Telah dimuat di Harian Seputar Indonesia, 19 Agustus 2008 Introspeksi Diri Bakal Calon Wakil Rakyat Oleh Victor Silaen Citra buruk para wakil rakyat Indonesia akhir-akhir ini semakin kerap disorot, baik secara lisan di ruang-ruang publik dan forum-forum diskusi, maupun dalam tulisan di berbagai media massa. Sesungguhnya wajar saja jika banyak orang memberi penilaian negatif terhadap para politisi Indonesia dewasa ini. Sebab, kinerja sebagian besar politisi itu memang mengecewakan bahkan menyebalkan. Ada yang hobinya jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding, padahal hasilnya nyaris tak ada dan tak pula pernah diumumkan kepada publik. Belum lagi kalau para wakil rakyat yang studi banding ke luar negeri itu pakai bawa-bawa orang lain (entah keluarganya, asistennya, dan entah siapa lagi). Tidak pernahkah mereka berpikir bahwa apa yang mereka lakukan itu sebenarnya sudah menghabiskan uang negara (yang notabene berasal dari uang rakyat) secara tidak produktif? Ada lagi wakil rakyat yang hobinya main-cinta – bukan dengan pasangan sahnya. Sehingga, tidak mengherankan jika muncul kabar tak sedap bahwa di Senayan selalu ada makelar-cinta yang siap-sedia memasok kalau-kalau ada politisi yang memberi order. Memang, sangat sulit membuktikan kebenaran ”kabar burung” ini. Tapi, bukankah tak ada asap kalau tak ada api? Kalau tak ada fakta, masakan muncul berita? Ada satu hal lagi yang juga menjadi kegemaran para wakil rakyat kita, yakni: mencari uang sebanyak-banyaknya bagi diri sendiri. Caranya, antara lain, dengan mengusulkan dan memperjuangkannya secara gigih kenaikan gaji berikut tunjangan ini dan itu, pembengkakan anggaran sidang, penambahan dana operasional, dan lain sebagainya. Heran sekali, padahal mereka di lembaga legislatif untuk mewakili rakyat yang kebanyakan hidupnya justru susah dan menderita. Hanya itukah kelemahan atau kekurangan para wakil rakyat kita yang kerap menjadi sorotan? Kalau yang ini, yakni label ”4D”, bahkan sudah sejak era Soeharto menjadi sindiran masyarakat luas. Dengan itu berarti, kebanyakan politisi itu hanya ”datang, duduk, diam, duit” di Senayan. Bahkan yang lebih parah lagi, ada wakil rakyat yang datang pun jarang – sehingga untuk mereka label yang lebih cocok dikenakan adalah ”D” alias duit. Kendati demikian, hingga kini ternyata masih banyak orang yang berhasrat untuk menjadi wakil rakyat. Buktinya, ketika sejumlah partai peserta Pemilu 2009 mengumumkan pembukaan pendaftaran untuk menjadi bakal calon legislatif, yang berminat cukup banyak. Di antaranya adalah para selebritas. Bagaimana kita patut menyikapi fenomena ini? Di satu sisi kita prihatin, karena ternyata banyak partai yang tak mampu menjalankan salah satu fungsinya sebagai sarana rekrutmen dan pengkaderan elit-elit politik. Bukankah sebagai kekuatan politik yang berperan dominan di dalam sistem dan proses politik Indonesia, mestinya setiap partai senantiasa berada dalam keadaan siap menyuplai kader-kadernya untuk mengisi jabatan-jabatan politik yang tersedia? Jadi, mengapa harus membuka pendaftaran bagi masyarakat luas? Mengapa pula harus meminta para selebritas menjadi kader mereka? Di sisi lain, hasrat para selebritas itu sendiri untuk masuk ke lembaga legislatif patut dipertanyakan. Yang sangat mengherankan, sebagian bakal calon wakil rakyat itu ada yang masih sangat belia (20-an tahun) dan ada pula yang baru melahirkan anak. Yang masih sangat belia, sudah matangkah mereka untuk menjadi elit politik? Yang baru melahirkan anak, tidakkah lebih bijak jika ia mencurahkan waktunya untuk menjadi ibu yang bertanggungjawab? Masih banyak hal lain yang menjadi keraguan kita atas hasrat para selebritas itu menjadi wakil rakyat. Kita khawatir, jangan-jangan mereka menganggap menjadi wakil rakyat itu gampang. Pertanyaannya, apa betul gampang? Jelas tidak. Karena, alih-alih sebagai sumber matapencaharian, menjadi wakil rakyat itu sesungguhnya merupakan panggilan mulia untuk memperjuangkan idealisme demi meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menegakkan kebenaran dan mewujudkan keadilan di tengah kehidupan bernegara dan berbangsa. Jadi, janganlah menjadikan kursi-kursi di lembaga legislatif sebagai sumber nafkah setelah pekerjaan lain