Bukan lebih sakit yang mananya yang penting.
Masalahnya kenapa kita mau jadi orang terjajah dan merasa nyaman dengan itu.
Ini sudah menjadi budaya/culture yang perlu waktu dan usaha besar untuk
merubahnya.
Wong sudah dididik di ITB saja ditambah lagi dilatih di menwa , begitu
terjun di kehidupan nyata ya KKN juga.
Ini mungkin karena orientasi hidupnya, kerjanya  dan karyanya melulu uang,
uang , uang. Ini simbol saja, bahwa intinya hidup mulya itu kalau kaya.
Dan semuanya ingin kaya dengan cepat dan jalan yang termudah, jadinya ya KKN
tadi.
Terjun ke politik, ingin berkuasa tujuan akhirnya ya uang lagi.
Jadi pegawai negeri, ingin jadi pejabat, akhirnya pengen hidup kaya juga.
Jadi pengusaha, pengen kaya dan yang termudah harus punya jalur KKN, bukan
product advantage ataupun competitivenesnya.
Jadi kiai apa tokoh agama, ngumpulin donasi, dipakai sendiri, banyak kan
kiai yang wah, meski tidak semuanya.
Kalau orientasinya hanya seperti ini, sementara agama atau gerakan moral
lainnya hanya untuk pelarian dikala gagal atau pembenaran terhadap
penyelewengan, scope tujuan hidup kita terlalu egois, tersentral pada yang
terenak buat gue, yang lain egp.

Bagaimana kita mau berubah dan bisa menjadi bangsa yang besar dan
membaggakan.
Kita boleh dibilang punya segalanya dan dalam jumlah yang besar pula.
Daratan dan lautan beserta isinya, penduduknya semua itu sumber daya.
Aspal kita di P Buton adalah yang terbesar depositnya didunia mengalahkan
Trinidad Lake, siapa yang mau mengolah, karena susah katanya.
Cadangan Gas dan minyak kita, emas, tembaga, intan, besi, timah apa coba
yang tidak ada.
Tanah kita subur sekali, tanaman apa yang tidak bisa tumbuh dinegeri ini,
mau tempat yang panas ada, dingin ada, ber es juga ada.
Laut kita, semua jenis ikan dan tumbuhan, dan karang , ada semua.
tapi kenapa kita miskin terus dan mau jadi yang terjajah.

Jawabnya susah, tapi mungkin bisa kita mulai dari dunia pendidikan.
Bagaimana kita bisa meningkatkan taraf pendidikan seluruh rakyat kita pada
satu level yang cukup, lulusan SMU misalnya, tapi yang berkualitas
standardlah minimal.  Jangan ada SMU yang komputer nggak pernah lihat,
laboratorium nggak ada, buku ala kadarnya.
Tingkatkan pendidikan dengan juga meningkatkan sarananya, mutu gurunya,
kesejahteraan gurunya, mutu bukunya, anggaran pendidikannya dinaikkan.
Demokrasi sekarang ini seperti memberikan kebebasan memilih kepada anak
kecil.  Tidak akan disertai dengan rasa tanggung jawab.Ya karena tingkat
pendidikannya secara menyeluruh belum cukup bisa untuk memilih yang
bertanggung jawab.
Bagaimana bisa meningkatkan anggaran pedidikan dengan significant dan tidak
dikorupsi dan bisa meningkatkan dunia pendidikan itu sendiri, teman teman
kita yang berada diposisi penentu bangsa ini mungkin bisa membantu.

Saya cuma seorang salesman, tidak bisa berbuat banyak. Tapi saya sering
keliling Indonesia ini sampai ketempat yang terpencil dan juga pernah ke
negeri negeri yang jauh lebih maju dari kita.  Saya cuma banyak melihat, dan
prihatin, alangkah ironisnya negeriku ini. Saya tahu ini salah, tapi kalau
saya nggak nyogok daganganku nggak ada yang mau beli, lalu anak istriku mau
makan apa, sekolah dimana, mau senang senang bagaimana.

Kalau pendidikan seluruh rakyat kita sudah merata dan cukup tinggi, sikap
kritis akan timbul dengan sendirinya, pola kompetisi akan terjadi dan mudah
mudahan moral akan membaik juga.
Alam telah menyediakan semuanya untuk kita maju. Kitanya yang tidak siap
untuk itu.

