http://www.sinarharapan.co.id/berita/0811/15/opi05.html


RESENSI BUKU
Asma Nadia dan Dilema Poligami


Oleh
M Mushthafa
Judul buku : Istana Kedua
Penulis : Asma Nadia
Penerbit : Gramedia, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 248 halaman

Beberapa bulan terakhir ini, di beberapa koran nasional terjadi perdebatan 
cukup sengit dan panas tentang kecenderungan beberapa sastrawan dalam 
merepresentasikan perempuan dan seksualitas dalam karya-karya mereka. Ada 
kalangan yang berdiri di titik ekstrem: menghujat atau membela, ada pula yang 
berusaha menengahi. Karya sastra yang kental dengan tema seksualitas pada 
tingkat tertentu identik dengan perempuan penulis yang melahirkan karya 
tersebut.
Polemik tersebut, hingga tingkat tertentu, berpeluang untuk mengabaikan 
kreativitas dan pergulatan perempuan penulis lainnya yang juga melahirkan 
karya-karya sastra. Jika sastra bertema seksualitas perempuan oleh beberapa 
kalangan dipandang sebagai karya yang bernuansa pemberontakan atas pengekangan 
seksualitas perempuan dalam lingkungan budaya patriarki, sebenarnya para 
perempuan penulis memiliki caranya masing-masing untuk menunjukkan 
"perlawanannya" terhadap konstruksi budaya yang melingkupinya.

Contohnya bisa ditemukan dalam novel terbaru karya Asma Nadia ini. Dalam novel 
ini, Asma mengangkat tema poligami dengan memberi penekanan pada segi nasib dan 
pergulatan perempuan di ruang keluarga.

Kisah dalam novel ini berpusat pada kehidupan sepasang suami istri yang hidup 
berbahagia, Andika Prasetya dan Arini. Keduanya telah menikah selama sepuluh 
tahun dan dikaruniai tiga orang anak. Alur cerita dibuka dengan kegundahan 
Arini. Secara kebetulan ia menemukan informasi mencurigakan yang 
mengantarkannya pada sebuah nomor telepon. Ketika nomor itu dihubungi, di ujung 
telepon terdengar suara perempuan yang langsung memperkenalkan diri sebagai 
"Nyonya Prasetya".

Kegundahan Arini, yang seorang penulis, dalam novel ini diperkuat oleh guratan 
nasib yang dialami Lia, teman kosnya ketika kuliah dulu. Dalam sebuah reuni 
kecil-kecilan, Arini terkejut begitu tahu bahwa Lia telah bercerai dengan 
Benny, suaminya yang mantan aktivis kampus. Menurut Lia, ia menemukan suaminya 
tidur dengan sekretarisnya di rumah mereka. Arini menjadi semakin sadar, bahwa 
laki-laki itu cukup mudah berpaling ke perempuan lain-sesuatu yang membuatnya 
tak habis mengerti. Saat mencoba berintrospeksi, Arini berkesimpulan bahwa 
dirinya sudah cukup berbakti kepada suaminya dan memberikan semua yang ia 
punya. Tapi mengapa diam-diam suaminya membangun istana kedua tanpa 
sepengetahuan dirinya?

Selain Arini, ada tokoh kunci lain dalam novel ini, yang kemudian diketahui 
sebagai "Nyonya Prasetya" itu. Ia adalah Mei Rose, seorang gadis berdarah 
keturunan yang menjalani hidup memilukan bersama tantenya. Di tengah upayanya 
untuk merajut kehidupannya secara mandiri, Mei beberapa kali ditipu 
mentah-mentah oleh beberapa lelaki, yang salah satunya sampai membuatnya hamil. 
Dalam rasa putus asanya, ia mencoba bunuh diri. Namun nasib berkata lain. Pada 
saat kritis itulah Mei bertemu dengan Pras, yang menolongnya dan kemudian 
mengantarkannya pada mahligai pernikahan.

