http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail&id=11217

Minggu, 12 Okt 2008,



Ali Imron: Bom Bali Itu Musibah 

 
Tepat hari ini, enam tahun lalu, sebuah bom dahsyat mengoyak kedamaian Pulau 
Dewata. Mayoritas korban adalah turis asing yang tengah berlibur. Tiga pelaku 
utamanya -Amrozi, Ali Ghufron alias Muklas, dan Imam Samudra- memilih tidak 
minta maaf kepada para korban (JP, 5/10). Sedangkan Ali Imron, 38, justru 
menyesali terlibat dalam peledakan yang menewaskan 202 orang tersebut.
Mengapa Ale -sapaan Ali Imron- berbeda pandangan dengan mereka? Apa pula 
tanggapan terpidana seumur hidup itu atas rencana kejaksaan mengeksekusi Amrozi 
dkk? Berikut wawancara Jawa Pos dengan Ale di Rutan Polda Metro Jaya kemarin 
(11/10). 


Bagaimana kondisi di tahanan?

Alhamdulillah, baik-baik saja. Hari raya kemarin dapat besukan dari istri, anak 
dan saudara, Ali Fauzin. Yang lain-lain belum, mungkin nanti menyusul. (Ale 
kini menunggu permohonan grasi yang diajukan kepada presiden sejak dia di vonis 
seumur hidup Oktober 2003 lalu, Red).


Apa aktivitas Anda sekarang?

Terus beribadah dan saya kembali menulis buku untuk melanjutkan buku saya, Ali 
Imron sang Pengebom (November, 2007) yang menimbulkan pro dan kontra. (Buku 
baru saya) akan menjawab yang kontra, karena yang pro tentu tidak perlu 
dijawab. Yang kontra itu soal mengapa saya menyebutkan kawan-kawan saya yang 
ada di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan (Ale belajar di sana pada 
1991-1994, seangkatan dengan Imam Samudra, Red) dan soal penyesalan saya. Itu 
semua yang akan saya jawab. Memang di dalam buku (pertama) saya sudah ada 
penjelasan tentang sikap ini, cuma perlu diperjelas. Sebelum menulis yang 
pertama pun saya sudah antisipasi mesti ada pro dan kontra. 


Apa alasannya untuk menyebut nama?

Loh baru saya keluarkan di buku. Kalau nanti diberitahu. Tunggu sajalah bukunya.


Mengapa menyesal?

Sebelum bom Bali pun sudah saya ingatkan secara pribadi kepada kakak saya, 
Muklas (kakak tertuanya. Nama aslinya Ali Gufron, yang kini mendekam di Lapas 
Batu, Nusakambangan, bersama Amrozi dan Imam Samudra, Red). Saya katakan, jika 
mayoritas ikhwan di Indonesia tidak setuju dan marah dengan peledakan bom di 
Kedubes Filipina (Agustus 2000), gereja (malam Natal 2000), dan Atrium Senen 
(2001). 

Alasan penolakan saya yang kedua, Indonesia adalah tempat persembunyian yang 
nyaman dan tempat persiapan yang bagus. Tapi, syaratnya tidak berbuat apa-apa 
karena mayoritas ikhwan di Singapura sudah ditangkap dan Malaysia juga seperti 
itu. Sekitar 26 September 2002, saat menyiapkan aksi di Bali, saya juga 
ingatkan kembali pada Amrozi karena Mukhlas tidak ada di rumah, jika sudah ada 
berita Amerika mencurigai Ponpes Ngruki dan Ustad Abu Bakar Ba'asyir. Amrozi 
bilang, "Tidak ada masalah. Terus saja." 

Organisasi kami itu saya yakini adalah Jamaah Islamiyah (JI) yang dulu Darul 
Islam. Pada 2002 itu sebenarnya saya tidak aktif di organisasi (JI), tapi di 
Pondok Al Islam, Solokuro, Lamongan. Tapi, tiba-tiba Mukhlas dan Imam Samudra 
datang, dan saya diajak ke Surakarta oleh Amrozi ke kontrakan Dul Matin. Di 
sinilah ada pembagian tugas. Saya kebagian membantu Amrozi untuk membeli mobil 
dan potassium chlorat. Pada waktu peledakan, saya sedang di Jalan Imam Bonjol, 
Denpasar, baru mengantarkan mobil berisi peledak yang digunakan untuk bom bunuh 
diri oleh Arnasan. Saya dijemput Idris dan meledakkan bom di Konsulat Amerika.


Selain kedua alasan itu, adakah dasar dari Islam untuk menolak bom Bali?

Pembalasan itu, sampai sekarang pun, saya yakini wajib. Tapi, harus kepada 
mereka yang melakukan. Kita tidak bisa meniru perbuatan orang kafir dan jahat 
untuk menyerang orang yang tidak bersalah. Itu tidak bisa. Amerika, yang tak 
punya adab, boleh saja menyerang Afghanistan yang tidak semuanya menentang 
mereka. Tapi kami, sebagai mujahid, seharusnya berperang dan berjihad dengan 
dipagari adab. Tidak sembarangan.

Dalam kasus mutilasi SMU di Poso, misalnya, ikhwan Poso yang terlibat menyitir 
ayat, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun 
memerangi kamu semuanya, untuk memutilasi (korban siswi). Justru dengan ayat 
itu (QS At Taubah: 36) kita tidak boleh membunuh siswi. Konteks ayat itu adalah 
perangi orang musyrik yang memerangi, yang tidak, ya tidak. Apakah siswi itu 
memerangi? Tidak kan.


