·   Ada pastor, bruder atau suster, yang telah belajar
manajemen dan kemudian bertugas sebagai ‘pemimpin’, entah di paroki atau
sekolah dan karya-karya pastoral lainnya, begitu keras dan ketat mengikuti
peraturan untuk dikenakan pada orang lain, tetapi sering demi kepentingan
sendiri melanggar peraturan seenaknya dan merasa tidak bersalah. Mereka
mengelola dan mengurus karya pastoral begitu yuridis tanpa kebijakan pastoral
sedikitpun, dan rasanya mereka itu seperti orang Farisi yang menuduh Yesus: 
“Mengapa kamu berbuat sesuatu yang tidak
diperbolehkan pada hari Sabat”, padahal mereka sendiri sering melanggar aturan
yang mereka buat atau sepakati bersama.. “Kerasulan
semua religius pertama-tama terletak dalam kesaksian hidup yang sudah
dibaktikan, yang harus mereka pelihara dengan doa dan tobat” (KHK kan 673), 
demikian kutipan dari Hukum Gereja perihal
karya pelayanan bagi para religius, dan kiranya juga berlaku bagi para pastor.
Maka dengan ini kami mengajak dan mengingatkan rekan pastor, bruder atau suster
untuk merenungkan dan menghayati sabda Yesus::”Anak Manusia adalah Tuhan atas 
hari Sabat”. Dalam keadaan biasa
atau normal memang peraturan pada umumnya dapat dilaksanakan dengan baik, namun
dalam kasus-kasus tertentu butuh kebijakan pastoral. Tentu saja yang berani
melangkah dengan kebijakan pastoral adalah orang yang sungguh membaktikan 
hidupnya kepada Tuhan serta
memeliharanya dengan doa dan tobat, sehingga orang yang bersangkutan
terbuka terhadap bisikan atau sentuhan Roh Kudus atau kehendak Tuhan. Aneka
macam aturan atau hukum dibuat dan diundangkan agar siapapun yang terkait
dengan aturan atau hukum tersebut semakin ber-Tuhan, terbuka terhadap bisikan
dan sentuhan Roh Kudus, bukan sebaliknya. Sentuhan atau biskan Roh Kudus atau
kehendak Tuhan mendorong dan menggerakkan kita untuk bertindak demi keselamatan
jiwa, maka hendaknya menyikapi aneka aturan dan hukum dengan jiwa keselamatan
jiwa.

·   “Sampai pada
saat ini kami lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup mengembara, kami
melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati;
kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab
dengan ramah; kami telah menjadi sama dengan sampah dunia, sama dengan kotoran
dari segala sesuatu, sampai pada saat ini” (1Kor 4:11-13), demikian kesaksian 
Paulus, rasul agung. Marilah kita
meneladan semangat Paulus: melakukan
pekerjaan yang berat, memberkati mereka yang memaki, menjadi sabar ketika
dianiaya atau menderita, tetap ramah ketika difitnah atau dianggap sampah,
dst…, tentu saja ketika kita setia pada panggilan dan tugas perutusan atau
kewajiban kita, hidup dan bertindak sesuai dengan charisma atau spiritualitas
yang kita imani dan sedang kita geluti. Setia dalam iman, panggilan dan tugas
perutusan memang tidak akan terlepas dari aneka macam kerja berat, aniaya atau
derita, fitnah dst.., sebagaimana telah dihayati oleh Yesus, Tuhan dan Guru
kita. Marilah kita siap sedia serta rela berkorban serta berjiwa besar jika
dianggap sampah, dimaki dan difitnah atau menjadi tempat sampah. Keutamaan
kesabaran dan keramahan serta kesediaan untuk memberkati rasanya ‘lahir’ dari
atau dalam aneka macam derita, aniaya atau fitnah karena kesetiaan pada
panggilan dan tugas perutusan. Belajar menjadi sabar dan ramah pada saat ini
rasanya dapat kita usahakan atau laksanakan di dalam hidup sehari-hari,
misalnya ketika menghadapi kemacetan lalu lintas di kota-kota besar seperti
Jakarta, ketika makanan atau minuman belum siap pada waktunya, ketika harus
bekerja berat demi kebersihan lingkungan hidup, dst.. Kesabaran dan keramahan
kiranya merupakan keutamaan-keutamaan yang mendesak dan up to date untuk kita 
hayati
dan sebarluaskan dalam hidup bersama pada saat ini, mengingat dan memperhatikan
bahwa kemajuan dan perkembangan begitu pesat aneka macam sarana elektronik dan
komunikasi seperti HP telah membuat banyak orang kurang atau tidak sabar dan
tidak ramah.


Jakarta, 6 September 2008



Kirim email ke