http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/11/17/LU/mbm.20081117.LU128784.id.html

39/XXXVII 17 November 2008

Perniagaan Politik Bakrie
Eep Saefulloh Fatah 

a.. Anggota Komunitas "Para Penagih Janji" 
Dalam rentang waktu Juni-Agustus 2008, dalam rangkaian seminar yang diadakan 
sejumlah institusi bisnis dan keuangan secara sambung-menyambung, saya diminta 
membuat prediksi hasil Pemilihan Umum 2009 dan implikasi-implikasi politiknya. 
Dan sebuah pertanyaan hampir selalu mengemuka, "Seberapa besar peluang Aburizal 
Bakrie untuk bisa menjadi calon presiden atau wakil presiden?" 

Saya sempat menduga bahwa para penanya di sejumlah kota itu adalah pemain bursa 
saham yang sedang menaksir nasib saham PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) milik 
Bakrie. Mungkin, bagi mereka, suram-cemerlang nasib sang saham akan ikut 
ditentukan oleh masa depan politik Bakrie. Saham BUMI sendiri ternyata 
terguncang krisis keuangan global, terpelanting lebih cepat daripada datangnya 
Pemilu Presiden 2009. 

Tapi jangan-jangan di balik pertanyaan itu sesungguhnya tersembunyi kebingungan 
untuk memposisikan Bakrie, sang saudagar, dalam konteks perkembangan politik 
Indonesia mutakhir. Sebagai saudagar, ia dipandang sebagai "pemenang": berhasil 
membangun kembali dan memperbesar imperium bisnisnya setelah nyaris lebur 
tersapu krisis ekonomi 1997. Lalu "pemenang" atau "pecundang"-kah ia dalam 
arena politik? 

Ada baiknya kita bicara tentang "Bakrie" bukan sebagai "seorang saudagar", 
melainkan sebagai potret dari "institusi kesaudagaran" dalam centang-perenang 
satu dasawarsa demokratisasi sebagai zaman kesempatan. 

Demokratisasi membidani lahirnya para pengambil kesempatan. Dalam konteks ini, 
"kemenangan ekonomi" Bakrie tumbuh di atas lahan politik yang subur. 
Demokratisasi Indonesia berbaik hati kepada siapa saja, termasuk para saudagar, 
untuk menjadi bagian dari-meminjam Joel Hellman-"para pemenang pertama" yang 
merebut kemenangan lalu ikut menentukan arah demokratisasi berikutnya. 

Proses demokratisasi melahirkan para aktor pengendali baru yang tumbuh bersama 
dan di dalam struktur yang mereka bentuk sendiri. Keterlibatan para saudagar 
dalam dunia politik adalah bagian dari proses ini, sekaligus membuktikan 
kesigapan mereka merespons keadaan. 

Selayaknya para tukang besi, banyak saudagar sadar benar bahwa besi hanya bisa 
dibentuk selagi panas. Maka, ketika Indonesia sedang panas-panasnya pada 
tahun-tahun awal reformasi, mereka pun sigap ikut membentuk sang besi panas 
itu. Walhasil, arus masuk kalangan saudagar ke dalam arena politik terjadi 
secara mengesankan. Sekadar contoh, menurut pendataan Indonesia Corruption 
Watch, 39,8 persen dari 550 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih 
dalam Pemilu 2004 ternyata berlatar belakang sebagai pengusaha. 

Keterlibatan Bakrie dalam pemerintahan, selain melanjutkan keterlibatan 
politiknya secara lebih terbatas dalam era sebelumnya, dapat dipahami sebagai 
bagian dari arus itu. Politik kemudian menjadi lahan subur pembesaran imperium 
bisnisnya antara lain karena demokrasi kita belum berhasil membangun tembok 
etika dan hukum yang memisahkan para pejabat publik dari dunia bisnis yang bisa 
membikinnya berperilaku antipublik. 

Demokratisasi Indonesia membolehkan hampir apa saja, termasuk membiarkan 
konflik kepentingan terjadi antara mandat pejabat publik untuk mengelola 
kebijakan publik dan hasrat sang pejabat untuk menangguk keuntungan 
bisnis-ekonomi dari kebijakan itu bagi diri serta kelompoknya. Padahal cerita 
demokratisasi di sejumlah tempat membuktikan betapa penting dan gentingnya 
tembok etika dan hukum semacam itu untuk memelihara prinsip keterwakilan, 
mandat, dan akuntabilitas jabatan-jabatan publik. 

Di Afrika Selatan, misalnya, sejak 1998 berlaku etika bagi anggota lembaga 
eksekutif, yang antara lain mengatur larangan bagi anggota kabinet, deputi 
menteri, dan anggota konsulat daerah atau provinsi untuk berpenghasilan dari 
jabatan atau pekerjaan lain. Etika ini juga melarang para pejabat itu 
menggunakan jabatan dan informasi yang dipercayakan kepadanya untuk keuntungan 
memperkaya diri. 

