Ketika Al Hallaj bilang AKULAH ALLAH, maka banyak orang mencaci dan akhirnya 
membunuhnya.
 
Ketika Syech Siti Jenar bilang, AKULAH ALLAH, maka banyak orang mencaci dan 
akhirnya membunuhnya.
 
Bagi mereka yang mengerti, Ketika kita menyadari, bahwa diri kita ini mati, 
diri kita ini hanya seonggok  daging dan tulang, kita bisa bekerja dan berbuat, 
hanyalah karena kehendak Allah yang ada pada diri kita.
 
Salam,
 

--- On Thu, 9/25/08, Romo maryo <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Romo maryo <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [zamanku] Menurutmu, siapakah Aku?
To: [EMAIL PROTECTED]
Cc: [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], 
"Teresia Stephany" <[EMAIL PROTECTED]>, [EMAIL PROTECTED], "Vicky" <[EMAIL 
PROTECTED]>, [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL 
PROTECTED], "wahyudi wirawan" <[EMAIL PROTECTED]>, [EMAIL PROTECTED], [EMAIL 
PROTECTED], zamanku@yahoogroups.com, "zerafin_libra" <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Thursday, September 25, 2008, 6:33 AM








·   Seandainya suami atau isteri anda bertanya pada anda “menurut kamu siapakah 
aku ini”, apa
jawaban anda? Seandainya anak-anak anda bertanya kepada anda sebagai
orangtua  “merurut bapak ibu, siapa aku ini”, apa jawaban atau reaksi anda?
Dst…Saya yakin ketika pada suatu saat kita memperoleh pertanyaan macam itu dari
anak-anak, suami/isteri, saudara-saudari kita, maka reaksi kita terkejut dan
mungkin marah-marah. Para murid ditanyai oleh Yesus “Menurut kami, siapakah Aku 
ini?” dan Petrus menjawab “Mesias dari Allah”. Mendengar jawaban
ini “Yesus melarang mereka dengan keras,
supaya mereka jangan memberitahukan hal itu kepada siapapun”. Mengapa?
Kiranya para murid masih bersifat egois, sehingga pengakuan iman dengan
kata-kata itu belum hidup dan menjadi nyata dalam cara hidup dan cara bertindak
mereka, yaitu meneladan Yesus yang “harus
menanggung banyak penderitaan”, karena Ia datang ke dunia untuk mempersembahkan 
Diri bagi
keselamatan seluruh dunia dan untuk itu harus menghadapi tokoh-tokoh masyarakat
yang egois serta menentangNya. Maka marilah dengan rendah hati kita mengakui
dan menghayati diri sebagai orang yang lemah dan rapuh, yang kiranya kurang
atau tidak setia pada tugas perutusan atau panggilan kita. Kita mengakui diri
sebagai suami/isteri, orangtua, guru, anak, murid/peserta didik, imam, bruder
atau suster, pemimpin atau pejabat dst..namun cara hidup dan cara bertindak kita
masih egois, bukan atau belum menjadi man
or woman for/with othsrs. Jika kita mengakui diri sebagai orang beriman,
maka kita memperoleh tugas perutusan atau panggilan untuk menjadi man or woman 
for/with others, hidup dan
bertindak demi kebahagiaan dan keselamatan yang lain, dan dengan demikian kita
sendiri bahagia dan selamat. Sebaliknya jika kita egois, maka kita tidak
bahagia dan tidak selamat dan cara hidup atau cara bertindak kita senantiasa
menyengsarakan atau membuat menderita yang lain. Marilah kita didik, bina dan
dampingi anak-anak kita untuk tumbuh berkembang menjadi man or woman for/with 
others, tentu saja harus disertai atau
dijiwai dengan keteladanan kita. 

·   “Apakah
untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah? Aku telah melihat
pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan
dirinya.Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan
kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan
yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir” (Pkh 3:9-11). Kutipan ini rasanya 
bagus untuk kita renungkan atau
refleksikan. Apa yang sedang kita
kerjakan dengan susah payah?, itulah pertanyaan yang harus kita jawab.
Apakah kita mengerjakan sesuatu yang bukan menjadi tugas pekerjaan kita,
melainkan pekerjaan sendiri, misalnya: di kantor/tempat kerja mengerjakan
pekerjaan pribadi sedangkan di rumah mengerjakan pekerjaan kantor, di sekolah
tidak belajar dan diluar sekolah les privat, dst.. “Untuk segala sesuatu ada 
masanya, untuk apa pun di bawah langit ada
waktunya.”(Pkh 3:1), demikian peringatan Pengkotbah yang harus kita
renungkan dan hayati. Peringatan ini mengajak kita untuk senantiasa setia pada
tugas perutuan atau pekerjaan yang dibebankan kepada kita, setia pada panggilan
dan tugas perutusan kita  masing-masing.
Maka jauhkan dan berantas aneka bentuk penyelewengan atau penyalah-gunaan
waktu, sarana-prasarana, jabatan, kedudukan, fungsi , dst.. Berdisiplin itulah
yang diharapkan dari kita semua. Berdisiplin berarti “kesadaran akan sikap dan 
perilaku yang sudah tertanam dalam diri,
sesuai dengan tata tertib yang berlaku dalam suatu keteraturan secara
berkesinambungan yang diarahkan  pada
suatu tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Ini diwujudkan dengan perilaku
yang konsisten, taat asas menuju pada tujuan tanpa perlu pengawasan dan
dorongan secara terus menerus. Perilaku ini diwujudkan dalam hubungannya dengan
Tuhan dan diri sendiri” (Prof  Dr Edi
Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta
1997, hal 10). Berdisiplin rasanya merupakan keutamaan yang mendesak dan up to 
date masa kini mengingatkan masih
maraknya ketidak-disiplinan dalam hidup bersama, antara  lain korupsi, 
manipulasi atau mark-up , dst.,
juga ketidak-disiplinan di jalanan yang dilakukan oleh pengendara maupun
pejalan kaki. 

Jakarta, 26 September 2008

 














      

Kirim email ke