----- Original Message ----- 
  From: MGR 
  To: [EMAIL PROTECTED] 
  Sent: Wednesday, August 27, 2008 1:06 AM
  Subject: [mediacare] Teriak Allahu Akbar, Kelakuan Bar-Bar


        Saya baru pulang dari acara Ulang Tahun AJI ke-14 (met ulang tahun). 
Ada acara yang sangat menarik bagi saya di ujung acara, Slank tampil 
menyanyikan lagu-lagu mereka yang berisi kritik sosial. Contohnya "Gosip 
Jalanan" yang membuat anggota beberapa DPR marah dan mengancam melaporkan Slank 
ke polisi. Dari lagu ini, bait terakhir yang paling saya suka. Bunyinya begini:

        ....
        Pernah gak denger teriakan Allahu Akbar
        Pake peci tapi kelakuan barbar
        Ngerusakin bar orang ditampar-tampar

        Lagu ini mengingatkan saya pada persidangan Residivis Rizieq Shihab dan 
cerita Mbak Musdah yang mengikuti sidang itu di hari Senin kemaren (saya tidak 
bisa ikut karena berada di Papua).

        Lirik lengkap lagu tersebut:

        GOSIP JALANAN

        Pernah kah lo denger mafia judi
        Katanya banyak uang suap polisi
        Tentara jadi pengawal pribadi

        Apa lo tau mafia narkoba
        Keluar masuk jadi bandar di penjara
        Terhukum mati tapi bisa ditunda

        Siapa yang tau mafia selangkangan
        Tempatnya lendir-lendir berceceran
        Uang jutaan bisa dapat perawan
        Kacau balau … Kacau balau negaraku ini ..

        Ada yang tau mafia peradilan
        Tangan kanan hukum di kiri pidana
        Dikasih uang habis perkara

        Apa bener ada mafia pemilu
        Entah gaptek apa manipulasi data
        Ujungnya beli suara rakyat

        Mau tau gak mafia di senayan
        Kerjanya tukang buat peraturan
        Bikin UUD ujung-ujungnya duit

        Pernah gak denger teriakan Allahu Akbar
        Pake peci tapi kelakuan barbar
        Ngerusakin bar orang ditampar-tampar 

        Bersama coretan ini pula saya sertakan laporan Mbak Musdah tentang 
suasana persidangan Residivis Rizieq Shihab yang dipenuhi oleh mereka yang suka 
"teriak Allahu Akbar" tapi "berkelakuan bar-bar".

        Guntur


        Pengalaman Mengikuti Sidang Rizieq

        Musdah Mulia

        Saya masih berada di Balikpapan ketika Anick mengirim info via sms 
bahwa dia dan Suaedy akan menjadi saksi dalam persidangan Rizieq hari Senin, 
tanggal 25 Agustus 2008, pukul 09.00 di PN Jakarta Pusat. Begitu inginnya saya 
menyaksikan persidangan, saya bergegas pulang ke Jakarta, meski harus naik 
pesawat dengan tiket yang harganya dua kali lipat dari harga normal. Dalam 
benak saya, sidang ini pasti meriah karena dipenuhi massa FPI, mengingat 
terdakwa adalah Rizieq Shihab, orang yang selama ini mereka kultuskan.

        Senin pagi saya menjemput Amanda menuju PN. Di depan PN polisi dalam 
jumlah yang cukup banyak sudah berdiri menjaga pintu masuk. Mulanya, kami 
khawatir tidak boleh masuk. Tetapi, setelah minta izin, polisi dengan ramah 
mempersilahkan dan memberikan jalan. Di dalam gedung kami berpapasan dengan 
beberapa orang dari AKKBB. Selanjutnya, kami bergegas masuk ruang sidang tanpa 
menghiraukan pandangan mata massa FPI yang memperhatikan langkah kami.

        Dugaan saya benar. Ruang sidang sudah dipenuhi massa FPI, mereka 
terdiri dari laki dan perempuan, lebih banyak laki dan sebagian besar memakai 
baju koko putih dengan tulisan FPI. Untungnya pada bangku kedua dari depan ada 
tempat kosong, cukup untuk kami berdua. Lalu, kami duduk dengan tenang. Suara 
takbir menggelegar memenuhi ruangan, itu terjadi setiap kali diteriakkan kata 
"takbir" oleh pemimpin mereka. Silih berganti ucapan takbir dan salawat 
diteriakkan.

