· SP Maria adalah teladan umat beriman; sejak ia menerima panggilan untuk menjadi Bunda Penyelamat Dunia dengan berkata:”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”(Luk 1:38), ia senantiasa bersatu dengan Penyelamat Dunia sampai di kayu salib, “dekat salib Yesus berdirilah ibuNya”. Maka ada pepatah dalam bahasa Latin “per Mariam ad Iesum” (=melalui Maria menuju Yesu), yang kiranya layak menjadi permenungan kita, seperti dilakukan oleh murid terkasih, Yohanes, yang ‘menerima dia (SP Maria) di dalam rumahnya’. Jika kita cermati memang cukup banyak orang melalui atau dengan berdevosi kepada SP Maria menjadi semakin dekat dan mesra dengan Tuhan (cukup banyak umat di desa-desa atau pelosok-pelosok memanfaatkan waktu menjelang perayaan ekaristi dengan berdoa rosariyo, dalam doa-doa bersama di lingkungan untuk berbagai kepentiingan senantiasa ada doa rosariyo bersama, dst..). Ensiklik atau surat-surat pastoral dari Kepausan/Paus senantiasa diakhiri dengan ajakan untuk berdevosi kepada SP Maria. Maka marilah kita berdevosi dan meneladan SP Maria, teladan cintakasih keibuan. “Sambil mencontoh Bunda Tuhannya, Gereja dengan kekuatan Roh Kudus secara perawan mempertahankan keutuhan imannya, keteguhan harapannya, dan ketulusan cintakasihnya” (Vatikan II, LG no 64). Gereja adalah kita semua yang beriman atau percaya kepada Yesus Kristus, sebagai anggota Gereja kita dipanggil untuk mempertahankan keutuhan iman, keteguhan harapan dan ketulusan cintakasih. Rasanya yang baik menjadi permenungan atau refleksi kita saat ini adalah mempertahankan ketulusan cintakasih; cintakasih sebagai ajaran utama dan pertama dari Yesus Kristus. Cintakasih yang tulus dan utuh disimbolkan dengan cincin yang bulat dan tanpa batas atau ujung pangkal sebagaimana dianugerahkan kepada suami dan isteri ketika saling menerimakan sakramen perkawinan atau para suter ketika mengikrarkan kaul kekal dalam hidup membiara. Cintakasih tulus berarti tanpa syarat, saling mencintai dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan segenap tubuh atau kekuatan baik dalam untung maupun malang, dalam suka maupun duka, seperti seorang ibu yang mengasihi anak-anaknya..
· “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan. Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya,dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya” (Ibr 5:7-9). “Belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya”, itulah kiranya yang layak dan baik menjadi permenungan atau refleksi kita. Jika kita setia pada panggilan dan tugas perutusan kita masing-masing, kiranya kita tidak akan terlepas dari aneka derita. Hendaknya jika harus menderita karena kesetiaan pada panggilan dan tugas perutusan bersyukur dan berterima kasih karena dengan demikian kita memperoleh kesempatan untuk belajar menjadi taat. Taat rasanya erat kaitannya dengan keutamaan ‘tepat janji’ yaitu “sikap dan perilaku yang menunjukkan keterikatan yang bertanggungjawab terhadap apa yang telah disetujui, baik pada diri sendiri maupun bersama orang lain. Ini diwujudkan dalam perilaku yang selalu konsisten dengan apa yang telah dinyatakan, baik melalui kata-kata, perencanaan, niat maupun iktikad. Perilaku ini diwujudkan dalam hubungannya dengan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat atau bangsa” (Prof Dr. Edi Sedyawati /edit : Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka –Jakarta 1997, hal 28). Orang yang taat dan tepat janji akan ‘menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepadaNya’. Marilah kita taat dan tepat janji atas apa yang pernah kita ikrarkan atau yang ditugaskan kepada kita dengan berpegang pada sabda ini: “Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.”(Fil 1:6) Jakarta, 15 September 2008