Hari ini mungkin daganganku belum ada yang laku, jadi ngoceh banyak, maaf
jangan ada yang tersinggung, nggak semuanya jelek kok, anda anda semua
termasuk yang baik dan bisa merubah bangsa ini menjadi lebih baik.
Saya kayak orang yang nelongso nggak tahu mau ngapain.
Mudah mudahan daganganku besok laku jadi nggak ngoceh banyak lagi kayak
begini.
Hatur nuhun daek ngadengekeun

Bambang Suherman - XI

Dan yon wrote :


> Lebih sakit mana?
> - dijajah bangsa asing
> atau
> - dijajah bangsa sendiri
>
> --
> Agung (33)
>
>
> --------------------------------------------------
>
> AKU BERMIMPI JADI KORUPTOR
>
> AKHIR-akhir ini media massa, seminar, diskusi, konferensi pers, talk
> show, ngerumpi, dan pembicaraan di warung-warung gegap gempita
> dengan topik KKN. Terpilihnya Komisi Pemberantasan Korupsi oleh DPR
> diberitakan secara hiruk-pikuk pula. Saya sempat berpikir apakah KPK
> akan efektif karena modus operandi korupsi yang begitu beragam.
>
> Lagi pula, moral dan mental yang sudah rusak tidak termasuk dalam
> tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
> Jadi, kalau diibaratkan pohon, KPK hanya menangani daun yang rusak
> karena akarnya busuk. Selama akarnya tidak diobati, selalu akan
> bermunculan daun-daun yang rusak. Mengobati akar atau kalau sudah
> tidak bisa membunuhnya saja, tidak termasuk domain KPK.
>
> Karena intensnya dikonfrontasi dengan topik KKN seperti ini, saya
> tertimpa mimpi. Dalam mimpi itu saya menjadi koruptor. Saya
> menguasai betul berbagai cara berkorupsi, dari yang paling kotor
> sampai yang paling canggih. Maka, saya menjadi orang sangat kaya.
> Rasanya tidak seorang pun yang mempunyai gambaran betapa besar
> kekayaan yang saya peroleh dari korupsi. Semuanya bisa dibeli dengan
> uang, juga hukum. Maka, dalam salah satu pesta ketika saya mabuk,
> saya berkata, "I am the Lord, I am the law, and I am the richest man
> in Indonesia."
>
> MIMPI selalu kacau. Dalam melakukan korupsi saya terkadang menjadi
> penguasa, terkadang pengusaha, terkadang pegawai negeri rendahan,
> terkadang pengusaha besar, tukang parkir, dan apa saja yang
> mempunyai kekuasaan. Kekuasaan adalah modal dasar korupsi.
>
> Sebagai pengusaha saya menyalahgunakan semua celah yang ada. Yang
> paling mudah dan sederhana adalah menjadi rekanan dan pemasok kepada
> pemerintah. Pemerintah membutuhkan barang dan jasa. Setiap tahunnya
> membelanjakan jumlah uang yang luar biasa besarnya. Caranya adalah
> kongkalikong dengan pejabat yang mempunyai wewenang untuk membeli
> barang dan jasa untuk kebutuhan kementerian atau badan pemerintah
> yang dipimpinnya. Harga saya naikkan berkali lipat dan selisihnya
> saya bagi dengan sang pejabat. Hasilnya lumayan, tetapi saingannya
> berat, karena banyak sekali yang melakukan hal ini.
>
> Konsepnya terlampau mudah. Meski demikian, saya sudah tidak
> melakukannya sendiri. Saya sudah mempunyai banyak pegawai tingkat
> tinggi yang tidak memalukan kalau saya suruh bergaul dengan para
> pejabat yang rata-rata sarjana. Merekalah yang melayani pejabat
> habis- habisan, dari melayani istri dan anak- anaknya sampai
> mengantarkan sambil membayari mereka berbelanja. Bahkan, mereka
> sampai berfungsi sebagai pembantu rumah tangga sang pejabat.
>
> Modal utama cara berbisnis seperti ini adalah rai gedhek, mental
> budak, dan tahan ngelesot berhari-hari sambil sering berfungsi
> sebagai badut. Usaha ini yang dilakukan pegawai-pegawai saya
> berjalan terus. Saya sendiri meningkatkan diri dalam berkreasi dan
> inovasi konsep-konsep yang lebih canggih.
>
> Setiap zaman saya memberi peluang KKN yang bentuknya lain. Sejak
> tahun enam puluhan saya sudah melakukan banyak cara. Semuanya saya
> lakukan dalam mimpi juga, yang ketika itu saya bermimpi menjadi
> konglomerat. Berbagai modus operandi sudah saya tulis dalam berbagai
> artikel yang dihimpun dalam buku kecil dengan judul Saya Bermimpi
> Jadi Konglomerat.
>
> DALAM mimpiku sekarang aku untung besar dengan hanya ongkang-ongkang
> saja. Pemerintah bermaksud meningkatkan ekspor (export drive).