        Dua orang yang tadi duduk di sebelah saya pindah tempat. Bersamaan 
dengan itu Nong, Anick, Saidiman dan Ilma datang. Kami berenam duduk 
bersempit-sempitan di satu bangku (normalnya bangku pengunjung di PN itu hanya 
muat empat orang). Kami menunggu agak lama, tapi saya sudah terbiasa dengan 
jadual sidang yang sering tidak tepat waktu. Saya katakan pada Amanda, ini 
sudah biasa, jadual sidang selalu molor. Mungkin bosan menunggu, Nong, Ilma, 
Anick dan Saidiman keluar ruangan. Kami berdua tetap di dalam dan tempat di 
kiri-kanan kami yang tadi ditempati teman-teman, sekarang diisi orang-orang 
FPI, semuanya laki-laki.

        Sementara itu, massa FPI terus berdatangan, padahal ruangan sudah penuh 
sesak. Sebagian mereka duduk di lantai sebagian lagi berdiri di seputar dinding 
ruang sidang. Ruang yang tadinya masih terasa sejuk oleh AC, sekarang sudah 
berubah panas dan sumpek. Seingat saya ada aturan yang ketat dalam persidangan 
menyangkut berapa orang yang bisa masuk mengingat kondisi ruang yang terbatas 
dan juga agar kehadiran massa yang begitu banyak tidak mengganggu jalannya 
sidang. Tetapi, aturan itu kok tidak berjalan?

        Sambil menunggu para hakim memasuki ruangan sidang, dan dalam suasana 
riuh, panas dan sumpek itu, seorang pemimpin FPI memberi instruksi agar mulai 
melakukan ratiban, tentu saja dengan suara yang keras dan menyentak-nyentak. 
Massa FPI membaca salawat, doa dan wiridan lainnya mengikuti pemimpin mereka. 
Herannya para petugas tidak ada yang berani menghentikan kegiatan yang tidak 
lazim ini. Disebut tidak lazim karena seumur hidup baru kali ini saya 
menyaksikan acara ratiban di ruang sidang.

        Sebagai orang yang besar dalam tradisi NU, ratiban ini sama sekali 
bukan hal yang asing buat saya. Aktivitas ini merupakan hal yang lumrah sejak 
di pesantren. Karena itu, saya menikmati bacaan ratiban dan mengikutinya, 
tetapi cukup di dalam hati, tidak perlu bersuara. Di pesantren, kami terbiasa 
ratiban dengan suasana khidmat, tidak dengan menyentak-nyentak sehingga 
mengeluarkan suara gaduh dan berisik yang pasti mengganggu kenyamanan orang 
lain.

        Di ujung ratiban itu, berdirilah salah seorang imam mereka untuk 
meminpin doa akhir dan meminta semua hadirin untuk berdiri. "Semua yang mengaku 
Muslim harap berdiri, demikian perintahnya" Amanda dan saya tidak berdiri dan 
itu segera membuat pandangan mereka tertuju kepada kami dengan wajah marah. 
Lalu spontan berhamburan cacian kepada kami: "kalau Islam berdiri dong" "Hai 
kafir jangan duduk aja" "kamu bukan golongan muslim ya" dan seterusnya. Kami 
tetap diam tidak bergeming. Suasana mulai memanas, dan secara refleks saya lalu 
menengadahkan tangan berdoa, tetapi dalam posisi tetap duduk, demikian pula 
Amanda. Terdengar suara, "sudah gak usah diterusin, mereka sudah mengikuti asas 
Islam" Saya tidak mengerti arti ucapan mereka itu. Yang pasti doa lalu 
dibacakan oleh imam mereka dan massa FPI larut dengan ucapan amin, amin, amin 
dengan suara lantang, seolah memaksa Tuhan mengabulkan doa mereka. Dalam 
perjalanan pulang, Amanda berkata kepada saya: "heran ya kok di ruang resmi 
seperti ini mereka masih memaksakan kehendaknya pada orang lain? "Apalagi soal 
berdoa, itukan tidak harus berdiri, bisa dengan duduk, berbaring, terserah 
kita." Ya, begitulah mereka, jawab saya.

