http://batampos.co.id/opini/opini/politik_dan_apolitik/


      Politik dan Apolitik  
      Rabu, 12 November 2008  
      Oleh: Agus Riyanto SH
      Alumni FH UGM/bekerja dan tinggal di Batam 

      Saat ini tinggal hitungan bulan, Indonesia akan mengadakan pesta pemilu 
legistatif dan presiden. Beberapa calon legislatif (caleg) sudah mencuri strart 
berkampanye, baik melalui media cetak maupun elektronik. Partai politik sudah 
membuat berbagai pertemuan dengan alasan untuk mengkonsolidasikan semua elemen 
partai. Bahkan, beberapa tokoh sudah mendeklarasikan diri untuk maju menjadi 
capres-cawapres. 

      Semua caleg dan parpol sudah membuat strategi agar mereka dapat meraup 
semaksimal mungkin suara rakyat dalam pemilu 2009. Dalam benak mereka, politik 
dimaknai sebagai cara dan seni untuk mencari sebanyak mungkin dukungan dan 
suara untuk memuluskan jalan meraih kursi kekuasaan. Dan tentu bagi mereka, 
rakyat yang baik adalah rakyat yang berpartisipasi untuk mencoblos dalam 
pemilu, bukankah manusia - meminjam istilah Aris Toteles - adalah zoon 
politicon. 

      Tetapi bagi seorang filsuf politik Jerman - Hannah Arendt, pada 
hakekatnya manusia tidaklah seperti yang dikonsepkan oleh Aris Toteles 
tersebut. Dalam zoon politicon, terjadi reduksi pluralisme empiris manusia ke 
dalam monisme konseptual. Dalam konsep tersebut, sang manusia adalah apolitis, 
"Der Mensch ist a-politisch" (Hannah Arendt dalam F. Budi Hardiman, Memahami 
Negativitas, Jakarta, 2005) 

      Setiap usaha memobilisasi penduduk sebagai massa, memperlakukan manusia 
lain tidak sebagai sesama, melainkan sebagai eksemplar sebuah kelompok yang 
berlawanan adalah apolitis. Padahal dalam praktek berpolitik kita, selama ini 
yang disebut politik adalah seni mempengaruhi/memperlakukan banyak orang agar 
sama dengan penguasa/politikus. Keanekaragaman manusia di hadapan penguasa 
ditundukkan dan dilebur menjadi seorang individu kolektif yang menyebut diri 
sebagai "kami" di hadapan sang penguasa. 

      Masih menurut Arendt, penguasaan yang satu atas yang banyak adalah 
apolitik. Politik bukanlah relasi antara yang berkuasa dan yang dikuasai. 
Politik bukanlah dipahami dalam kategori herrschaft (dominasi) melainkan dalam 
kategori freiheit (kebebasan) politik ist freiheit. 

      Jika mengingat pembedaan yang dilakukan Aristoteles atas bentuk hubungan 
manusia, maka terdapat oikos (rumah tangga) dan polis (negara kota) sebagai 
susunan dasar masyarakat. Dalam oikos berlaku relasi antara menguasai dan 
dikuasai, antara laki-laki dan perempuan, antara tuan dan budak. Relasi ini 
terjalin demi pelestarian keturunan. 

      Arendt meminjam konsep ini sebagai alat analisis terhadap pemikiran 
politisnya. Oikos dipahaminya sebagai modus sosialisasi pra politis suatu 
masyarakat. Oikos ada dalam kategori hereschaft. Relasi menguasai dan dikuasai 
dapat dipandang sebagai pra politis, semua itu tidak dalam ruang publik, 
melainkan dalam ruang privat dan bersifat apolitis. 

      Berbeda dengan oikos, polis merupakan ruang publik yang di dalamnya 
terjalin relasi antar warga yang bersuara bebas menyampaikan aspirasi mereka. 
Negara bukan hanya difungsikan untuk sarana survival manusia, melainkan sebagai 
sarana mencapai "agathon" (kebaikan) atau kesempurnaan. Agathon dapat 
dimengerti dan direalisasikan hanya jika para warganya berkomunikasi. 