sebelumnya dianggap kurang menarik. Sebab, menjadi wakil rakyat itu sulit bahkan penuh risiko. Inilah yang seharusnya dipahami oleh setiap bakal calon wakil rakyat itu. Menjadi wakil rakyat itu sulit, karena diperlukan intelektualitas yang cukup dan wawasan yang dalam. Sebab, sebagian pekerjaan rutin wakil rakyat itu adalah bersidang, dan bersidang berarti beradu argumen. Untuk itu, tak bisa tidak, setiap wakil rakyat harus berani bersuara lantang dan mampu berpikir kritis-rasional. Kalau kedua syarat itu tidak dipenuhi, maka yang terjadi mungkin tiga hal ini: 1) bicara lantang tapi ngawur; 2) mengerti apa yang dibahas dalam sidang tapi diam saja; 3) tidak mengerti apa pun yang dibahas dalam sidang dan karena itu selalu diam. Moh. Mahfud MD, mantan anggota DPR yang kini menjadi anggota Mahkamah Konstitusi, pernah menulis artikel berjudul “Bye Bye DPR” di Harian Jawa Pos/Indo Pos (31 Maret 2008). Cuplikannya begini. Tetapi, begitu dilantik dan mulai ikut dalam sidang-sidang DPR, saya agak “shocked” karena apa yang pernah dikatakan Gus Dur bahwa DPR seperti “taman kanak-kanak” mulai terasa. Pada hari-hari pertama sidang DPR, saya punya kesan bahwa yang diperlukan adalah keahlian celometan, rebutan ngomong tanpa arah melalui interupsi yang salah kaprah. Bayangkan, sidang baru dibuka dan pimpinan baru memberikan pengantar sudah ada teriakan-teriakan interupsi. Interupsi yang dalam teknik persidangan hanya dipergunakan untuk meluruskan pembicaraan yang melenceng agar kembali ke pokok masalah yang sedang dibahas ternyata dibelokkan menjadi alat celometan. Belum ada pokok masalah yang dibahas sudah diinterupsi dengan berbagai hal yang remeh-temeh. Lebih lanjut, ia menulis: Bahkan, menyebutkan interupsi pun banyak yang salah. Ada yang meneriakkan ”instruksi”, ada yang meneriakkan ”instrupsi”, yang lain lagi meneriakkan ”intruksi”. Bahkan, ada yang meneriakkan ”interaksi” tanpa kikuk. Kacaunya lagi, belum diberi izin bicara banyak penginterupsi yang nyerocos berbicara. Kutipan di bagian lain sebagai berikut: Ada lagi yang menginterupsi hanya untuk memberi tahu bahwa jepitan laundry di lengan baju seorang pembicara belum dibuang. ”Insterupsi pimpinan sidang, harap diingatkan kepada pembicara bahwa forum di DPR ini terhormat; itu yang sedang berbicara jepitan laundry di lengan bajunya belum dibuang,” katanya yang juga disambut dengan tertawa riuh.
Mungkin kita tak percaya membaca apa yang ditulis Mahfud MD itu. Tapi, apa mau dikata jika itu memang fakta. Itulah wakil rakyat yang tidak kompeten untuk mewakili rakyat. Jadi, alih-alih menjadi penyambung lidah rakyat, keberadaan mereka di lembaga legislatif sia-sia belaka karena memboroskan anggaran negara. Seandainya kursi-kursi politik yang mereka duduki itu diberikan kepada orang-orang lain yang memang berkompeten, tidakkah rakyat senang dan negara pun produktif dalam mengelola anggarannya? Sesungguhnya, menjadi wakil rakyat juga merupakan rahmat, karena tidak semua orang mendapat kesempatan dan kepercayaan itu. Konsekuensinya, maka setiap wakil rakyat harus bekerja tulus penuh syukur. Menjadi wakil rakyat juga merupakan amanah, sehingga harus bekerja benar penuh tanggung jawab. Menjadi wakil rakyat juga merupakan ibadah, sehingga harus bekerja benar dan serius. Menjadi wakil rakyat juga merupakan aktualisasi diri, sehingga harus bekerja penuh semangat, kreatif dan unggul. Menjadi wakil rakyat juga merupakan kehormatan, sehingga harus bekerja tekun dan bertanggungjawab. Menjadi wakil rakyat juga merupakan pelayanan, sehingga harus bekerja dengan kerendahan hati. Berdasarkan semua hakikat menjadi wakil rakyat itu, maka seharusnya yang menjadi wakil rakyat adalah orang-orang yang bukan hanya berkompeten, tetapi juga berintegritas. Dengan sendirinya mereka tentulah menghindari terjadinya nepotisme di lembaga legislatif (khususnya yang berasal dari satu partai) semisal antara suami-isteri, orangtua/mertua-anak/mantu, kakak-adik, dan hubungan-hubungan kekeluargaan yang sejenisnya. Selagi masih ada waktu, sebelum KPU/KPUD mengumumkan Daftar Calon Tetap para anggota legislatif, kiranya para bakal calon wakil rakyat itu sendiri mengintrospeksi diri. * Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol.