Empat Buku Tari Irawati
---Anwar Holid

Salah satu keuntungan paling langka menjadi editor ialah ia berkesempatan 
mendapat manfaat dari teks yang disianginya. Ia bisa berjumpa dengan khazanah 
ilmu yang kadang-kadang awalnya begitu asing dan terasa jauh, sampai akhirnya 
dekat dan akrab, karena mendapat ilmu itu langsung dari ahlinya. Boleh jadi 
itulah kesempatan istimewa editor dibandingkan profesi lain: ia berkesempatan 
menelisik berbagai khazanah ilmu sambil mengurus teks tersebut agar lebih hidup 
dan mempesona. 

Ranah baru yang saya gumuli baru-baru ini ialah tari klasik Sunda, karena saya 
menyunting naskah biografi seorang tokoh tari Sunda, Irawati Durban Ardjo. Dari 
mana mengukur bahwa dia benar-benar seorang tokoh? Keseriusan, konsistensi, 
loyalitas pengabdian, kiprah, sumbangsih, termasuk reputasi, merupakan alasan 
kuat yang membuat sejumlah orang sepakat menyatakan bahwa beliau memang tokoh 
tari Sunda. Lebih istimewa lagi, Irawati telah menulis empat buku tentang 
dasar-dasar gerakan, sejarah, perkembangan, dan bunga rampai jenis tari di Jawa 
Barat.

Kira-kira pada paro terakhir 2007, seorang teman memberi tahu bahwa Irawati 
butuh editor untuk naskah biografinya yang ditulis oleh Ahda Imran dan Miftahul 
Malik---waktu itu penulisannya belum selesai. Teman saya ingin juga jadi editor 
naskah itu, tapi kesibukan dan jarak membuat dia menawari agar saya mengambil 
peluang tersebut. Melamarlah saya, dan akhirnya diterima. Sejak itu 
perlahan-lahan saya mengetahui reputasi beliau, bukan hanya sebagai penari, 
melainkan juga pegiat tari Sunda yang lengkap. Di kalangan pecinta seni, 
Irawati terkemuka lantaran menjadi penari Istana Negara sejak 1959 (zaman 
Presiden Soekarno) hingga terakhir tampil pada 2006 saat Presiden Amerika 
Serikat George Bush, Jr. berkunjung ke Indonesia, dijamu di Istana Bogor, meski 
kehadirannya ditentang besar-besaran oleh sebagian kalangan. 

Ketika kelas 1 SD, suatu hari Ira memperhatikan kakaknya yang diajari menari 
oleh kakak ipar untuk persiapan pesta kenaikan kelas. Setelah sebentar 
memperhatikan, segera ia mampu menirukan gerakan mereka. Bakat tari itu diasah 
dan ditumbuhkan di BKI (Badan Kesenian Indonesia). Meski mula-mula dilarang 
ibunya karena waktu itu citra perempuan penari Sunda ialah ronggeng penghibur 
para menak, kemampuan dan kegigihan Ira mendapat perhatian dan dukungan yang 
begitu besar dari dua guru utamanya, yaitu Tb. Oemay Martakusuma, Rd. Tjetje 
Somantri. 

Disiplin BKI mengantarkannya berkali-kali menjadi duta kesenian Indonesia sejak 
remaja, memperkenalkan tari dan kesenian Indonesia. Sejak itu Ira tahu bahwa 
dirinya menyatu dengan tari Sunda, meski dia pun banyak menguasai tari jenis 
lain. Kenyataannya, biar memiliki sejumlah kemampuan dan ketertarikan, misalnya 
sebagai desainer interior dan melukis---ia sarjana dari Jurusan Seni Rupa 
ITB---Ira kembali lagi dan lagi ke tari Sunda, seni yang sejak kecil 
membesarkannya, memungkinkan ia meraih banyak pengalaman berharga. Seiring 
kedewasaan, Ira pun terlibat dalam segala urusan tari. Selain menari, dia 
menjadi pelatih, memproduksi, mendirikan sanggar, merancang kostum, sampai 
mencari sponsor pertunjukan. 

Sebagai ahli tari, ia meneliti dan mendokumentasi khazanah literaturnya yang 
langka. Muaranya ialah ketika ia menjadi pengajar di Kori, hingga lembaga ini 
kini menjadi STSI, sampai ia pensiun.

Menulis buku tari Sunda awalnya pun demi pengabdian dan keperluan pengajaran. 
Selama menyusun dan mengumpulkan data, betapa nelangsa ia mendapati fakta bahwa 
dokumentasi tentang riwayat guru-gurunya, BKI dan Rinenggasari (lembaga yang 
paling awal membentuk etos dirinya sebagai penari), dan yang paling vital 
catatan koreografi, tak tersisa satu pun di bekas sekretariat. Semua arsip 
lenyap. Terpaksa Ira menuliskan lagi, melacaknya baik dari ingatannya dan para 
senior. Yang paling sulit ialah mencatat lagi tari kurang populer yang jarang 
dipentaskan. Ingatan dan penafsiran Ira memainkan peran penting untuk 
merekonstruksi kembali. 

Tangan Ira tak hanya meliuk di antara selendang dan bergerak sesuai musik. 
Tangan itu pun cekatan menghasilkan buku. Telah empat buku ia lahirkan, yaitu 
Tari Sunda 1880-1990, Melacak Jejak Tb. Oemay Martakusuma dan Rd. Tjetje 
Somantri (1998, rev. 2007); Buku Kawit, Teknik Gerak dan Tari Dasar Sunda, 
dilengkapi VCD dan kaset tari (2004); Tari Sunda 1940-1965, Rd. Tjetje Somantri 
dan Kiprah BKI (2008); dan Album Semarak Tari di Tatar Sunda (2008). 

Buku terakhirnya, berisi khazanah tari Jawa Barat, penuh ilustrasi dan warna, 
dirancang kronologik dari awal abad ke-20 hingga tahun 2000-an. Ira sedang 
mengupayakan buku itu terbit sesuai gagasan dan visinya. Karena berwarna dan 
penuh detail desain grafis, ongkos produksinya jelas mahal. "Saya sedang 
mencari sponsor untuk buku ini. Kalau tidak ya diterbitkan sendiri," tegasnya. 
Sebuah penerbit besar pernah ia dekati, tapi gagal, karena menurut Ira opsinya 
terlalu berat, yaitu ia harus menanggung biaya percetakan, sedangkan penerbit 
mengurus distribusi.

Untuk mensyukuri kiprah lebih dari lima dasawarsa berkiprah di dunia tari, pada 
Desember 2008 ini Irawati sedang menyiapkan acara "Lima Dasawarsa Irawati 
Menari." Kalau bisa sekalian dengan peluncuran buku-bukunya. Sementara itu 
pengabdian pada tari terus ia lanjutkan; Irawati keliling ke sejumlah kabupaten 
di Jawa Barat untuk mengajari guru-guru kesenian SD hingga SMU menari tari 
Sunda sebaik mungkin.[]

Anwar Holid, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Bekerja sebagai penulis, 
editor, dan publisis freelance. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: [EMAIL PROTECTED] | (022) 2037348 | Panorama II No. 26 B, Bandung 40141

Pertama kali dipublikasi REPUBLIKA/Selisik, Minggu, 16 November 2008.
Situs terkait:
http://www.republika.co.id



      

Kirim email ke