http://www.sinarharapan.co.id/berita/0810/29/sh06.html

Perempuan di Ranah Politik

Oleh
Dr Kartini Sjahrir





Perempuan dan politik adalah dua kata yang saling bertolak belakang per 
definisi. Akar kata perempuan adalah yang di "empu"kan. Mengandung makna 
dihormati, dijunjung tinggi, lemah lembut, santun dan segala sesuatu yang 
menunjukkan pada sikap yang halus. Sering makna ini dalam masyarakat - apakah 
dengan menggunakan sudut pandang agama, adat istiadat. dan sikap negara - 
diartikan sebagai suatu sifat yang lemah - "nrimo" (submissive) dan berada pada 
posisi dipinggir (peripheral).


Politik adalah wilayah laki-laki (maskulin). Wilayah ini adalah wilayah yang 
dicirikan dengan warna konflik, perebutan kekuasaan, agresifitas, negosiasi, 
superioritas dan ciri-ciri lain yang "cocok" dengan sifat laki-laki. Ciri lain 
yang menonjol dari ranah politik adalah penampakannya yang bersifat publik. 
suatu hal yang sangat membedakan dari ciri perempuan yang selalu ditempatkan di 
wadah domestik. 


Di ranah politik, keadaan tidak banyak berbeda. Betul, kita akui, saat ini 
ketua partai politik perempuan cukup banyak. Paling tidak ada enam orang. 
Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Musdah Mulia dan Farida dalam buku mereka 
Perempuan dan Politik (2005), para pernirnpin (partai) politik ini masuk ke 
kancah politik karena di-back up oleh nama (besar) orangtua atau suami. Tentu 
hal ini bisa saja diperdebatkan, yang tidak akan dipungkiri di sini adalah 
dominannya sifat patriarki di masyarakat pada umumnya. Sehingga pembenaran dari 
seorang perempuan menjadi pemimpin politik, selalu dikaitkan dengan keberadaan 
figur lelaki di belakangnya.

Bhutto dan Indira
Dalam perjalanan sejarahnya, sifat patriarki ini acap "conflicting" di dalam 
dirinya. Sebagai contoh adalah fenomena Benazir Bhutto (alm). Benazir muncul 
sebagai figur politik yang diperhitungkan karena ayahnya, Bhutto. Akan tetapi 
Zardari, suaminya, terpilih sebagai presiden Pakistan baru-baru ini adalah 
karena figur Benazir, seorang perempuan. 


Demikian pula halnya dengan Indira Gandhi. Nama besar Nehru, yang membawa ia 
melejit dalam kancah perpolitikan, India. India, seperti halnya Pakistan, 
adalah Negara yang sangat "maskulin" dimana perpaduan tradisi dan agama telah 
menempatkan wanita pada posisi terpinggirkan. Begitupun, seorang Benazir maupun 
Indira membuat masyarakat patriarki (maskulin) tadi menerima keberadaan mereka 
karena sikap "maskulin" yang mereka tunjukkan. Indira, yang juga mati terbunuh, 
digantikan puteranya Rajiv yang muncul di bawah bayang-bayang nama besar 
ibunya. Di sini terlihat, Benazir dengan kemampuannya berhasil keluar dari 
bayang-bayang dan "cengkraman" sifat politik yang patriarki tadi, seperti 
halnya telah ditunjukkan Indira Gandhi, Corazon Aquino, dan atau Bandaranaike 
dari Srilanka.


Sejumlah pemimpin dan pejuang politik perempuan seperti Cut Nyak Dien dari Aceh 
(1848-1908) adalah seorang figur politik yang muncul bukan karena bayang-bayang 
nama besar suami, meski suaminya seorang yang bernama Teuku Umar, ia telah 
muncul dan dikenal di Aceh jauh sebelum menikah dengan Teuku Umar. Sebalikya, 
Teuku Umar justru jatuh cinta kepada Cut Nyak Dien karena kepiawaiannya 
berjuang melawan Belanda.


Kita juga mengenal kisah perempuan luar biasa bernama Aisyah binti Abu Bakar, 
istri Rasulullah. Nabi menjulukinya Humaira-sang jelita dengan pipi merah- 
(Kurniasih, 2008). Mengapa Aisyah luar biasa? Sejarah mengakui bahwa Ummul 
Mukminin yang satu ini adalah seorang Al-Mukatsirin, cerdas, mengerti politik, 
dan ahli strategi perang di masa itu.


Seperti halnya Cut Nyak Dien, sejumlah perempuan di belahan bumi lainnya terjun 
ke dan memilih politik sebagai karir profesional mereka. Sebut saja mantan 
Perdana Menteri Inggris yang ternama Margareth Teatcher, Golda Meir yang 
legendaris dari Israel, Condoleza Rice dari Amerika dan barangkali dalam waktu 
dekat (kalau menang) pada Pemilu November 2008 ini, Sarah Palin menjadi Wakil 
Presiden Amerika Serikat. Sekarang ia adalah Gubernur Alaska.

Kepala Daerah
Meskipun Studi Mulia (2005), misalnya, menunjukkan di era reformasi tahun 2004, 
partisipasi perempuan dalam lembaga parlemen menurun dibandingkan dengan tahun 
1997 - dari 12,5 persen menjadi 9 persen. Tetapi indikasi melalui Pilkada 
menunjukkan hal yang agak bertolak belakang. Setidaknya tercatat sekitar 64 
orang perempuan yang maju dan mencalonkan diri apakah sebagai Cagub/Cawagub. 
Cabup/Cawabup, atau Cawakot/Calon Wawakot. Artinya, ada 17,2 persen perempuan 
yang jadi calon pemimpin eksekutif mewakili 373 Pilkada Provinsi, 
Kabupaten/Kota (data s/d Juli 2008). Bila dilihat dari tingkat kemenangan yang 
diperoleh perempuan, angka ini bisa lebih tinggi lagi mencapai 31,3 persen! 
Jangan lupa, kita pernah punya presiden perempuan Megawati Soekarnoputeri dan 
sejumlah kepala daerah perempuan. 
Dari sudut Pilkada, aspirasi dan aktualisasi perempuan di ranah politik praktis 
meningkat. Hal seperti ini tentunya menarik untuk dicermati oleh mereka yang 
bergelut dalam studi kajian wanita.


Pada saat yang sama, kita melihat. upaya memberdayakan dan memperkuat 
partisipasi perempuan dalam kancah politik mendorong pemerintah/negara melalui 
UU Republik Indonesia No. 10 Tahun 2008 pasal 57, ayat I, 2 dan 3, mewajibkan 
partai-partai politik (Parpol) agar menyertakan 30 persen perempuan sebagai 
persyaratan adminislrasi bakal calon anggota DPR/DPRD tanpa memenuhi persentasi 
keterwakilan tersebut di atas, maka porpol tidak akan diluluskan dalam 
verifikasi faktual. 
Apa moral cerita yang hendak disampaikan disini? Yang ingin disampaikan adalah 
bahwa bagi kaum perempuan Indonesia semua lapangan kerja profesional 
sesungguhnya terbuka lebar untuk dimasuki. Dengan suatu catatan, kaum perempuan 
itu sendiri dan dalam dirinya memang bersedia dan mau keluar dari "kungkungan 
patriarki" yang dibentuk oleh masyarakatnya dan balikan oleh dirinya sendiri.

Penulis adalah Ketua Umum Partai Indonesia Baru (PIB

Kirim email ke