KOMPAS Jateng-DIY, Selasa, 17 Juni 2008

Suara-suara yang Bertahan

Perjuangan antikekerasan - ahimsa - yang dihembuskan Mohandas
Karamchand Gandhi mengambil bentuknya lagi awal Juni ini. Langit
Jakarta memayungi ketika mimpi setiap anak bangsa akan dunia
nirkekerasan dipasung lagi.

Semua media massa mewajahkan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok
orang lewat suara, gambar, dan tulisan. Persis pada peringatah Hari
Kelahiran Pancasila, sesama saudara sebangsa memulai perangnya.

Namun, di tengah hiruk-pikuk siapa tuding siapa, siapa membeking
siapa, suara-suara korban makin sayup terdengar. Padahal, rintihan itu
bisa jadi ekspresi paling jujur di tengah pipa besi, pentungan, dan
tangan-tangan yang membekap mulut korban.

Masih diselubungi trauma Juni lalu, Nyoman Aisanya Wibuthi, salah
seorang korban yang ikut berpartisipasi dalam Aliansi Kebangsaan untuk
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), memulai pengakuannya,
Sabtu (14/6).

Perempuan yang akrab dipanggil Oming ini hadir bersama Nino Grasiano
dan Bernardus Winarno yang juga menjadi korban dalam peristiwa di
Monas. Ketiganya bergabung sebagai relawan National Integration
Movement (NIM).

"Saya benar-benar merasaseperti terapi kejut ketika kepala bagian
belakang saya dipukul,"ujar Oming yang sehari-hari bekerja di Jakarta.
Dalam kondisi chaotic seperti itu, ujarnya, ia teringat bahwa dia
perempuan. Dalam sebuah perang, tuturnya, ada sebuah kode etik bahwa
perempuan dan anak kecil tidak boleh disakiti.

Lahir di keluarga Hindu, kata Oming, meyakinkannya bahwa perempuan
adalah Ibu. Namun, bangsa ini sekali lagi telah menyesah seorang ibu
dengan pipa besi dan kemarahan.

Bagi Oming, kekerasan yang terjadi di Monas bukan semata kekerasan
fisik."Ada yang salah dengan masyarakat kita. Bagaimana bisa seseorang
punya kebencian begitu besar terhadap yang lain?" tanyanya.

Kekerasan fisik kemudian menjadi sebuah senjata untuk mengobarkan
kebencian, meniadakan yang lain, memastikan diri sebagai pemenang.

Padahal, Oming percaya, kekerasan 1 Juni menjadi bukti berapa kali
bangsa ini sudah kalah karena lingkaran kekerasan.

Kedamaian.
"Semua wanita dan anak-anak dipukul. Sekujur tubuh saya luka. Sampai
sekarang dada masih sakit kalau bernafas,"ujar Nino Graciano.
Ingatannya masih segar tentang peristiwa yang membuatnya makin percaya
gerakan antikekerasan harus terus digulirkan. Bagi Nino, apa yang
terjadi 1 Juni lalu bukanlah isu penodaan agama. Dengan tegas, ia
mengatakan, inilah kekerasan terhadap sesama anak bangsa.

Untuk meretasnya, tak ada cara lain selain berdialog? "Oh, tentu,
Mengapa tidak?" tegas Nino. Gandhi dan gerakan ahimsa-nya yang
menggerakkan seluruh India, kata Nino, mewujud lagi sekarang di
Indonesia. Bukan dengan diam, namun dengan bersuara, dengan bertahan
pada hal-hal yang kecil.

Pria yang sehari-hari bekerja di sebuah event organizer di Jakarta ini
percaya, lingkaran kekerasan bisa dipatahkan lewat hal-hal kecil.
Bersama NIM, ia menggiatakan "hal-hal kecil" itu, seperti menggelar
pusat pemulihan stres keliling pascagempa.

Nino percaya semua orang bisa mencintai Indonesia dengan cara
masing-masing. Bahkan , 1 Juni lalu, ia dan teman-teman seharusnya
bernyanyi Damai Indonesia/ Bersatu Indonesia/yo yo yo Indonesia...

Lagu itu bahkan tak sempat digaungkan, keburu pipa besi menghantam
mulut-mulut yang masih menyuarakan harapan. Nino tetap percaya cinta
tidak diwujudkan lewat kekerasan. Siapa pun yang cinta negeri ini,
walaupun hanya pada identitas-identitas suku, agam, ras, kelamin, dan
golongan, tidak akan mencetak kekerasan pada kulit sesamanya. (A11)

Kirim email ke