Sekuler yang sesungguhnya adalah memisahkan antara universalitas dan
partikularitas. Kalaulah alam semesta seisinya belajar kepada TUHAN
(universalitas) maka partikularitas bahwa manusia belajar kepada siapa menjadi
pertanyaan mendasar. Secara imanen manusia belajar pada dirinya sendiri yang
terdapat kehendak keTUHANan yang tak terhingga. Namun secara transenden dia
belajar kepada keSATUan sesuatu. Setia kepada komitmen dan komit kepada
kesetiaan adalah awal dari diri dan organisasi yang belajar baik imanen (dalam
dirinya) maupun transenden (diluar dirinya). Namun harus diingat dalam dan luar
hanyalah asumsi dan persepsi belaka karena kecendrungan fitrawi bahwa manusia
dan organisasi yang dibentuknya cendrung untuk devian dan bersalah menyimpang
dari kesetiaan dan komitmennya. Maka praduga bersalah dari setiap perjanjian
baik tertulis maupun konvensi antar manusia dan antar organisasi adalah relevan
dan sesuai fitrah. Disinilah dasar hukum dari setiap
aktivitas manusia. Diri dan organisasi di dunia yang belajar sudah saatnya
mengkaji lebih dalam lagi partikularitas ini dengan memulainya melalui
mentransendenkan nasionalitas dan mengimanenkan peradaban. Namun bukan sekedar
itu konsepsi TUHAN tentang "multi tasking"/simultan/menyatu dari keduanya atau
pasangan ini, menegasikan pembagian divisional (baik persepsi agama, etnis,
identitas. simbol dan primordialisme) dari diri dan organisasi yang belajar,
seperti halnya menyatunya kembali universalitas dan partikularitas. Semua
egaliter dan saling mengisi. Kepemimpinan adalah faktor penentu melihat dan
mengambil keputusan dalam situasi yang "waktu sesungguhnya/real time" dalam
makna yang luas ini. Memaknai adalah tugas profetik dan bukan sekedar
menafsirkan dari apa yang sudah ada dan berada. Agar tercapai damai di bumi dan
damai di surga.
" Hikmah filosofis dari pertemua rapat umum anggota ISAFIS (International
Students' Assosiation) ke XXI Cipayung, Bogor, Jawa Barat, Indonesia" Selamat
kepada adik-adik ku sekalian..........I Love You, Well done....