        Pembacaan doa berakhir dan tiada berapa lama, para hakim memasuki 
ruangan diiringi terdakwa. Ada hal menarik ketika terdakwa, Rizieq memasuki 
ruangan dan duduk di kursi yang disediakan. Tiba-tiba seorang perempuan 
menyelonong masuk. Hakim Ketua sempat menegur: "ehh ini siapa?" Lalu dijawab, 
isteri Rizieq. "Mestinya tidak lewat pintu ini, melainkan lewat pintu 
pengunjung". Kata Hakim Ketua. Saya tersenyum melihat pemandangan aneh ini. 
Baru saja Hakim Ketua membuka sidang, segera diinterupsi oleh Tim Pembela. 
Interupsi itu berkaitan dengan kehadiran polisi di dalam ruangan sidang. 
Menurut Tim Pembela, kehadiran polisi tidak layak dalam ruangan sidang. 
Alasannya, terdakwa bukan lah orang yang membahayakan, melainkan orang baik. 
Orang yang selama ini dikenal sebagai tokoh Islam. Sempat terjadi adu 
argumentasi yang hangat, akhirnya Hakim Ketua memutuskan sebagian besar polisi 
meninggalkan ruangan, hanya 4 polisi yang tetap berada di dalam. Saya memberi 
acungan jempol kepada Hakim Ketua, sikapnya tegas, tenang dan tidak terpengaruh 
oleh kondisi ruang sidang yang "hahgat".

        Sidang hari ini khusus untuk mendengar penuturan para saksi. Giliran 
pertama yang dipanggil, Anick menyusul Saidiman. Pertanyaan pertama diajukan 
oleh Jaksa Penuntut. Kesan saya, para jaksa penuntut tidak bekerja optimal 
seperti biasanya. Entahlah, apa mereka itu mengalami tekanan psikis akibat ulah 
massa FPI di ruang sidang atau sedang dalam kondisi yang tidak fit untuk 
bersidang. Sebaliknya, Tim Pembela justru sangat bersemangat. Mereka dengan 
lantang mencecar para saksi dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan, 
membuat para saksi agak kewalahan. Untunglah, keduanya tidak terpedaya dan 
menjawab pertanyaan dengan tegas dan tenang. Hanya dalam pertanyaan yang 
bersifat teknis, seperti berapa banyak massa AKKBB atau berapa banyak massa FPI 
para saksi tidak memberikan jawaban yang pasti.

        Sebagai orang awam dalam etika persidangan, saya mempertanyakan 
kebolehan mengungkapkan kalimat-kalimat berikut: Anda Muslimkan? ;Jangan bohong 
ya, tadi Anda sudah disumpah secara Islam; Anda ini pembohong, kalau Anda 
berada sekitar 20 meter dari massa FPI di Monas pasti Anda sudah digebukin 
juga! Selain itu, suasana sidang masih juga diselingi yel-yel Allahu Akbar dan 
kalimat agamis lainnya.

        Lalu, juga sepanjang proses persidangan saya mendengarkan sejumlah 
ungkapan menghujat saksi. Tentu saja saya tidak berusaha melihat orang yang 
mengeluarkan ungkapan itu. Saya menyimak beberapa ungkapan, seperti: 
"astagfirullah ini orang kafir"; "dasar kafir lho"; "beraninya ngaku Islam"; 
"giliran di sumpah pake Qur'an"; "kamu pantas di neraka".