> Caranya memberikan kredit murah dengan bunga 12 persen setahun
> asalkan kreditnya dipakai untuk membiayai kegiatan ekspor. Bunga
> deposito ketika itu 22 persen setahun. Saya mengajukan permohonan
> kredit ekspor dengan rencana ekspor yang meyakinkan. Feasibility
> study dibuat oleh konsultan asing dan ditulis dalam bahasa Inggris.
> Pejabat tinggi kita menganggap apa saja yang asing dan dalam bahasa
> Inggris mesti lebih benar dan lebih pandai. Demikian juga laporan
> keuangan saya juga seluruhnya ditulis dalam bahasa Inggris setelah
> diaudit oleh kantor akuntan yang termasuk big five di dunia.
>
> Segera saja kreditnya cair. Tentu dengan uang suap seperlunya.
> Kegiatan ekspor juga saya laksanakan. Hanya yang saya ekspor gombal,
> kain pel, potongan- potongan sisa tekstil untuk membuat pakaian
> jadi. Barang-barang ini diekspor kepada perusahaan saya sendiri di
> Singapura. Setibanya, barang-barang itu langsung dibuang. Jadi tidak
> ada penggunaan uang dari kredit ekspor untuk ekspor beneran. Namun,
> saya dapat memperlihatkan semua dokumen ekspor. Kredit dengan bunga
> 12 persen saya depositokan dengan bunga 22 persen. Kredit yang saya
> peroleh Rp 500 miliar. Dalam setahun saya mendapatkan pendapatan
> bersih (setelah dipotong pajak) sebesar Rp 93,5 miliar, yaitu 22
> persen dari Rp 500 miliar dipotong pajak sebesar 15 persen. Bunga
> yang harus saya bayarkan kepada bank BUMN sebesar 12 persen dari Rp
> 500 miliar atau Rp 60 miliar. Saya untung Rp 33,5 miliar for doing
> nothing.
>
> Yang paling hebat adalah ketika ketahuan dan diberitakan di media
> massa. BI menyatakan tidak ada yang dirugikan karena saya membayar
> utang pokoknya tepat waktu. Demikian juga dengan bunga sebesar 12
> persen setahun yang mereka tentukan. Hi-hi, mereka tidak peduli
> bahwa tujuan meningkatkan ekspor tidak tercapai. Jelas mereka
> membodohkan diri sendiri, menjadikan dirinya sendiri "teh botol"
> (teknokrat bodoh dan tolol) karena saya sogok. Sambil melakukan ini
> terus, melalui asosiasi perusahaan, dengan kawan-kawan saya kampanye
> antisuap. Media massa memberitakannya besar-besar tanpa kritik
> karena penyuapan cara halus yang dinamakan public relations saya
> cukup canggih.
>
> DALAM bidang transportasi darat Indonesia sangat ketinggalan.
> Praktis tidak ada jalan-jalan raya yang bebas hambatan (highway atau
> free way). Bayangkan, jalan raya sepanjang Pulau Jawa yang membangun
> adalah Daendels. Dalam kemerdekaan yang 58 tahun itu kita tidak
> mampu membangun jalan raya dari pulau yang paling padat. Sekarang
> keuangan negara bangkrut-krut. Pemerintah dalam arti APBN tidak
> mempunyai uang. Namun, bank-bank BUMN banyak duitnya.
>
> Saya usulkan supaya saya diberi izin membangun jalan tol swasta yang
> milik saya. Modal yang dibutuhkan tentu sangat besar. Dengan
> menyogok seperlunya, saya memperoleh 100 persen dari dana yang
> dibutuhkan untuk membangun jalan tol tersebut. Biayanya Rp 800
> miliar. Dengan kredit Rp 800 miliar jadilah jalan tol. Begitu
> dipakai, pemakainya membayar tol fee secara tunai. Pemasukan uang
> ini dibagi 40 persen untuk saya dan 60 persen untuk membayar cicilan
> utang serta bunganya. Jadi begitu jalan tol selesai, arus uang tunai
> serta-merta masuk ke kantong saya tanpa modal sama sekali.
>
> Utang saya beserta bunganya juga serta-merta dicicil dari pemasukan
> tol fee yang tunai. Saya membuat proyeksi tentang berapa tahun sejak
> dimulainya utang akan lunas, misalnya 15 tahun. Lantas saya umumkan
> bahwa setelah 15 tahun, jalan tol saya hibahkan kepada pemerintah.
> Bukankah luar biasa cemerlangnya saya?
>
> Tidak. Seperti saya katakan, tidak semua birokrat tingkat
> tinggi "teh botol". Mereka tahu bahwa semuanya dapat dilakukan oleh
> pemerintah sendiri. Namun, saya sogok plus saya berikan segala
> argumentasinya, seperti jalan tol itu perlu, pemerintah tak punya
> uang, dan yang terpenting ideologinya bahwa pemerintah sebaiknya
> tidak ikut campur memiliki barang, seperti jalan tol sekalipun. Saya
> jelaskan bahwa ini aliran pikiran yang modern yang menyerahkan
