penduduknya beragama Islam (98%) --penduduk Tunisia diperkirakan mencapai 10 juta jiwa. Sejumlah pelajar di Universitas Tunis dilarang mengikuti ujian akhir tahun karena mengenakan jilbab (IslamOnLine, 2/5). Beberapa tahun belakangan ini, pemakai jilbab makin banyak dan menyebar di kalangan Muslimah Tunisia. Masjid-masjid juga dipenuhi oleh kaum muda Islam. Rupanya, fenomena itu dipandang sebagai indikasi kebangkitan Islam. Akibatnya, hal itu menyulut kedengkian dan kebencian kaum sekuler. Mereka lalu berupaya menggunakan situasi internasional untuk mengaitkan Islam dengan terorisme. Ya, terorisme. "Kata sakti" itu telah menjadi senjata utama kaum sekuler dan kaum fobi Islam untuk memerangi umat Islam yang menaati ajaran agamanya. Propaganda media dan pemerintah Barat-sekuler berhasil mengindentikkan Islam dengan terorisme. Maka, ketaatan kepada ajaran Islam, seperti memakai jilbab itu, pun dihadang dengan "kampanye antiterorisme" yang hakikatnya kampanye anti-Islam itu. Pemakai jilbab dicurigai sebagai aktivis Islam yang dituding Barat sebagai "kelompok teroris" itu. Masya Allah! Ironis dan tragis. Pelarangan jilbab itu terjadi di sebuah negara berpenduduk mayoritas Muslim. Namun sangat masuk akal, karena pemerintahannya dikuasai orang-orang sekuler pro-Barat yang anti-Islam. Di negara kita sendiri masih bermunculan kasus jilbab, namun jarang dimunculkan ke permukaan "demi stabilitas, toleransi, dan kerukunan umat beragama". Satu pelajaran, perang terhadap Islam terus berlangsung, bahkan di dalam negeri Muslim sendiri. Di Indonesia, negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia, perang itu pun masih terjadi. Lihat saja kasus RUU Sisdiknas, atau penangkapan aktivis Islam pemberantas kemaksiatan dan aktivis penegak syariat Islam. Khususnya bagi wanita Islam (kaum Muslimah) yang tidak/belum berjilbab, kasus pelarangan jilbab di Turki, Prancis, kini Tunisia, dan banyak tempat lain, mestinya kian menyadarkan pentingnya memakai "busana Islam" itu. Saudara seiman kita di banyak tempat berjuang sangat berat untuk mengenakan jilbab, ironisnya di negara ini justru banyak yang tidak sadar akan kewajiban berjilbab, lebih senang mengenakan pakaian seksi, mengundang syahwat pria, dan anehnya dibiarkan... Wallahu a'lam. (ASM. Romli/MQ).*** --[YONSATU - ITB]---------------------------------------------------------- Online archive : <http://yonsatu.mahawarman.net> Moderators : <mailto:[EMAIL PROTECTED]> Unsubscribe : <mailto:[EMAIL PROTECTED]> Vacation : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>