Peneliti Jepang Mencabut Teori Bulu Meraknya Darwin
Tuesday, 08 April 2008
Tahun 2008 boleh dibilang tahun kemalangan teori Darwin. Setelah dianggap sudah
tak lagi memadai, banyak pakar mencabut teori-teorinya
Hidayatullah.com–Setelah teori seleksi alamnya dianggap tidak lagi memadai
sebagai mekanisme utama evolusi, teori asal usul anjing dan ayamnya dinyatakan
meleset, teori evolusi halus dan perlahannya terbukti tidak tepat, fosil bentuk
mata rantai impiannya tidak kunjung ditemukan, kini giliran teori bulu ekor
meraknya yang “mulai tercabut”. Inilah kesimpulan penelitian terbaru
sebagaimana diterbitkan jurnal ilmiah kelas dunia, Animal Behaviour, April 2008.
“Ini mementahkan keyakinan yang dipegang lama bahwa bulu merak jantan
berevolusi sebagai tanggapan atas pemilihan pasangan kawin oleh merak betina,”
tulis Discovery News, 27 Maret 2008. Temuan ini juga mengisyaratkan bahwa
bagian-bagian tubuh yang berpola rinci dan indah lain pada unggas seperti ayam,
kalkun, burung belibis, burung puyuh dan burung pegar, termasuk juga merak,
tidak mesti terkait dengan kemampuan beradaptasi dan keberhasilan perkawinan.
“Sudah menjadi sebuah kebenaran nyata sejak masa Darwinbahwa: Burung merak
betina lebih menyukai merak jantan berekor menawan—kipas berbulu indah yang
dibentangkannya untuk memukau si betina. Namun penelitian terbaru selama 7
tahun mempertanyakan anggapan yang telah lama diyakini ini, yang melaporkan
bahwa betina dalam populasi liar merak India(Pavo cristatus) tidak
memperlihatkan kecenderungan tersebut. Karya ilmiah yang memicu perdebatan itu
membantah kajian-kajian sebelumnya yang disanjung-sanjung, yang menyingkap
kaitan dan yang menjadi bagian dari kaidah biologi evolusi”. Demikian rangkum
media pro-evolusi ScienceNOW Daily News, 31 Maret 2008.
Tak ketinggalan, majalah ilmiah pendukung evolusi kondang asal Inggris, New
Scientist, 27 Maret 2008, menurunkan berita yang menyentak para Darwinis itu
dengan judul “Have peacock tails lost their sexual allure?” (Sudahkah ekor
merak jantan kehilangan daya pikat seksualnya?).
“Penelitian yang memunculkan perdebatan itu menemukan tidak adanya bukti yang
mendukung pandangan lama – yang nyaris dikeramatkan dalam ajaran evolusi –
bahwa merak betina memilih pasangan mereka berdasarkan mutu ekor merak jantan,”
ulas New Scientist.
Berita itu menurunkan kajian ilmiah yang untuk kesekian kali mementahkan
teori-teori Darwinyang dijadikan tulang punggung utama biologi evolusi, serta
diyakini layaknya “fakta, bahkan agama suci” oleh para pengikut dogmatisnya.
Pendek kata, setelah mengamati perilaku perkawinan pasangan burung merak
sebanyak ratusan kali, peneliti asal Jepang Mariko Takahashi beserta timnya
gagal membuktikan kebenaran teorinya Darwintentang seleksi seksual.
Kepincut ekor indah?
Sejak dulu, Charles Darwin sendiri sudah tahu bahwa teori seleksi alamnya
memiliki kekurangan. Seleksi alam tidak mampu menjelaskan evolusi perhiasan
hewan jantan seperti pola bulu yang rumit, yang menurutnya tampak tidak
berguna. Untuk itu, ia lantas mengemukakan teori bahwa perhiasan seperti bulu
indah merak jantan tersebut muncul melalui seleksi seksual.
Hal ini diuraikannya dalam bukunya “The Descent of Man and Selection in
Relation to Sex (1871)”. Ini adalah buku terbesar Darwinyang membahas teori
evolusi, setelah buku The Origin of Species. Buku “The Descent of Man”
mengutarakan penerapan teori Darwinpada evolusi manusia, dan merinci teori
seleksi seksual. Di samping itu diuraikan juga dalam buku tersebut masalah
terkait seperti psikologi evolusi, etika evolusi, perbedaan antar-ras manusia,
perbedaan antara kelamin manusia, dan sangkut-paut teori evolusi dengan
masyarakat manusia..
Menurut teori seleksi seksual, di kebanyakan spesies, sang betina memilih
pasangan kawinnya, yang diduga mereka lakukan dengan menilai sifat-sifat yang
mencerminkan kesehatan genetis pejantan. Perilaku ini dapat diamati misalnya
pada merak, di mana sang jantan memiliki ekor lebih panjang daripada badannya
serta berhiaskan pola mata berwarna warni. Jumlah pola mata ini mungkin terkait
dengan mutu gen pejantan, sehingga sang betina diduga memilih pasangan dengan
jumlah corak mata terbanyak pada bulu ekornya.
Semakin tidak terbukti
Lebih dari 10 tahun silam, pakar biologi evolusi, Marion Petrie dari Newcastle
University, Inggris melakukan penelitian mengenai teori seleksi seksual
tersebut. Hasil kajiannya terbit di jurnal ilmiah kondang dunia Animal
Behaviour (Perilaku Hewan), Volume 41 (2) Februari 1991, dengan judul “Peahens
prefer peacocks with elaborate trains“ (Merak betina lebih menyukai merak
jantan dengan ekor berpola terperinci).