Di Brasil, sejak 2000 berlaku kode etik yang melarang pejabat pemerintah 
berinvestasi dalam aset yang nilainya bisa dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan 
pemerintah, terutama yang berhubungan langsung dengan jabatan yang dipegangnya 
dalam pemerintahan. 

Pembatasan serupa tak hanya berkembang di negara-negara demokrasi baru semacam 
Afrika Selatan dan Brasil, tapi juga lazim diberlakukan di negara demokrasi 
lama ataupun negara nondemokrasi yang berusaha menegakkan tata kelola 
pemerintahan yang efektif. Di Inggris, sekadar misal, Aturan Kementerian yang 
dikeluarkan oleh Tony Blair pada Juli 2005 mengharuskan menteri keluar dari 
jabatan yang dipegangnya pada perusahaan publik atau swasta dan dari institusi 
apa pun yang menghasilkan gaji atau honor, kecuali jika perusahaan yang 
dipimpinnya adalah perusahaan keluarga. Tapi, menurut aturan ini, pengecualian 
terakhir ini pun tak berlaku jika dalam perjalanannya timbul konflik 
kepentingan. 

Di Singapura, sejak 1954 berlaku kode etik bahwa setiap menteri tak boleh 
terlibat secara formal atau menjadi penasihat perusahaan komersial, tidak boleh 
memegang jabatan, baik dibayar maupun tidak, dalam perusahaan publik atau 
swasta. Pengecualian diberikan jika sang menteri mendapat izin-yang harus 
diumumkan di surat kabar-dari perdana menteri dan untuk kepentingan negara. 
Kode etik ini juga mengatur menteri hanya boleh terlibat usaha di bidang 
kemanusiaan. 

Kita di Indonesia tak memandang penting aturan-aturan serupa itu. Sekalipun 
niat pengaturan ke arah sana sudah disemai bibit-bibitnya, seperti dalam 
Undang-Undang Kementerian Negara (2008), antara niat dan praktek masih jauh 
panggang dari api. Dalam prakteknya, aturan yang mengharamkan konflik 
kepentingan para pejabat publik tak pernah ditegakkan dengan seksama. 

Maka kemenangan ekonomi pejabat publik berlatar saudagar sesungguhnya 
mewartakan salah satu kelalaian demokrasi memfasilitasi terbangunnya tata 
kelola pemerintahan yang baik. Di satu sisi, demokrasi telah mengembangkan 
kebebasan, kompetisi, dan partisipasi secara luar biasa. Di sisi lain, upaya 
yang layak untuk menegakkan prinsip keterwakilan, akuntabilitas, dan mandat 
sungguh masih kurang. 

Dalam konteks itulah, cerita tentang "kemenangan ekonomi" Bakrie bisa kita 
letakkan. Namun kemenangan ekonomi ini berbatas amat tipis dengan "kekalahan 
politik"-nya. Fakta ini tergarisbawahi tegas di Sidoarjo. 

Luapan lumpur Lapindo menjadi monumen "kemenangan ekonomi" Bakrie. Pemerintah 
menetapkan luapan lumpur Sidoarjo sebagai bencana alam. Terbebaslah Lapindo 
dari sebagian terbesar kewajiban finansial untuk mempertanggungjawabkan kasus 
ini. Negara dengan murah hati mengambil alih kewajiban itu. 

Pada saat yang sama, kelompok Bakrie, yang membebaskan lahan yang terkena 
genangan, berpotensi memiliki aset tanah mahaluas dan bernilai ekonomis tinggi 
beberapa dekade ke depan. Maka korban Lapindo sudah jatuh tertimpa tangga, 
sedangkan kelompok usaha ini sudah bangun disediakan kursi pula. 

Tapi buatlah survei atau sensus. Tanyalah masyarakat Sidoarjo, siapa kandidat 
presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Banyak yang berani bertaruh, nama 
Aburizal Bakrie tak akan ada di dalamnya. 

Itulah potret perniagaan politik Bakrie. Di satu sisi, kemenangan ekonomi 
Bakrie membuatnya menjadi salah satu tokoh politik dengan sokongan finansial 
paling meyakinkan. Namun, di sisi lain, kemenangan ekonomi itu justru 
menjauhkannya dari sokongan politik (partai-partai) serta dukungan publik. 

Sebagai sebuah "transaksi" (transaction), perniagaan politik Bakrie-barter di 
antara kemenangan ekonomi dan kekalahan politik-itu boleh jadi layak belaka. 
Tapi, sebagai sebuah "pertukaran" (exchange), menurut saya, ia sungguh tak 
layak. 

Maka jawaban generik saya untuk pertanyaan di awal kolom ini: "Dalam kaitan 
dengan Pemilu Presiden 2009, Bakrie membantu kita membuktikan bahwa punya 
sokongan finansial besar saja sangat boleh jadi tak cukup untuk menjadikan 
seseorang sebagai calon presiden atau wakil presiden." 

Kabar baik atau burukkah itu? Selanjutnya terserah Anda

Kirim email ke