http://www.sinarharapan.co.id/berita/0811/08/opi01.html

Dalam Bayang-bayang Golput 

Oleh
Benny Susetyo Pr



Pemilihan Umum (Legislatif dan Presiden) yang akan se-gera digelar tahun depan 
masih dibayangi dengan peluang golongan putih (Golput) yang cukup 
memprihatinkan. Disebut memprihatinkan karena keyakinan bahwa apatisme tersebut 
terjadi sebagai bentuk keengganan publik yang seolah merasa tidak mempercayai 
dan membutuhkan figur kepemimpinan yang ada. Selain itu juga kemungkinan 
golongan yang tidak mau memilih ini bisa berasal dari kualitas penyelenggaraan 
pemilu yang amburadul.


Situasi ini akan membuat publik semakin rendah kepercayaannya pada lembaga 
negara. Ketidakpercayaan itu tumbuh dan selalu memiliki alasan yang bisa 
dimengerti. Publik menilai mereka gagal menciptakan sistem yang lebih baik dan 
adil. Angka golongan putih dalam Pemilu 2009 akan meningkat tajam bila 
soal-soal teknis seperti pendaftaran calon pemilih tidak dapat diselesaikan 
dengan baik. Kita melihat persoalan administrasi kini menjadi pelik dalam tubuh 
Komisi Pemilihan Umum (KPU).


Dalam sebuah penelitian yang diadakan LP3ES bahkan disebutkan banyak masyarakat 
yang tidak paham kapan pemilu diadakan. Banyak dari mereka yang tidak terdaftar 
sebagai pemilih. Ketidaktahuan masyarakat akan daftar pemilih sementara (DPS) 
ini menjawab dugaan bakal meningkatnya angka golput. Masih ada 20% atau sekitar 
36 juta pemilih yang belum terdaftar. Sosialisasi yang kurang menjadi sebab 
rendahnya minat masyarakat mengecek daftar pemilih sementara. Ini masih 
ditambah masalah dana yang kerap dikeluhkan petugas di lapangan. Bila hal ini 
masih menjadi masalah maka angka golput dengan sendirinya akan naik karena 
masyarakat tidak terdaftar.


Masalahnya bila KPU sekadar mengandalkan partisipasi aktif masyarakat untuk 
memutakhirkan DPS dinilai banyak pihak sebagai sebuah kekeliruan. Selama ini 
masyarakat terbiasa menggunakan model pendaftaran pasif.

Bisa Mencapai 50 Persen 
Setiap pemilu berposisi penting bagi masa depan negara. Melihat perkembangan 
seperti ketidakmampuan KPU untuk mensosialisakan penting kesadaran bahwa pemilu 
penting bagi masa depan bangsa ini secara otomatis akan mengurangi kualitas 
pemilu tahun depan. Banyak orang yang tidak bisa memilih karena alasan 
administrasi semata-mata.


Penting bagi KPU agar bekerja secara maksimal mengurangi angka golput. Peranan 
media massa juga amat penting dalam proses sosialisasi agar masyarakat lebih 
paham kapan pemilu diadakan, apakah dirinya sudah terdaftar atau belum. Menjadi 
cukup mengkhawatirkan bila persoalan ini tidak diselesaikan sebab terdapat 
asumsi jumlah golput yang bisa meningkat sampai 50 persen. Padahal setiap 
penyelenggaraan pemilu harus kredibel di mata publik. Sehingga dibutuhkan 
kinerja KPU yang lebih baik untuk meningkatkan partisipasi publik agar terlibat 
dalam pemilu dengan lebih proaktif.


Banyak sebab yang akan melahirkan bayang-bayang golput dalam Pemilu 2009. 
Selain masalah teknis, masalah non teknis seperti kualitas partai politik dan 
para kandidat pemimpin juga menjadi fenomena yang akan memicu kenaikan angka 
golput. Begitu jelas kenyataan yang menunjukkan bahwa partai politik nyaris 
sudah tidak memiliki "taring" dalam pergulatan proses demokrasi, namun elit 
politik masih memaksakan kehendak bahwa dirinya seolah paling tahu kebutuhan 
rakyat. Partai merasa bahwa apa yang dilakukannya merupakan suara hati rakyat. 
Mereka memilih calon pemimpin yang bisa "menyenangkan" partai, dan tidak selalu 
harus mereka yang benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat.


Umumnya partai mengklaim diri dilahirkan dan dibesarkan dari kekuatan wong 
cilik. Faktanya, sepanjang periode pasca reformasi partai-partai justru 
ditinggalkan konstituennya dan sering dihujat karena justru menjadi biang 
persoalan bangsa. Kekuasaan yang dicita-citakan sering hanya diperuntukkan bagi 
kaum elitenya, dan rakyat selalu ditinggalkan. Baik partai lama dan baru, belum 
ada yang membuktikan diri mau berjuang sungguh-sungguh untuk kepentingan 
rakyat. Mereka yang berkuasa seringkali kehilangan arah ketika ia berkuasa. 
Mereka tak mampu menjalankan hal baik bagi perkembangan politik bangsa. Kini 
menjelang hajat pemilu digelar, mereka mencoba merangkul rakyat untuk mendukung 
upaya meraih kekuasaan.

Kegagalan Politik Partai 
Partai politik sejauh ini belum memberikan makna dalam mengawal demokrasi. 
Demokrasi hanya dimaknai sebagai sekedar cara untuk membeli dukungan belaka.
Dan demokrasi pun tak lagi memberikan harapan ketika partai politik dan elit 
politik terjebak pada permainan politik tingkat tinggi (high politics).
Kegagalan partai politik menjalankan fungsi-fungsinya secara maksimal 
mengakibatkan citra partai politik yang semakin memburuk di era reformasi ini. 
Fungsi sosialisasi, rekrutmen dan artikulasi politik tidak lebih menonjol 
dibandingkan dengan fungsi meraih kekuasaan. Ciri elitisme yang diperankan oleh 
partai politik membuat apatisme rakyat terhadapnya semakin meningkat. 
Ketidakpercayaan itu semakin menguat dalam banyak hal, bahkan terhadap hal-hal 
baik yang dilakukannya. Antipati itu bukan tanpa sebab, partai politik dinilai 
lebih banyak peduli kepada kepentingan kekuasaan daripada untuk memediasi 
kepentingan rakyat.


Banyak hal yang membuat masyarakat menjadi gusar akan sepak terjang partai 
politik yang dalam hal ini sering sekedar menjadi pedagang perantara. Partai 
menjual diri sebagai alat legalitas kepentingan para pemilik uang. Partai 
politik terpenjarakan oleh kekuatan modal. Rakyat mulai menyadari strategi 
"politik atas nama". Dan mereka tak sadar bahwa "politik atas nama" yang selama 
ini dijadikan legalitas dukungan kini menjadi semakin kabur. Rakyat tidak mau 
lagi dijadikan sebagai stempel kekuasaan. Rakyat mulai sadar dan yakin bahwa 
elite politik tidak lagi memiliki mata hati terhadap kebutuhan mereka.

Penulis adalah Sekretaris Dewan Nasional Setara.

Kirim email ke