      Polis adalah kerajaan kebebasan. Warga dapat melakukan tindakan-tindakan 
besar, tidak hanya sekedar untuk kampf um anerkennung (perjuangan untuk mencari 
pengakuan), melainkan untuk berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan 
politis. Bertolak dari hal di atas, dapat dibedakan antara pemikiran yang 
politis dan apolitis. Dalam relasi politis, segala persoalan diatur dengan 
sarana kata-kata yang meyakinkan dan tidak melalui paksaan atau kekerasan. 
      Politik Masyarakat Liberal 

      Di dalam masyarakat liberal modern, kebebasan akan terjaga jika ruang 
privat terlindungi dari intervensi publik. Logika Arendt justru sebaliknya, 
kebebasan terlindung jika ruang publik terjaga dan tidak dicampuri oleh yang 
privat. Kebebasan tidaklah sekedar lepas dari ikatan-ikatan kolektif, melainkan 
kemampuan untuk menentukan dan menegaskan diri bersama-sama dengan orang lain. 

      Sejalam dengan pemikiran di atas, kediktatoran bukanlah intervensi publik 
ke dalam yang privat, melainkan kolonialisasi ruang publik oleh yang privat. 
Yang privat adalah ekonomi, agama, komunitas etnis dan sebagainya. Kediktatoran 
Hitler diraih setelah berkolaborasi dengan industriawan Jerman waktu itu. Rezim 
Soeharto juga melakukan perkawinan politik dan bisnis, sehingga mampu berkuasa 
lebih dari tiga dasawarsa. 

      Dalam oikos, prisnsip divide et impera dijalankan. Bila massa dirangsang 
hanya untuk mengejar kesejahteraan ekonomi tanpa peduli komunitasnya, mereka 
akan terisolasi satu sama lain, dan tidak tumbuh solidaritas di antara mereka. 
Dalam gaya hidup hedonis modern seperti ini, mereka lupa bahwa mereka adalah 
warga negara, pencetus ide res publica. Dalam kelupaan seperti ini, mereka 
mudah dikendalikan dari luar. Mereka telah menyerahkan suara hatinya, kepada 
institusi, tradisi, politisi dan pemimpin mereka. 

      Idealnya, tolok ukur dari yang politis adalah kemampuan untuk membangun 
persahabatan warga negara dari kemajemukan. Jadi politik adalah kebersamaan dan 
kesalingan dari yang berbeda-beda. Konsepsi ini berbeda dengan faham Nazi yang 
diwakili filsuf Carl Schmitt yang mengatakan bahwa tolok ukur dari yang politis 
adalah kemampuan untuk membuat dikotomi antara kawan dan lawan 

      Bertindak politis berarti menisbikan asal usul ras, agama, golongan dan 
seterusnya dan tampil sebagai warga negara yang mampu membuka diri terhadap 
perbedaan sudut pandang yang ada. Ethnos (suku) surut ke belakang, sedangkan 
domos (rakyat sebagai warga negara) tampil ke muka dalam kebersamaan dan 
kesalingan dalam bertindak. 

      Rehabilitasi Politik 

      Dalam setiap kesadaran setelah membuat kesalahan, selalu ada harapan. 
Oleh karena itu, kita bisa berkata bahwa secara manusiawi, manusia tidak lepas 
dari politik. 

      Dan, selama manusia mampu bertindak dengan etika politik yang benar, 
selama itu pula ada harapan untuk merehabilitasi konsep dan kehidupan 
politiknya. 

      Bertindak politis berarti lebih mengedepankan ke-Indonesiaan dari pada 
membedakan tempatan - pendatang atau Jawa - luar Jawa. Lebih mengedepankan 
kualitas pemimpin dari pada membedakan pribumi - non pribumi. Dan tentu, lebih 
mengedepankan persaudaraan sesama warga dari pada menggunakan isu-isu agama 
sebagai pemicu perbedaan. 
     

Kirim email ke