“Herodes, raja wilayah, mendengar segala
yang terjadi itu dan ia pun merasa cemas, sebab ada orang yang mengatakan,
bahwa Yohanes telah bangkit dari antara orang mati. Ada lagi yang mengatakan,
bahwa Elia telah muncul kembali, dan ada pula yang mengatakan, bahwa seorang
dari nabi-nabi dahulu telah bangkit. Tetapi Herodes berkata: "Yohanes
telah kupenggal kepalanya. Siapa gerangan Dia ini, yang kabarnya melakukan
hal-hal demikian?" Lalu ia berusaha supaya dapat bertemu dengan Yesus” (Luk 
9:7-9), demikian kutipan Warta Gembira hari
ini.

 

Berrefleksi
atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai
berikut:

·   Pemimpin atau pejabat tinggi yang gila akan kekuasaan,
pangkat, kedudukan, kehormatan duniawi serta harta benda pada umumnya cemas
ketika muncul tokoh-tokoh alternatif yang dinilai mengancam dirinya. Rasanya
hal ini pernah terjadi di Indonesia, pada masa Orde Baru, dimana ketika ada
tokoh-tokoh demokratis dan vocal maka dengan atau melalui berbagai macam cara
tokoh-tokoh tersebut segera dihabisi, disingkirkan; pada masa Reformasi pun
juga masih terjadi antara lain dengan kasus Munir, yang sampai kini masih
menjadi bahan pengadilan yang sungguh menyita waktu dan perhatian. Dalam warta
gembira hari ini diceriterakan bahwa  Herodes
merasa cemas ketika mendengar bahwa muncul tokoh baru yang lebih besar daripada
Elia atau Yohanes Pembaptis, yaitu Yesus, “lalu
ia berusaha supaya dapat bertemu dengan Yesus”. Entah apa yang menjadi
motivasi Herodes untuk bertemu dengan Yesus, apakah ia juga akan menghabisi
atau menyingkirkan-nya?.Apakah keingingan tahunya merupakan bagian usaha untuk
mencari strategi bagaimana menyingkirkan Yesus? Jika mengingat dan
memperhatikan bahwa ia berani membunuh Yohanes Pembaptis demi gengsi dan nama
dirinya sebagai raja atau pemimpin, kiranya ia juga bermaksud sama terhadap 
Yesus.
Bercermin dari kisah ini saya mengajak dan mengingatkan para pemimpin atau
pejabat tinggi: ketika muncul tokoh-tokoh baru sebagai pembaharu, hendaknya
didengarkan dan diterima dengan hati terbuka, jiwa besar dan rela berkorban. 
Pembaharuan-pembaharuan
cara hidup dan cara bertindak bersama kiranya dibutuhkan, mengingat dan
memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan yang sedang terjadi. Marilah kita
beri kesempatan kepada generasi muda, tokoh-tokoh baru, karena jika tidak
memberi kesempatan kepada mereka maka generasi pendahulu hemat saya ‘salah’.
Munculnya tokoh-tokoh baru hemat saya merupakan keberhasilan generasi pendahulu,
yang dengan kerja keras berusaha mendidik dan membina generasi penerus/muda.
Maka jika para pemimpin atau pejabat tinggi masa kini juga ada keinginan tahu
perihal munculnya tokoh-tokoh muda sebagai pembaharu, hendaknya keinginan tahu
tersebut sungguh tulus , yang berarti pada suatu saat siap mengundurkan diri
serta mempercayakan kepemimpinan kepada generasi penerus. Marilah kita hayati
pepatah Jawa ini: “Kebo nyusu gudel”
(=Kerbau menyusu pada anaknya), artinya orangtua/generasi tua berani
belajar dari anak-anak/ generasi muda/penerus.

·   “Kesia-siaan
belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah
sia-sia.Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?
Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap 
ada.”(Pkh
1:2-4). Kutipan ini rasanya bagus untuk kita renungkan atau refleksikan. Yang
dimaksudkan dengan ‘segala sesuatu’ disini kiranya adalah ‘harta benda/uang, 
kedudukan/pangkat atau jabatan dan kehormatan
duniawi’  yang menjadi pujaan dari
mereka yang bersikap mental materialistis atau duniawi. Ingat, sadari dan
hayati bahwa semuanya itu tidak abadi dan sementara sifatnya, termasuk hidup
kita sendiri yang hanya sementara, sebagaimana dikatakan oleh pepatah Jawa 
“urip iku koyo mampir ngombe” (= Hidup itu
bagaikan singgah sejenak untuk minum). Jika hidup saja hanya sementara,
apalagi ‘harta benda/ uang, pangkat/kedudukan/jabatan dan kehormatan duniawi’.
Kesia-siaan belaka jika orang mendewa-dewakannya. Hidup, harta benda/uang,
pangkat/kedudukan/jabatan dan kehormatan duniawi adalah sarana dan bersifat
fungsional, maka hendaknya dihayati dan difungsikan sedemikian rupa sehingga
kita semakin beriman, semakin mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan,
semakin mengasihi dan dikasihi oleh Tuhan maupun sesama kita. Marilah kita
hayati dua motto hidup beriman atau menggereja, yaitu “solidaritas dan 
keberpihakan pada atau dengan yang miskin dan
berkekurangan’. Jika dalam hidup bersama, hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara ini masih ada yang miskin dan berkekurangan berarti para pemimpin
atau pejabat tinggi ‘berusaha  dengan jerih payah di bawah matahari’ demi
kepentingan sendiri, berarti mengejar kesia-siaan. “Keturunan yang satu pergi 
dan keturunan yang lain datang” ,
demikian peringatan pengkotbah. Peringatan ini hendaknya diperhatikan dan
dihayati oleh orangtua, generasi pendahulu, antara lain siap sedia ‘untuk
pergi’ sambil mempersiapkan anak-anak, generasi penerus untuk mengambil alih 
sesuai dengan tuntutan zaman.


Jakarta, 25 September 2008   


Kirim email ke