Refleksi:  Apa benar ratio dokter di Indoensia 1: 6.000?  Penduduk Indonesia 
diperkirakan 240.000.000 orang.  Untuk perbandingan:

http://www.hsph.harvard.edu/review/review_summer_02/txt677cuba.html
Harvard Public Health Review Home

Harvard Public Health Review/Summer 2002
677 huntington avenue
The Cuban Paradox 
Perhaps best known for vintage cars, cigars, and communists, Cuba is also 
distinguished by something far more enticing to the students and staff of the 
Harvard School of Public Health--its health care system. The Cuban government 
assumes full fiscal and administrative responsibility for the health care needs 
of all its citizens, providing free preventive, curative, and rehabilitation 
services. This National Health System, as it's called, is an international 
success story and, for the last three years, a small group from the School has 
made its way down to this sunny island nation to learn more about what makes it 
tick. "It's good for people to see another system," says Richard Cash, senior 
lecturer in the School's Department of Population and International Health. 
"Seeing for yourself is far more important and to see what Cuba does with 
limited resources and to contrast it with our system and other systems is 
valuable. Everyone that has gone to Cuba has come away clearly educated by the 
process."

(
 
http://www.tenaga-kesehatan.or.id/publikasi.php?do=detail&id=132&PHPSESSID=11e710bb65c05091816aa908724e61ff

JUMLAH DOKTER DI INDONESIA KURANG

Jumat, 2 Maret 2007

JAKARTA--MIOL: Jumlah dokter di Indonesia saat ini masih tidak sebanding dengan 
jumlah pasien yang harus dilayaninya. Akibatnya dokter tidak bisa memberikan 
pelayanan yang memadai. Hal ini dikatakan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) 
Fachmi Idris seusai bertemu Wakil Preiden Jusuf Kalla di kantor Wapres, Jumat 
(2/3). Menurut Fachmi, jumlah dokter saat ini 70 ribu orang terdiri dari 50 
ribu dokter umum dan 20 ribu dokter spesialis. Jumlah tersebut, jelasnya, masih 
kurang memadai. Menurut Fachmi, rasio ideal dokter umum adalah 1:2.500 
penduduk. Dengan demikian, harusnya jumlah dokter umum yang tersedia mencapai 
80 ribu. Dengan begitu, saat ini masih ada kekurangan 30 ribu dokter lagi. 
"Dengan asumsi angka produksi dokter antara 4.500-5.000 per tahun, maka 
diperkirakan komposisi ideal tersebut bisa dipenuhi dalam enam tahun," 
jelasnya. Namun demikian, jumlah kelulusan tersebut tidak serta merta menjamin 
ketersediaan dokter umum tersebut. Pasalnya, dari jumlah kelulusan tersebut, 
tidak seluruhnya terserap. Bahkan, yang terserap sebagai PTT hanya 500 dokter 
dan yang betul-betul menjadi dokter hanya mencapai 2.500 orang atau 50% saja. 
"Yang lainnya bekerja macam-macam, tidak terserap," papar Ketua Majelis 
Pendidikan IDI Biran Affandi. Demikian halnya dengan dokter spesialis yang saat 
ini berjumlah 5.000 orang. Dengan komposisi ideal mencapai 50 ribu, saat ini 
masih ada kekurangan sebanyak 45 ribu dokter. Untuk mencapai komposisi ideal 
tersebut, diperkirakan memerlukan waktu 40 tahun dengan asumsi angka kelulusan 
175 sampai 200 dokter per tahun. "Tapi sebagian besar dari mereka tetap 
berdomisili atau berpraktek di kota-kota besar seperti Jakarta. Itu tentu tidak 
baik bagi kita semua karena dengan demikian maka pelayanan di daerah belum bisa 
dipenuhi," ungkapnya. Terkait kondisi tersebut Jusuf Kalla menyarankan 
dikembangkannya sistem rujukan yang lebih baik lagi. Selain itu juga disarankan 
untuk mengatur secara detil tentang komposisi jam kerja yang lebih baik. 
"Beliau menyarankan, misalnya mengembangkan sistem rujukan yang lebih baik. 
Artinya kalau memang kita bisa hitung dengan baik, sebetulnya jam kerja ini 
bagusnya berapa jam. Dan dari berapa jam itu kemudian, setiap jam ini kira-kira 
berapa pasien, kemudian dikalikan sehingga muncul angka tertentu. Itu saran 
beliau," ujar Fachmi. Wapres juga mengingatkan agar angka pertumbuhan dokter 
juga memperhatikan beberapa aspek lainnya. Untuk itu harus diantisipasi dengan 
pertambahan 10 tahun yaitu dengan memperhitungkan pengurangan angka pensiunan 
dokter per tahun, pertumbuhan penduduk dan angka pertumbuhan ekonomi. Sementara 
itu, untuk mengantisipasi terbatasnya penyebaran jumlah dokter spesialis saat 
ini, Wapres menginstruksikan agar dokter spesialis ditempatkan di seluruh RS 
kabupaten yang totalnya berjumlah 425. "Dengan begitu, setiap RS kabupaten 
harus terisi dengan dokter spesialis dan peralatan yang memadai sehingga dapat 
memberikan pelayanan," tuturnya. Sistem tersebut, jelas Biran, saat ini baru 
dilakukan hanya di delapan propinsi. Yaitu Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan 
Barat, Sulawesi Selatan, Gorontalo, NTB, NTT dan Sumatera Selatan. Sementara 
itu, di sisi teknis di lapangan, Wapres meminta agar para dokter lebih 
mengutamakan aspek etika dan profesionalisme. Bila memang penyakitnya tidak 
memerlukan spesialisasi tertentu, maka harus dirujuk ke dokter umum lebih dulu. 
(Rdn/OL-06) Sumber: Copyright © 2007 Media Indonesia Online. All rights 
reserved. Jum'at, 02 Maret 2007 16:23 WIB 


