Memo untuk pemerintah Indonesia -- Perihal MUI

KAMIS lalu, 24/7/2008, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meresmikan gedung
baru yang dibangun dengan biaya APBN sebesar 8,9 milyar rupiah.
Peresmian gedung dihadiri oleh sejumlah menteri, antara lain Menteri
Agama, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), Wakil
Ketua MPR, Wakil Gubernur DKI, dan, tentunya, tokoh-tokoh MUI sendiri.
Gedung baru itu terletak di kawasan yang lumayan bergengsi di Jakarta,
yakni di Jl. Proklamasi. 

Sejak didirikan oleh rezim Suharto pada 26 Juli 1975 sebagai salah satu
"mesin politik" untuk meraup dukungan dari kalangan ulama bagi
pemerintah Orba saat itu, MUI memang (anehnya) belum memiliki kantor
sendiri. Selama ini, lembaga yang konon mewakili suara umat Islam
Indonesia itu bermarkas di masjid Istiqlal di dekat kawasan Monas
(Monumen Nasional). 

Selama ini kita tidak pernah tahu dengan jelas apa status lembaga MUI
ini: Apakah ia semacam LSM, ormas seperti NU dan Muhammadiyah, komisi
negara yang setara dengan Komnas HAM dan KPK, atau lembaga "semi
negara" yang dibutuhkan oleh pemerintah sekedar untuk "me-manage" aspirasi 
politik umat Islam?

Sepanjang pengetahuan saya, MUI bukanlah lembaga resmi negara semacam
Komnas HAM. Dia juga bukan semacam ormas Islam sebagaimana kita lihat
pada NU atau Muhammadiyah. Lembaga ini, kemungkinan besar, adalah
semi-negara, status yang tentu layak dipertanyakan dengan kritis oleh
publik, apalagi jika pemerintah terlibat dalam pembiayaan lembaga ini. 

Dengan status MUI yang "abu-abu" ini, kita pantas bertanya, kenapa
pajak rakyat, melalui APBN, dipakai untuk membiayai pembangunan gedung
sekretariat MUI. Apakah "rationale"
untuk itu? Jika pemerintah, melalui APBN, membiayai lembaga-lembaga
seperti Komnas HAM, KPK, atau lembaga-lembaga resmi negara yang
semacam, tentu kita sangat maklum. Tetapi, pembiayaan semacam itu tentu
mengandung konsekwensi: karena dibiayai oleh uang publik, maka dengan
sendirinya lembaga-lembaga tersebut harus terbuka pada kontrol publik.

Kita juga bisa maklum, jika pemerintah memberikan bantuan pada
lembaga-lembaga agama tertentu, misalnya NU, Muhammadiyah, PGI, KWI,
dan lembaga-lembaga semacam. Tetapi, bantuan itu sifatnya adalah
bantuan biasa, dan harus transparan serta bisa dikontrol oleh publik,
sehingga tidak menjadi semacam "alat" bagi kelompok yang sedang
berkuasa untuk meraup dukungan politik dari konstituen Islam. 

Tetapi, pembangunan gedung MUI ini, serta prosesi peresmiannya
memberikan kesan kuat seolah-olah ia adalah lembaga resmi milik negara.
Kehadiran sejumlah menteri, keterlibatan Menag untuk meresmikannya,
serta pembiayaan pembangunan gedung itu melalui APBN, memberi kesan
kuat bahwa MUI ini bukan semata-mata sebuah LSM atau ormas biasa,
tetapi nyarsi sebuah lembaga milik pemerintah. 

Publik layak mengetahui status resmi MUI, sebab APBN dibiayai melalui
pajak rakyat, dan untuk itu mereka layak tahu ke mana uang itu
disalurkan dan untuk apa dipakai.

Pertanyaan-pertanyaan kritis ini perlu kita kemukakan karena beberapa
tindakan MUI selama ini jelas sangat janggal dan sama sekali melanggar
"rasionalitas publik". Marilah kita lihat beberapa hal berikut ini:

Pertama, beberapa waktu lalu MUI mengeluarkan fatwa yang sangat
berbahaya, yaitu fatwa "sesat" yang akibatnya mendorong terjadinya
kekerasan yang begitu luas terhadap Ahmadiyah. MUI juga mengeluarkan
fatwa yang sangat potensial mengganggu kehidupan dialogis antar umat
beragama di Indonesia, yaitu fatwa yang mengharamkan ide-ide
pluralisme, liberalisme dan sekularisme. 

Selama ini MUI berkilah bahwa ia sama sekali tak bertanggung-jawab
terhadap kekerasan atas kelompok Ahmadiyah, sebab tugas untuk mengatasi
hal itu ada di pihak aparat kemananan. Siapapun tahu, fatwa MUI telah
menyiramkan bensin ke dalam massa Islam yang sudah siap terbakar karena
provokasi kelompok-kelompok Islam garis keras selama ini. Sikap MUI
semacam itu tiada lain adalah sikap cuci-tangan yang mau melepaskan
diri dari tanggung-jawab.