Kisah dalam novel ini berakhir dengan pertemuan Arini dan Mei. Ada dialog tajam 
antara keduanya, yang cukup menghentak kesadaran Arini. Mei menggugat Arini, 
agar Arini bisa maklum dengan nasibnya. Mei mengingatkan bahwa Arini telah 
mendapatkan banyak hal yang patut disyukuri: orang tua, suami yang baik, 
anak-anak yang sehat, karier kepenulisan, segalanya. Lalu Mei bercerita tentang 
kemalangannya, bahwa hal baik yang pernah terjadi pada hidupnya hanyalah 
kehadiran Pras. Mei menuntut permakluman. Di halaman-halaman akhir, digambarkan 
bagaimana perasaan Arini yang sepertinya bisa memberi permakluman untuk Pras 
dan Mei. Dalam bagian terakhir, digambarkan bagaimana masa depan anak-anaknya 
menjadi penguat tersendiri bagi Arini untuk menerima garis hidupnya itu.

Dalam novel ini, banyak bagian yang memuat gugatan kritis terhadap praktik 
poligami. Ada bagian yang mencoba menelanjangi dalih kaum laki-laki yang 
beralasan poligami dalam rangka mengikuti sunah Nabi, sementara dalam 
praktiknya mereka kurang menghargai istri pertama dan anak-anaknya. Lagi pula, 
mengapa teladan kehidupan Nabi yang dicontoh adalah episode poligami Nabi, 
padahal Nabi menjalin rumah tangga hanya bersama seorang istri, Khadijah, 
selama 28 tahun? 
Kaum lelaki kadang juga berdalih menikahi istri keduanya untuk alasan menolong, 
dan demi mendidik istri pertama mereka untuk belajar ikhlas dan mendapatkan 
tiket yang semakin mudah menuju surga!

Akan tetapi, berbagai gugatan atas poligami yang diangkat Asma dalam novel ini 
menjadi agak dilematis. Alur novel ini pada akhirnya memang seperti memberi 
permakluman untuk pilihan poligami Pras-dan Arini juga menerimanya. Mei yang 
mualaf; Mei yang tak punya siapa-siapa; Mei yang memilukan; semuanya seperti 
dibuat sebagai alasan untuk memaafkan kasus poligami Pras. 

Alur dalam novel ini seperti hendak mengatakan bahwa kasus poligami Pras adalah 
"aturan main yang ditetapkan Tuhan", atau sebuah "takdir". Mungkin dapat 
dikatakan bahwa sepertinya Asma ingin mengantarkan akhir kisah ini dalam sebuah 
happy ending, dengan plot yang diatur sedemikian rupa. Meski arahnya cenderung 
demikian, dalam novel ini kita dapat merasakan bahwa Asma juga merasa wajib 
memberi catatan-catatan kritis atas praktik poligami yang ada selama ini.

Dari sini pembaca dapat memahami dan membaca secara implisit "batas-batas 
wacana" yang hendak ditegaskan Asma dalam masalah poligami ini. Seperti juga di 
salah satu bagian novel ini yang menggambarkan pengandaian Arini yang merasa 
jijik bila berhubungan badan dengan suaminya-karena mengetahui suaminya yang 
berpoligami-tetapi akhirnya Arini tak bisa menggugat lebih jauh karena ada teks 
hadis yang menyatakan bahwa Allah dan malaikat mengutuk istri yang menolak 
suaminya dalam masalah itu.

Banyak hal lain yang bisa digali dan didiskusikan lebih lanjut dari novel yang 
ditulis oleh penulis berbakat yang saat ini menjadi CEO Lingkar Pena Publishing 
House ini. Terlepas dari pro dan kontra masalah poligami dan "pesan" yang 
berusaha disampaikan, novel ini telah memperkaya perspektif perempuan dalam 
membaca masalah poligami. Dan itu menegaskan bahwa perempuan penulis di 
Indonesia tak hanya bisa menggugat budaya patriarki dengan mengeksplorasi tema 
seksualitas, tetapi bisa juga berangkat dari tema yang lain yang sebenarnya 
juga masih cukup kaya dan bernilai penting untuk terus digali.

Penulis adalah editor lepas Penerbit Serambi Jakarta.
 

Kirim email ke