++++

Jawa Pos
[ Sabtu, 18 Oktober 2008 ] 


Dokter Indonesia, ke Mana Aku? 
Oleh Pribakti B.

Berita kedaluwarsa yang ringan itu menyebutkan bahwa rumah sakit di Singapura 
dipenuhi pasien dari Indonesia. Tetapi, tidak banyak atau bahkan tidak ada 
pasien negara tetangga yang berobat ke Indonesia. Ternyata, kita bukan saja 
mengekspor TKI, tetapi juga mengekspor pasien. 

Beberapa waktu lalu, laporan khusus majalah Tempo menyatakan bahwa orang sakit 
biasa saja menjadi komoditas ekonomi. Mulai 2012, Singapura Medicine 
menargetkan sejuta pasien dari luar negeri berobat di sana.

Kini, kalau dipukul rata, baru 200 ribu pasien asing (45 persen dari Indonesia) 
yang berobat di Singapura. Peningkatan jumlah pasien Indonesia yang berobat ke 
negeri tetangga itu menyulut banyak pertanyaan. 

Benarkah kualitas pelayanan rumah sakit dan dokter di Indonesia lebih rendah? 
Ada apa dokter Indonesia? Entahlah. Kita tidak tahu persis. Namun, harus 
diakui, negeri pulau tesebut sukses dengan program pelayanan kesehatan. Rasio 
dokter: penduduk di Singapura (1:700) yang setara dengan Amerika Serikat itu 
(1:500), ternyata jauh lebih rendah daripada di Malasyia (1:2.000) dan 
Indonesia (1:6.000) (Tempo, September 2007).

Semula kita menduga, orang-orang yang berobat ke luar negeri hanyalah 
orang-orang bergaya cuma karena banyak uang. Namun, cerita seorang sahabat 
berduit yang bersahaja, tetapi tidak bergaya, menggeser pandangan kita. 

Misalnya, penderita kanker ganas dengan keinginan sembuh yang jauh melampaui 
keingginannya untuk bergaya itu, suatu ketika bertandang kepada seorang dokter 
yang merasa paling jago di kotanya. Dokter itu bukan saja tidak merasa perlu 
membaca seluruh hasil laboratorium yang dibawa, tapi lebih dari itu, dia 
merendahkan pasiennya. 

Dia merasa ahli karena hanya dengan satu lirikan dirinya yakin dapat memahami 
penyakit pasien. Untuk itu, dia merasa punya hak untuk merendahkan pasien yang 
membayarnya. Ini sungguh luar biasa!