        Paling tidak ada dua pelajaran berharga dari sidang ini. Pertama, 
pertanyaan paling rinci terhadap saksi adalah soal motivasi yang 
melatarbelakangi aksi di Monas. Sepertinya, ada upaya untuk memutarbalikkan 
fakta bahwa itu adalah aksi membela Ahmadiyah. Setahu saya tujuan satu-satunya 
aksi damai di Monas adalah memperingati hari lahir Pancasila. Peringatan ini 
dilakukan demi memperkuat ikatan kebangsaan dan keindonesiaan yang semula 
dirajut oleh para the Founding Fathers dengan memilih Pancasila sebagai 
ideologi negara. Kalau dipikir secara mendalam, pilihan itu tentu tidak mudah, 
tetapi sangat bijaksana. Muncul pertanyaan mengapa tidak memilih ideologi 
Islam? Bukankah sebagian besar para the Founding Fathers adalah tokoh-tokoh 
Islam yang sangat dikenal? Jawabnya tegas, memilih agama sebagai ideologi 
negara akan sangat problematik. Bicara soal agama berarti bicara soal tafsir, 
dan bicara soal tafsir pasti sangat beragam, tidak pernah tunggal. 
Pertanyaannya lalu tafsir mana akan dipedomani pemerintah? Sungguh tidak mudah 
dan pasti sangat problematik. Saya memuji, betapa cerdas dan bijaknya para 
pendahulu bangsa ini memilih Pancasila.

        Pancasila mengajarkan agar pemerintah bersikap netral dan adil terhadap 
semua penganut agama dan kepercayaan. Pemerintah tidak perlu mencampuri urusan 
substansi ajaran setiap agama dan kepercayaan. Pemerintah cukup menjamin agar 
setiap warga dapat mengekspressikan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing 
secara aman, nyaman dan bertanggung jawab. Pemerintah tidak berhak mengakui 
mana agama yang resmi dan tidak resmi atau agama yang diakui atau tidak diakui. 
Semua penganut agama memiliki posisi setara di hadapan hukum dan 
perundang-undangan. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas. Semua warga 
adalah pemilik sah negeri ini. Karena itu, sikap pemerintah membiarkan perilaku 
diskriminatif terhadap kelompok agama minoritas, seperti penghayat kepercayaan, 
pemeluk agama lokal, komunitas Ahmadiyah, Lia Eden, kelompok Kristen dan 
sejumlah komunitas agama dan kepercayaan lainnya jelas bertentangan dengan 
Pancasila.

        Kedua, hal menarik dari massa FPI adalah sikap kepatuhan, kedisiplinan 
dan loyalitas yang sangat kuat pada pimpinan. Dalam ruang sidang tadi, saya 
mengamati setiap kali pimpinan mereka memberi aba-aba, walau hanya dengan 
isyarat tangan, dengan serentak mereka beraksi. Misalnya, jika diberi aba-aba 
takbir, serentak mereka takbir. Diberi aba-aba diam, serentak mereka diam. 
Sungguh menakjubkan!! Jadi, mereka juga bisa menjadi sangat disiplin. 
Sayangnya, disiplin itu bukan muncul karena kesadaran kemanusiaan, melainkan 
karena diperintah oleh pimpinan.

        Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat 
dipolakan ke dalam dua kategori: corak agama otoritarian dan agama humanistik. 
Agama humanistik, memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta 
menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. 
Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakini benar. 
Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, 
untuk selanjutnya membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama 
manusia, serta menjaga kelestarian alam semesta.

        Sebaliknya, unsur hakiki dari agama otoritarian adalah sikap penyerahan 
diri secara mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi kekuatan utama, dan 
sebaliknya, ketidaktaatan dianggap dosa paling besar. Dengan latar belakang 
Tuhan yang menakjubkan sebagaimana diimani oleh agama otoritarian, manusia 
dipandang tak berdaya, tak berarti dan serba-dependen. Dalam proses submisi 
ini, manusia menanggalkan kebebasan dan integritas diri sebagai individu dengan 
janji memperoleh pahala berupa keselamatan dan kedekatan dengan Tuhan. 
Ironisnya, ketaatan kepada Tuhan dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk 
ketaatan kepada pimpinan. Jadi, sebetulnya mereka taat kepada manusia yang 
mengklaim diri sebagai wakil Tuhan, bukan pada Tuhan yang sesungguhnya. Tidak 
heran, jika pengikutnya sangat tergantung pada pemimpin dan sangat loyal pada 
organisasi. Agama otoritarian selalu melahirkan bentuk kultus, radikalisme, dan 
fundamentalisme. Pemimpin kelompok ini sangat mungkin berlaku sewenang-wenang 
dan pengikutnya pun mampu melakukan kekerasan dan kekejaman. Lagi-lagi atas 
nama Tuhan dan atas nama agama. Mengerikan!.

        Jakarta, 25 Agustus 2008 

   

Kirim email ke