Lahirnya SKB yang melarang kegiatan Ahmadiyah beberapa waktu lalu jelas
terkait dengan "tekanan sosial" yang muncul, antara lain, melalui fatwa
MUI tersebut. Kebijakan pemerintah untuk melarang kegiatan Ahmadiyah
jelas bertentangan dengan prinsip pokok tentang kebebasan agama dan
keyakinan yang dijamin oleh konstitusi. Umat Islam boleh saja
menganggap sekte ini sebagai sekte sesat yang melenceng dari doktrin
Islam yang dianggap "ortodoks" dan "benar", tetapi mereka tidak bisa
melarang siapapun untuk beribadah dan berkeyakinan sesuai dengan
nuraninya. Negara sama sekali tak bisa memberikan legitimasi pada fatwa
MUI yang jelas-jelas bermasalah dari sudut konstitusi itu.

Yang menjadi pertanyaan kita adalah: bagaimana mungkin pemerintah
membiayai lembaga seperti MUI yang fatwanya jelas-jelas mengancam
prinsip kebebasan agama yang dijamin oleh konstitusi negara kita?
Dilihat dari sudut pandang konstitusi atau UUD, fatwa MUI soal
Ahmadiyah dan pluralisme itu jelas mengandung masalah besar. Jika fatwa
itu hanya dipakai untuk kebutuhan internal umat Islam saja, tentu tak
ada masalah. Tetapi jika umat Islam menghendaki fatwa bermasalah itu
diresmikan melalui suatu instrumen hukum yang resmi, maka jelas tidak
bisa dibenarkan. 

Kita harus ingat, negara kita bukanlah negara Islam! Negara kita juga
tak boleh dipakai oleh sekte tertentu dalam agama tertentu, untuk
memukul dan menyingkirkan sekte lain yang dianggap sesat. Sebagai
bagian dari warga negara, saya merasakan sesuatu yang teramat janggal
karena pemerintah mendanai suatu lembaga seperti MUI yang mengerluarkan
fatwa bermasalah seperti itu. Sudah selayaknya publik mengemukakan
protes.

Kedua, sejak beberapa tahun terakhir ini, kepengurusan MUI dimasuki
oleh beberapa aktivis Islam yang mengusung ideologi politik yang
jelas-jelas berlawanan dengan falsafah negara kita, yaitu aktivis yang
berasal dari kelompok yang disebut Hizbut Tahrir. 

Hizbut Tahrir adalah sebuah gerakan Islam radikal yang didirikan di
Jerusalem Timur pada 1952 oleh seorang mantan aktivis kelompok Islam
Ikhwanul Muslimin, yaitu Taqiyyuddin al-Nabhani. Salah satu tujuan
pokok gerakan ini adalah mendirikan kembali negara khilafah yang mereka
anggap satu-satunya sistem politik yang sesuai dengan ajaran syariat
Islam. Negara khilafah adalah negara Islam universal yang tak mengenal
batas-batas nasionalitas.

Publik belum menyadari bahaya gerakan ini dalam konteks negara
Indonesia. Ideologi gerakan ini sangat potensial mengarah kepada
kekerasan, meskipun kelompok ini sendiri menolak dengan sengit untuk
disebut sebagai kelompok yang memakai metode kekerasan. Ideologi
gerakan ini jelas bertentangan dengan falsafah negara kita sebagai
negara nasional yang berdasarkan Pancasila. 

Yang menjadi pertanyaan: bagaimana mungkin pemerintah membiayai suatu
lembaga yang kepengurusannya disusupi oleh aktivis gerakan semacam ini,
gerakan yang tujuan akhirnya adalah untuk menghancurkan eksistensi
negara Indonesia sendiri? Ini, di mata saya, tak lain adalah sejenis
irasionalitas.

PUBLIK harus melakukan protes terbuka atas tindakan pemerintah semacam
ini. Uang negara jelas sama sekali tak pantas dipakai untuk mendukung
dan membantu lembaga yang memeragakan sejumlah perangai yang di mata
publik bermasalah. Kita pantas prihatin, karena selama ini pendapat dan
fatwa MUI sangat rentan menganggu kehidupan pluralisme di Indonesia.
MUI juga pelan-pelan menjadi benteng kaum Islam konservatif yang sama
sekali tak ramah terhadap ide-ide pluralisme yang sangat dibutuhkan
untuk membangun masyarakat Indonesia yang plural dan damai. 

Bagaimana lembaga semacam ini membangun gedung sekretariat dengan biaya yang 
sangat besar dan berasal dari APBN?

Ulil Abshar Abdalla



mediacare
http://www.mediacare.biz

Kirim email ke