Mereka Menentang Al-Qur'an Setelah Bibel Diragukan Rabu, 12 November 2008 09:19 "Urgensi kalian (para misionaris) datang ke negeri-negeri penganut Muhammad bukan mengeluarkan mereka dari agamanya, tapi menjauhkan mereka dari Allah dan Islam. Sehingga dengan demikian mereka tidak tahu Islam, jauh dari akhlak Islam yang merupakan landasan kehidupan mereka," ujar Samuel M. Zwemmer, teolog Kristen di depan Konggres Misionaris Dunia di Jerussalem, 73 tahun yang lalu. (Muhammad bin Said bin Salim al-Qahthani, Al-Wala' wa al-Bara' fi al-Islam).
Deklarasi Zwemmer bukanlah babak baru kalangan Barat menginvansi umat Islam. Sejak diturunkan oleh Allah Swt, Al-Qur'an telah ditentang kebenarannya oleh kaum kuffar dan musyrikin Quraisy Makah. Mereka tidak hanya mencaci wahyu Allah itu, tapi juga menudingnya sebagai cerita-cerita kuno atau asathir al-awwalin (QS. Al-Qalam: 15). Mereka juga menuduh Al-Qur'an adalah bikinan Nabi Saw. Ketika Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya hijrah ke Madinah, cercaan terhadap Al-Qur'an juga terus berlanjut. Orang-orang kafir, kelompok Kristen, dan Yahudi seia dan sekata menolak dan meragukan kebenaran ayat-ayat-Nya (QS Al-Baqarah: 23). Hal ini dapat dimaklumi, karena di antara tujuan kedatangan Al-Qur'an adalah merevisi dan meluruskan penyimpangan akidah dan pandangan hidup mereka yang terdapat dalam Bibel. Penentangan dan penolakan rupanya berlanjut terus pasca wafatnya Rasulullah Saw. Adalah Leo III, seorang Kaisat Bizantium (717-741). "Mengenai kepunyaanmu (Al-Qur'an), kamu telah memberikan contoh-contoh yang salah, dan orang tahu, di antaranya, bahwa al-Hajjaj, kamu menyebutnya sebagai Gubernur Persia, menyuruh orang-orang untuk menghimpun buku-buku kuno, yang ia ganti dengan yang lain yang dikarangnya sendiri, menurut seleranya, dan yang ia propagandakan di mana-mana dalam bangsamu." (Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur'an, 2004). Kalimat itu disampaikan Leo III sebagai jawaban atas surat yang dikirim khalifah `Umar bin Abdul `Aziz. Dalam surat balasan itu, Leo III menuduh Al-Qur'an sebagai kitab yang dikarang sendiri oleh manusia sebagaimana kitab Bibel. Banyak ahli sejarah dan perbandingan agama menyebutkan, Bibel ditulis dan disusun bukan pada masa nabi Isa `alaihi al-salam (as), tapi ia dikerjakan setelah 200 tahun nabi Isa wafat. Itupun dengan berbagai versi dari para pendeta Kristen. Ada yang menyebut 65 sampai 73 penulis, tapi yang disepakati hanya empat, yakni, tulisan Matius Dia adalah salah satu kelompok Hawariyyun. Lalu ada tulisan Markus. Karya Markus merupakan Injil terpendek. Ia mengenal nabi Isa as melalui Batres di akhir masa hidupnya. Ia juga sering bersama Barnabas. Selain itu ada tulisan Lukas. Sumbangan tulisan Lukas dalam Injil lebih banyak dipengaruhi budaya Yunani. Mengenai hal ini dapat dimaklumi, karena Lukas hidup dan besar di Antokiah, Turki, dekat dengan Yunani. (Dr. Ahmad al-Samhrani, Al-Bayan fi Muqaranah al-Adyan, 2001). Dari penelitiannya itu, al-Sahmarani menyimpulkan, wajar saja bila dalam Bibel terjadi berbagai macam penyimpangan dan kekeliruan. Dalam bukunya yang terbaru, The Biografical of Bibel (2007), Karen Amstrong, menjelaskan, revisi dan kritik terhadap Injil itu terus berlanjut, dan yang paling serius dimulai oleh Baruch Spinoza. Kendati demikian, kalangan Kristen tetap keras kepala atas kekeliruan kitabnya itu. Setelah 23 tahun, datang lagi penghujat Al-Qur'an. Dialah Johannes al-Dimasyqi. Ia menuduh Islam sebagai salah satu sekte bid'ah. "Muhammad menulis banyak cerita bodoh, yang setiap satu darinya, ia lengkap sebelumnya dengan judul. Misalnya, diskurusu tentang wanita, di mana ia jelas melegalisir seseorang untuk memiliki empat istri dan serubu selir jika sanggup, sebanyak yang ia mampu menjaga mereka di samping empat istri," tuduh Johannes. (Adnin Armas, Metodologi Bibel). Penghinaan Johannes tidak berhenti di situ. Masih banyak lagi. Langkah selanjutnya juga dilakukan 'Abdul Masih al-Kindi. Menurutnya, setelah Nabi Saw wafat, Al-Qur'an telah diubah oleh Abdullah bin Salam bin Ka'ab. Pendapat ini tentu gegabah. Sebab, bagi peminat kajian tafsir Al-Qur'an dan al-Hadits, nama Abdullah bin Salam tidak pernah disebut-sebut sebagai orang yang dekat dengan Nabi saw. Proyek "Baptisasi" Memasuki abad ke-10, penentang Al-Qur'an semakin bertambah dengan berbagai cara dan bentuknya. Kali ini muncul nama Petrus Venerebalis (1094-1154). Ia adalah Kepala Biara Cluny di Perancis. Melalui dana yang besar, ia menugaskan sejumlah orang dalam sebuah tim penerjemahan Al-Qur'an. Usaha penerjemahan oleh Robert Ketton dalam bahasa Latin ini dinilai berhasil, kendati banyak penyimpangan di dalamnya. Jerih payah Ketton inilah yang kemudian dijadikan rujukan penerjemahan ke bahasa Italia, Jerman, dan Belanda. Selama 600 tahun kemudian, terjemahan Ketton itu dijadikan sumber rujukan para misionaris, pendeta, pastor dan lainnya untuk menghujat Al-Qur'an. Mereka antara lain, Martin Luther (1483-1546) dan Hugo Grotius (1583-1645). Sampai di sini, niat Petrus dianggap telah berhasil. Sebab, sejak awal motif Petrus membuat membentuk tim penerjemahan Al-Qur'an adalah untuk membaptis pemahaman kaum muslimin terhadap Al-Qur'an. Dan sekitar 200-300 tahun kemudian, usaha Petrus itu betul-betul berhasil. Sudah ratusan sarjana Muslim yang dicetak (disekolahkan dan didik) oleh Barat menjadi pengikut mereka. Kini mereka menjadi penyebar dan penentang Al-Qur'an sebagaimana para kafir Quraisy, kaum Kristen dan Yahudi. Di antara mereka sudah tidak lagi percaya pada hukum waris yang diatur secara rinci dalam Al-Qur'an. Mereka menghalalkan pernikahan sesama jenis, poligami haram, tapi selingkuh dan pornografi halal. Mereka berpendapat seseorang boleh jadi nabi baru. Mereka juga menyamakan semua agama. Proyek baptisasi akidah umat Islam sudah berhasil. Kini memurtadkan orang Islam tidak harus mengeluarkan kaum muslimin dari agamanya, tapi cukup dengan merusak akidah/keyakinan tauhidnya. Wa Allah a'lam bi al-shawab.