Dokter itu jelas keliru. Sebab, betapapun ganasnya sakit kanker, tak sebanding 
dengan sakit hati yang dibuatnya. Akhirnya, sahabat tersebut meninggalkan 
dokter dengan kemarahan yang membahana, yang mendorongnya mencari kawan senasib 
yang juga terdera kemarahan yang sama. 

Dalam hal itu, tokoh dokter kita itu ternyata amat mahir menyakitkan hati 
pasiennya. Ketika pasien menangis kesakitan, dia malah menghardik. ''Tak usah 
menangis, kalau tidak sembuh paling juga mati,'' kata sahabat saya itu 
menirukan kata-kata dokter yang memang akan dia kenang hingga mati. 

Bahkan, dalam hatinya berjanji, bila mati rohnya gentayangan dan mengecup 
ubun-ubun sang dokter yang menyakitinya. Rombongan pasien sakit hati itulah 
yang sekarang memilih rumah sakit Singapura untuk mencari penyembuhan yang 
benar-benar menyembuhkan, tanpa menyisakan kemarahan. Dokter yang pintar-pintar 
itu bersedia membaca dengan teliti hasil laboratorium yang dibawa. 

Segera setelah masuk ruang pemeriksaan, energi kesembuhan terasa mengalir deras 
dari aroma keramahan yang merebak di seluruh ruangan. Singkat kata, dokter di 
Singapura itu bukan saja mengobati, tetapi lebih jauh lagi memberikan hiburan 
pelipur lara. Padahal, semua keramahan itu harus dibayar sehingga tidak ada 
yang aneh. 

Bukan hanya itu, seluruh staf hotel, dari manajer hingga cleaning service, 
menampilkan keramahan yang mengagumkan. Namun, hati-hati, mereka segera akan 
menendang pasien keluar ruangan jika ketahuan menginap tidak membayar. 
Keramahan di Singapura itu adalah masalah sederhana untuk sebuah imbalan 
pembayaran yang sesuai. 

Begitu halnya dengan seorang ilmuwan akan menjadi amat ramah kepada siapa pun 
jika tahu bahwa ceramah ilmiahnya dibayar tinggi. Tidak cuma ramah, bahkan dia 
bersedia menampilkan sikap yang mulia. Namun, jika hanya dibayar dengan ucapan 
terima kasih plus plakat dan piagam, dia siap menjadi orang yang paling kecewa 
di dunia.

Prosedur Standar 

Dengan demikan, keramahan dokter di Singapura bukanlah sesuatu yang aneh dan 
istimewa. Dia hanya menjalani prosedur standar yang sengaja diciptakan untuk 
menarik minat orang banyak. Dokter yang dibayar, tetapi menghina pembayarnya 
mungkin saja mampu mengobati kanker, tetapi untuk apa jika hanya meninggalkan 
luka dihati yang jauh lebih berbahaya. 

Dokter seperti itu pasti sedang mengalami intoksikasi logika. Sudah bersikap 
angkuh, minta dibayar pula. Jangan-jangan sudah angkuh, minta dibayar, masih 
gagal menyembuhkan pula. Sebetulnya angkuh tidak mengapa asal gratis. Anggap 
saja impas. Ini tidak. Sudah sakit, disakiti, diminta untuk membayar pula. Luar 
biasa!

Dokter seperti itu berperan dalam membuat negara semakin miskin karena 
merangsang orang menghamburkan devisa yang menyebabkan capital flight. Di 
tengah kondisi negara yang prihatin seperti sekarang, dokter seperti itu layak 
disejajarkan dengan penjahat negara. Maka, sangkaan semula bahwa orang yang 
berobat ke luar negeri itu angkuh tidak terbukti. Sesungguhnya, mereka adalah 
orang-orang yang terluka di negeri sendiri. 

Kita mungkin perlu belajar "ramah" dari dokter Singapura. Bukan saja karena 
dibayar pantas, tetapi jauh dari itu, ramah karena ikhlas. Jika tidak, kita 
harus bersedia menerima jamaah strata ekonomi menengah atas berbondong-bondong 
berobat ke luar negeri. 

* Pribakti B ., dokter juga staf pengajar di Fakultas Kedokteran Unlam, 
Banjarmasin 

Kirim email ke