Apakah perubahan sikap Anda terjadi setelah "dekat" dengan polisi setelah 
penangkapan di tambak udang di Pulau Berukang, Kalimantan Timur, 14 Januari 
2003?

Bukan. Selama ini orang memandang saya berubah setelah ditangkap. Ini tidak 
benar. Waktu saya lari, sempat semingguan, saya berpikir untuk melawan dan 
melakukan pengeboman kembali karena saya waktu itu masih menyimpan bom. Saya 
ingin menyasar tim investigasi polisi yang datang ke Tenggulun, Lamongan, dan 
(Markas) Polres Lamongan. Tapi, ketemu Ali Fauzi di Surabaya, dia tidak setuju 
dengan rencana itu. Akhirnya saya lari ke Kalimantan dan ketika itu saya mulai 
mengoreksi diri saya. 

Mengapa pengeboman yang begini besar kok hasilnya begini? Ini jelas musibah. 
Ditangkapnya Amrozi jelas musibah karena seharusnya ini menjanjikan kemenangan. 
Nah, ini menghasilkan kekalahan. Waktu ditangkap pun saya dan Mas Mubarok (juga 
divonis seumur hidup, Red) duduk dan tidak melawan. Jadi, kalau tidak ditangkap 
polisi pun perasaan saya sudah berubah. Tapi, sampai sekarang saya katakan 
bahwa jihad itu tetap wajib. Begitu pula mendirikan negara Islam juga wajib. 
Untuk jihad sasarannya harus pas dan untuk mendirikan negara Islam caranya 
bukan kekerasan karena kita tidak mampu. Jalannya dengan dakwah. Ini memberikan 
pemahaman pada masyarakat bahwa yang pokok dalam Islam itu adalah menegakkan 
syariat. 


Amrozi cs mengatakan toh Amerika juga membunuh muslim sipil di Iraq dan 
Afghanistan sehingga sah saja berjihad menuntut balas membunuh sipil Amerika di 
Bali sebagaimana surat An Nahl 126?

Ini yang perlu saya koreksi. Amerika menyerang di Afghanistan kan ada Taliban, 
ada tentaranya, yang mereka tuduh mendalangi penghancuran WTC lalu yang sipil 
ikut kena. Nah, tapi di Bali siapa tentaranya? Kalau di Bali ada pasukan 
Amerika yang berlibur atau (kapalnya) bersandar, itu boleh kita serang walau 
orang sipil kena. Kenyataannya kan tidak ada tentara Amerika yang jadi korban 
di Bali. Sejak awal perencanaan, bersama Imam Samudra, saya survei, kita hanya 
cari diskotek yang banyak bulenya. Itu saja. Bukan menyelidiki ada tentara 
Amerika atau Australia. Dalam aksi Bali, Imam itu komandan lapangan dan Mukhlas 
pimpinan umum.


Lalu bagaimana menyikapi perbedaan pandangan begini?

Saya hargai, itu pendapat, sebagaimana mereka menghargai saya. Tapi, saya tidak 
membenarkan mereka. Hubungan keluarga kami baik, tapi mereka ingin agar saya 
tidak bersikap seperti ini. Mereka menyesalkan, mengapa saya menyesal. Ada 
surat dari Mukhlas kepada saya, jika sikap seperti saya yang condong pada 
thogut, kalau tidak hati-hati bisa berbahaya dan mengeluarkan saya dari Islam. 
Cuma saya tidak disuruh menanggapi dan mbalas. Kalau saya disuruh membalas akan 
saya tulis. Mungkin dia hanya dengar dari orang lain tentang saya. 

Selama ini saya diisukan selalu negatif. Termasuk keakraban saya dengan polisi. 
Padahal, ini juga bagian dari dakwah supaya bom tidak terjadi lagi. Saya sering 
katakan kepada kawan-kawan saya di luar, kalau kita memang mau menantang 
pemerintah, langsung tantang pemerintah Indonesia. Kudeta. Ini baru jihad yang 
betul, bukan dengan mengebom sembarangan. Ngebom juga dengan peringatan karena 
sementara ini kita seperti pengebut, (yang) ngebom di tempat umum. Beratnya 
saya di dalam ini kan, kalau saya bicara, selalu dikatakan, "Nah itu kan 
ditekan polisi karena di penjara." Maka kalau saya bebas nanti, saya akan 
berdakwah dengan plong.


Jika memang bom Bali musibah, apakah tepat pelakunya, saudara kandung Anda, 
divonis mati?

Saya tidak sampai mengoreksi soal itu. Tapi, namanya saudara (terkait rencana 
eksekusi) saya ikhlas. Kalau memang mereka nanti ingin bertemu saya, saya mau, 
dan saya akan sampaikan alasan saya mengapa begini. Soal ancaman itu (Amrozi 
mengancam akan terjadi pembalasan jika dirinya dieksekusi), wallahualam. Setahu 
saya kelompok kami belum siap ke arah sana. Waktu itu pun bom Bali dikenali 
oleh para ikhwan yang lain sebagai tindakan pelaku yang dipimpin Mukhlas 
langsung, bukan perintah jamaah atau organisasi. 


Apa yang Anda rasakan pada setiap peringatan bom Bali?

Saya tidak pernah lupa dan capai untuk meminta maaf kepada korban, keluarganya, 
dan siapa saja yang dirugikan dalam peristiwa itu karena saya terlibat di situ. 
(farouk arnaz/agm)

Kirim email ke