> semuanya kepada mekanisme pasar. Mereka dan publik memakan teori ini.
>
> Saya tertawa geli lagi karena ini bukan teori baru. Adam Smith yang
> mengenali berlakunya mekanisme pasar, adanya invisible hands yang
> mengaturnya. Namun, hal itu sudah lama ketinggalan zaman karena
> ditulisnya pada tahun 1776. Intinya masih berlaku, tetapi tidak
> untuk barang publik, melainkan untuk barang-barang kelontong yang
> bisa dipersaingkan dan tidak vital sifatnya. Jalan tol mengandung
> monopoli natural karena ruangnya untuk jalan tol untuk ruas tertentu
> hanya satu. Mengapa harus diberikan kepada saya? Karena saya sogok!
> Namun, justifikasinya berbagai argumen yang ternyata ditelan dengan
> fanatik karena yang berkuasa ketika itu "teh botol".
>
>
> PARALEL dengan ide tentang jalan tol ini, berbagai gedung pencakar
> langit saya beli. Gedung bank BUMN saya beli dengan uang yang 100
> persen milik bank itu sendiri. Saya memperoleh pinjaman dari bank
> BUMN yang bersangkutan. Gedungnya saya beli. Karena gedung sudah
> milik saya, bank harus membayar sewa kepada saya. Perolehan
> pembayaran sewa ini saya pakai untuk mencicil utang pokok beserta
> bunganya dalam bentuk anuitas. Jumlah anuitasnya saya samakan dengan
> uang sewa yang saya terima. Dengan demikian, setelah sekian tahun
> gedung yang segitu besarnya milik saya. Mulai saat itu hasil sewa
> sepenuhnya saya nikmati karena utang sudah lunas sama sekali.
>
> Bayangkan, berapa besar pendapatan saya karena yang saya begitukan
> bukan hanya satu gedung. Masa pimpinan bank begitu bodoh? Tidak,
> tetapi menjadi bodoh karena cemerlangnya pikiran saya ditambah
> dengan perolehan uang banyak dari persekongkolan dengan saya.
>
> INDONESIA sudah maju, mempunyai banyak perusahaan asuransi, antara
> lain asuransi jiwa. Kalau tertanggung mati, ahli warisnya mendapat
> santunan besar. Saya menciptakan orang-orang yang tidak ada. Jadi,
> saya menciptakan tertanggung fiktif yang tempat tinggalnya di daerah-
> daerah yang sangat terpencil. Setelah membayar premi beberapa kali
> saja, saya menciptakan dokumen aspal tentang kematian tertanggung
> yang memang tidak ada. Ahli warisnya orang-orang saya semua.
>
> Masih banyak lagi cara-cara membobol perusahaan asuransi. Tentu
> orang dalam perusahaan asuransi harus ikut di dalam komplotan ini
> supaya tidak meneliti lagi. Maka, hampir semua perusahaan asuransi
> modal ekuitinya negatif.
>
> Ketika ramai dibicarakan tentang adanya kemungkinan pemalsuan uang,
> bukan hanya satu pihak saja yang terlibat, seperti yang bahkan
> disebut namanya di surat kabar. Saya melakukannya juga. Uang palsu
> saya tidak pernah ketahuan karena tidak pernah beredar. Uang yang
> saya palsu senantiasa mengendap di kas sebagai iron stock atau
> persediaan minimum untuk menjaga keamanan likuiditas. Jadi, saya
> mencetak uang palsu.
>
> Uang ini saya tukar dengan uang yang harus selalu ada, tetapi
> nyatanya tidak pernah beredar karena setiap bank harus mempunyai
> persediaan minimal. Dengan demikian tidak akan pernah diketahui
> kecuali kalau akuntan publik mengauditnya dengan mencatat nomor seri
> uang dan selanjutnya mengamati apakah uang dengan nomor seri
> tertentu itu terus-menerus mengendap di kas. Akuntan publik tidak
> sampai ke sana pikirannya.
>
> Masih banyak lagi yang saya lakukan dalam mimpi. Akan saya lanjutkan
> dalam mimpi berikutnya.
>
>
> Kwik Kian Gie
>
> Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala
> Bappenas
>
>
>
>
> --[YONSATU - ITB]---------------------------------------------
> Arsip : <http://yonsatu.mahawarman.net>  atau
>                   <http://news.mahawarman.net>
> News Groups : gmane.org.region.indonesia.mahawarman
> Other Info : <http://www.mahawarman.net>
>



--[YONSATU - ITB]---------------------------------------------      
Arsip           : <http://yonsatu.mahawarman.net>  atau   
                  <http://news.mahawarman.net>   
News Groups     : gmane.org.region.indonesia.mahawarman     
Other Info      : <http://www.mahawarman.net> 
   

Kirim email ke