Kajian Petrie ini dilakukan dengan cara mencabuti bagian bulu berpola mata pada
ekor merak jantan; akibatnya merak jantan ini diabaikan oleh sang betina yang
tidak terpikat lagi. Tambahan lagi, anak merak yang berindukkan merak jantan
berbulu ekor lebih indah memiliki ketahanan hidup jangka panjang lebih baik
dibandingkan anak merak lain. Hasil penelitian puluhan tahun lalu ini di
kemudian hari banyak dijadikan rujukan peneliti selanjutnya.
Untuk mendukung kebenaran hasil penelitian Marion Petrie tersebut, Mariko
Takahashi, pakar perilaku hewan asal University of Tokyo, Jepang, menghabiskan
waktu 7 tahun dengan mengamati 268 kali peristiwa perkawinan pasangan merak. Di
luar dugaan, kesimpulan penelitian yang mereka dapatkan malah justru membantah
teori tersebut.
Tidak ada kaitannya
Lebih jelasnya, penelitian itu melibatkan populasi merak India di Izu Cactus
Park, Shizuoka, Jepang. Takahashi dan kelompok penelitiannya menemukan bahwa
pada merak India, suara merak jantan tampaknya berperan lebih besar dalam
menarik perhatian sang betina daripada tampilan gaun ekornya yang elok dan
aduhai.
Selama musim semi 1995-2001, kelompok ilmuwan Jepang itu mengamati keberhasilan
perkawinan merak jantan dan betina berdasarkan sudut pandang kedua jenis
kelamin. Yang mereka jadikan sebagai pusat pengamatan adalah apa yang
diistilahkan sebagai perilaku “goyangan si jantan”.
Ketika melakukan goyangan, sang pejantan memamerkan dan menggetarkan gaun
ekornya secara langsung kepada seekor betina yang mendekat. Goyangan ini
memunculkan suara bising. Merak betina tampak aktif menggoda, melakukan ajakan
kawin dengan bergerak mengelilingi pejantan yang tampak mereka sukai.
Peneliti Jepang itu menjadikan perilaku ini sebagai ukuran keberhasilan
perkawinan dan mengaitkannya dengan segi keindahan ekor merak jantan, termasuk
panjang ekor dan jumlah pola berbentuk mata.. Peneliti itu juga mencatat jumlah
dan lama tarian merak jantan tersebut.
Hasilnya, kaitan antara rincian pola bulu ekor merak jantan dengan keberhasilan
perkawinannya tidak ditemukan. Merak betina kawin dengan merak jantan bermutu
buruk maupun bermutu baik dengan tingkat keseringan yang sama. Bahkan, yang
mereka saksikan malah adanya sedikit perbedaan pada ekor merak-merak jantan
dalam populasi yang mereka teliti. Kaitan apa pun tidak mereka temukan antara
ekor merak jantan dengan kemampuannya beradaptasi dan menghasilkan keturunan.
Hasil pengamatan Takahashi dan rekan itu terbit pula dalam jurnal bergengsi
Animal Behaviour, volume 75 (4), edisi April 2008, halaman 1209-1219. Judulnya
mirip tapi dengan kesimpulan yang membantah hasil penelitian Marion Petrie
sebelumnya: “Peahens do not prefer peacocks with more elaborate trains” (Merak
betina tidak lebih menyukai merak jantan dengan ekor berpola lebih terperinci).
Kesimpulan singkatnya: Teori seleksi alamnya Darwinditemukan tidak berlaku pada
merak yang diteliti Takahashi dan timnya.
Adu mulut
Bisa ditebak, para ilmuwan yang tidak menempatkan teori Darwinsebagaimana teori
ilmiah lain yang bisa tumbang tidak mudah menerima begitu saja hasil ini.
Mereka yang menjadikan teorinya Darwinlayaknya dogma mati bahkan ajaran suci
yang sakral yang mereka anggap harus selalu benar, sangat sulit menerima
kenyataan ini. Pengikut buta Darwinini gerah karena ternyata “agama
evolusionisme” mereka goyang oleh penelitian yang awalnya justru bertujuan
membuktikan kebenarannya. Darwinis fanatik yang mencengkeram dunia ilmiah ini
sulit mengakui hasil temuan ilmiah yang menjungkirbalikkan keyakinan mereka.
Sesama ilmuwan evolusionis saling adu mulut dalam menanggapi temuan ilmuwan
Jepang itu. Namun setidaknya, sebagian mereka cukup bijak dengan mengakui
kebingungan dan ketidaktahuan kalangan ilmuwan akibat temuan baru ini. Sebut
saja Stein Are Sæther, pakar biologi evolusi di University of Oslo, Norwegia,
yang mengatakan bahwa hasil kajian terbaru itu menunjukkan bahwa “kita
sesungguhnya tidak mengetahui pasti apa yang sedang dilakukan sang betina
ketika mereka mengamati sang jantan”, tuturnya kepada Science.
Atau lebih tepat lagi, sebagaimana dikutip Colin Barras di New Scientist, 27
Maret 2008: “gaun ekor merak jantan bukanlah acuan pemilihan pasangan seksual
oleh betina – membantah teori seleksi seksualnya Darwin,” simpul sang peneliti,
Takahashi dkk.
[wwn/newscientist/science/discovery/animalbehaviour/www.hidayatullah.com