Kesaksian Korban 

Tragedi Peringatan Hari Pancasila



Oleh Imdadun Rahmat, 

(Aktivis NU, wakil sekretaris ICRP dan Direktur Yayasan PARAS)



Saya datang di sudut tenggara Monas pada jam 12.30. Rombongan yang
hadir bersama saya adalah para Relawan PARAS sebanyak 14 orang (2
perempuan 12 laki-laki) plus 2 orang anak saya (Rausyan, 11 th. dan
Satya 8 th.) dan Khamami Zada (LAKPESDAM NU) yang membawa anaknya, Aria
4 th. Kami datang dengan suasana hati gembira dan penuh semangat karena
kami akan bersama-sama tokoh-tokoh nasional merayakan hari lahir
Pancasila dan menyerukan penghargaan pada kebhinekaan. Saya datang
sebagai anggota panitia sekaligus sebagai koordinator relawan PARAS
yang mendapatkan tugas dari Aliansi untuk mengisi persembahan musik
perdamaian yang akan ditampilkan di sela-sela pidato para tokoh dan
sebelum acara dimulai (menunggu peserta hadir semua). Kami datang
dengan 3 mobil. Semula, mobil-mobil kami parkir di sudut tenggara Monas
sambil menunggu peserta lain yang belum datang. Ketika kami menunggu,
kami bertemu dengan para peserta lain di antaranya sekitar 20 orang dari

 LAKPESDAM NU Society. 



Setelah sebagian peserta telah masuk area Monas, maka kami putuskan
untuk menuju ke sana. Karena ingin cepat-cepat sampai untuk segera
tampil, maka tiga mobil kami bawa masuk ke Monas, dan kami parkir tak
jauh dari mobil Sound System. Maka saya bersama tim musik segera
menurunkan peralatan-peralatan musik dan satu set mini amply dan
kemudian mensetnya serta menghubungkannya dengan soun sistem utama yang
dimuat di atas truk. 



Ketika kami sedang mencek suara gitar, bas, dan mikrofon, korlap saat
itu Saudara Saidiman mempersilahkan para peserta untuk merapat ke sound
komando dan meminta mereka untuk duduk. Para peserta yang sebagian
besar kaum perempuan itupun duduk. Ada sebagian yang masih berjalan
merapat, dan tiba-tiba ada suara gaduh, ”FPI datang”. Saidiman meminta
kepada para hadirin untuk tenang dan jangan terprofokasi. Pada saat
itu, rombongan sekitar 200 an orang FPI semakin mendekat. Suasana makin
tidak tenang, karena FPI meneriakkan suara-suara bernada ancaman. 



Tak lama kemudian pasukan FPI dengan pentungan bambu mengepung dan
melontarkan sumpah serapah ”Ahmadiyah kafir”, ”hancurkan”, ”habisin”
dan sebagainya. Sementara anggota FPI lain memukuli peserta serta kaum
ibu, salah seorang dari mereka mulai membanting bongo dan alat percusi
milik kami. Saya menghanginya dengan mengatakan ”jangan begitu, jangan
pakai kekerasan”. Dengan kasar dia menghardik ”kamu Ahmadiyah” saya
bilang ”saya orang NU”. Ia bilang ”NU apa, kamu kafir”. 



Orang itu lalu memukul kepala saya dengan tongkatnya, saya berhasil
menangkisnya, dan terus memukul saya, saya bisa mempertahankan diri.
Saya sempat melihat teman saya dari PARAS (Mansur) mencoba melawan FPI
yang memukulinya, saya tahan dia untuk tidak melawan. Saat itu, saya
pikir kami tidak mungkin melawan, karena kedua anak saya ada di dekat
saya, dan saya hawatir jika melawan korban akan semakin banyak, karena
sebagian besar dari kami adalah ibu-ibu. Buru-buru saya teriak ke
keponakan saya (Ninik, relawan PARAS) untuk membawa pergi anak-anak
saya. Selanjutnya saya dikeroyok ramai-ramai, tidak hanya dengan bambu
tetapi juga dengan besi (alat musik milik kami, High Head) saya hanya
bisa menangkis yang dari depan, sementara yang dari belakang dan dari
samping tak bisa dibendung. Saya terus dikeroyok. Saat itu saya
merasakan sakit yang luar biasa di beberapa bagian dari kepala saya.
Saya merasa menghadapi kematian. Saya bergumam Allahu Akbar

 berkali-kali. Para penyerang saya juga berteriak ”kafir”, ”bunuh”, ”Allahu 
Akbar”. 



Pada saat genting demikian, naluri saya mengatakan harus lari. Saya
kemudian lari, dan terus dipukuli oleh anggota FPI yang lain. Saya
tersandung dan jatuh, pada saat itu saya merasakan pelipis kiri saya
ditendang dan kepala bagian belakang saya dipukul dengan pentungan.
Saya bangkit dan terus berlari, saya dikejar, saya berhasil menjauh
dari kerumunan FPI. 



Saya merasa kepala saya sakit semua. Semula saya belum sadar kalo saya
luka-luka. Mula-mula leher saya terasa dingin, ternyata darah saya
mengalir deras dari bagian belakang kepala saya. Kaos saya basah oleh
darah. Lalu saya merasa pelipis saya perih, yang teranyata mengeluarkan
darah. 



Namun kemudian saya merasa lega ternyata saya ketemu dengan ponakan dan
2 anak saya yang menangis ketakutan di pinggir sebelah timur Monas.
Saya juga ketemu Hamami dan Sahal (LAKPESDAM NU) beserta
teman-temannya. Saya peluk anak-anak saya dan darah saya dibersihkan
oleh keponakan saya. Kaos PARAS yang saya pakai penuh darah dan saya
lepas agar tidak ditandai dan diserang lagi oleh FPI. Kemudian saya
beristirahat di pinggir Monas, karena kepala saya mulai pusing-pusing. 



Saya tidak mungkin terus ke rumah sakit karena saya masih meninggalkan
tanggung jawab di sana. Saya belum tahu bagaimana nasip teman-teman
saya, khususnya teman-teman relawan pemusik, yang menjadi sasaran
penyerangan pertama dari FPI. Tiga mobil kami yang masih terparkir di
tempat penyerangan juga masih di sana. Sebab, setelah menurunkan
relawan musik berikut alat-alat musiknya, kami belum sempat
memindahkannya di tempat parkir stasiun Gambir, seperti yang kami
rencanakan. Alat-alat musik kami juga masih ada di sana, dan kami belum
tahu nasip alat-alat kami seperti apa. Saya dihantui ketakutan jika
mobil-mobil kami turut dirusak atau dibakar. 



Dalam kekalutan itu, saya telephon Masdar Mas’udi, mengabarkan apa yang
menimpa kami. Dia tak percaya, heran dan marah. Dia meminta saya tabah
dan segera ke rumah sakit. Saya merasa didoakan oleh kiai NU. Saya
merasa lebih tenang. Saya segera teringat beliau karena sehari
sebelumnya, saya diundang oleh beliau di PBNU untuk mempresentasikan
buku saya tentang Islam Radikal pada acara konsolidasi imam dan khotib
NU dalam mengantisipasi ”direbutnya” mesjid dan musholla NU oleh
kalangan Islam radikal. 



Saya terus kontak teman-teman saya untuk mencari tahu apa yang menimpa
mereka. Ternyata banyak korban luka-luka. Saya ketemu Mas Suaedy yang
dagunya bengkak dan berdarah, saya ketemu Pak Syafii Anwar yang
kepalanya memar-memar, dan saya sangat marah dan sedih ketika mendengar
Guntur terluka parah, juga Kiai Maman Ainul Haq. Kalau seandainya Gus
Dur, Gus Mus, Amin Rais, Buya Syafi’i Ma’arif telah hadir di sana
mungkin beliau-beliau akan menjadi korban pula. 



Ketika pusing kepala saya makin parah, saya putuskan untuk segera ke
rumah sakit. Saya khawatir saya kehilangan banyak darah. Saya
kesampingkan semua urusan mobil dan peralatan musik. Yang penting saya
selamat. Anak saya yang kecil saya titipkan ke teman-teman PARAS, saya
bersama anak pertama saya menuju Gedung Kebudayaan seperti disarankan
teman-teman, untuk mendapatkan penanganan medis. Dari situ kami diantar
Ibu Amanda menuju rumah sakit Bakti Waluyo, Menteng. Luka di kepala
saya dijahit, luka-luka di dahi saya diobati dan diperban, memar-memar
di kepala saya diolesi krim anti bengkak. Dan saya disuntik dan minum
obat. 



Alhamdulillah, teman-teman PARAS tidak ada yang terluka serius. Mansur
luka memar di beberapa bagian kepalanya, dan rusuknya sakit, karena
dikeroyok. Edy kepalanya memar kena pentungan. Ais kepalanya
memar-memar dan punggungnya bengkak. Amo tangannya berdarah kena kawat
berduri waktu lari dikejar FPI. Dila kakinya bengkak karena keseleo
ketika menyelamatkan diri. Mobil saya, mobil PARAS dan mobil relawan
PARAS (dr. Elvy), tidak mengalami kerusakan apa-apa. Tiga gitar dan
satu bass bisa diselamatkan (dibawa lari oleh personil musik). Yang
membuat saya gusar, tiga amplyfier rusak (mudah-mudahan bisa diservis),
dan satu hilang. Alat-alat percusi saya rusak parah (gak bisa dipake
lagi), hard cover gitar rusak parah dan sound effek hilang. Kabel-kabel
juga raib entah kemana. Mungkin FPI juga doyan kabel. Total kerugian
peralatan musik sekitar 9 juta. Yang meresahkan saya hingga hari ini
adalah kondisi psikologis anak saya. Semoga ia tidak mengalami phobia

atau bahkan trauma, naudzubillah min dzalik. Mereka berdua akan
menjalani terapi psikologis setelah selesai ujian semesteran. Ahh..,
memang kebangetan FPI. 



Bagi saya kejadian ini merupakan bukti bahwa di negeri kita tidak ada
jaminan bagi kebebasan berfikir, berpendapat dan berkeyakinan.
Bayangkan, di siang bolong, di pusat Ibu Kota negara, di hari yang
sakral (hari lahirnya Pancasila—ideologi negara) ada sekelompok orang
dengan leluasa dan sewenang-wenang menyerang dan menganiaya orang-orang
yang berkumpul untuk merayakan hari lahir Pancasila. Orang-orang yang
diserang itu adalah kumpulan dari para aktivis dan tokoh penyeru
kebangsaan, pro-demokrasi, pro-pluralisme dan datang dari berbagai
agama dan kepercayaan. Negara ada di posisi mana sih? Bingung gue...



Selain itu, peristiwa ini membuktikan bahwa keberagamaan kita ada dalam
masalah besar. Bagaimana ada sekelompok orang dengan nama Islam,
berbaju taqwa, meneriakkan kalam suci Allahu Akbar dengan beringas
menganiaya orang-orang yang tidak melawan, tidak berdaya dan tidak
bersalah, hanya karena dianggap berbeda dengan mereka. Dan yang
memprihatinkan, ada banyak orang yang mendukung dan membenarkan
penyerangan itu. Kata teman saya ”jangankan penyerangan, penganiayaan,
pengeboman yang membunuh ratusan orang tak berdosa juga mereka benarkan
kok”.. Memang benar sih, sebagian besar kalangan yang mendukung
penyerangan adalah pula orang-orang yang mendukung terorisme selama
ini.. Yah mau bagaimana lagi, yang radikal-radikal dipiara... 



Pengalaman ini adalah pengalaman batin, bahwa Islam yang benar adalah
Islam yang rahmatan lil ’alamin. Saya hanya beriman kepada Islam yang
hanif, yang tawassuth, yang damai, yang tidak membenci. Semakin jelas
bukti di mata saya bahwa yang dicontohkan para guru saya di pesantren
adalah Islam yang benar. Amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan para
kiai saya adalah perjuangan membimbing ummat, mengajari mereka siang
malam untuk menjadi muslim yang soleh, bertaqwa dan kuat iman. Mereka
bekerja secara tulus, ikhlas, tanpa mengharap bayaran. ”Benteng
keimanan adalah nomor satu” kata mereka. Itu pula yang dicontohkan ibu
dan keluargaku. Semangat membela Islam tidak didasari oleh kebencian
kepada orang lain. Apalagi membela Islam dengan menjadi preman...
Naudzubillah min dzalik...




      

Kirim email ke