http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=1310
Perlindungan untuk Pembela HAM Oleh Nukila Evanty Pembela dan pekerja hak asasi manusia (HAM) sering mengalami ancaman, seperti teror lewat telepon, pelarangan berekspresi, intimidasi dan stigmatisasi, hingga yang mematikan. Kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir, pada September 2004, merupakan contoh paling nyata betapa penuh risikonya kerja seorang pembela HAM. Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Situasi Pembela HAM (Special Representative of the UN Secretary-General on the Situation of Human Rights Defenders) Hina Jilani, yang berkunjung di Indonesia pada 12-14 Juni 2007, mengatakan, secara kuantitas terjadi penurunan signifikan kasus pelanggaran terhadap pembela HAM. Namun, Walhi dan Imparsial mencatat selama Juli dan Agustus 2008 terjadi penangkapan dan tindak kekerasan terhadap 86 pembela HAM. Modus yang paling sering digunakan adalah mengkriminalisasi perbuatan dan kegiatan pembela HAM. Pembela atau pekerja HAM adalah individu atau kelompok yang melakukan kegiatan untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia di wilayah dan lingkungannya. Sesuai Deklarasi Pembela HAM PBB (Resolusi PBB tahun 1998 No. 53/144), istilah pembela HAM hanya diperuntukkan bagi mereka yang melaksanakan kegiatan dengan cara-cara damai. Pasal 1, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, dan 13 dari Deklarasi Pembela HAM jelas memberikan perlindungan bagi para pembela HAM. Dalam hal ini, negara bertanggung jawab untuk melaksanakan dan menghormati semua ketentuan Deklarasi Pembela HAM, khususnya Pasal 2, 9, 12, 14, dan 15 yang mencakup: perlindungan, pemajuan dan pelaksanaan seluruh hak asasi manusia; memastikan bahwa semua individu di dalam yuridiksi hukumnya dapat memperoleh seluruh hak-hak sosial, ekonomi, politik dan hak-hak lain, serta kebebasan dalam pelaksanaannya, Kemudian, melaksanakan dan merancang langkah-langkah legislatif, administratif dan lainnya yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaan efektif atas HAM dan kebebasan; menyediakan penyelesaian yang efektif bagi individu yang menyatakan dirinya sebagai korban pelanggaran HAM; melaksanakan penyidikan yang tidak berpihak dan segera terhadap tuduhan pelanggaran HAM. Selanjutnya, mendorong pemahaman masyarakat umum terhadap hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; mendorong dan memfasilitasi pengajaran mengenai HAM pada setiap tingkat pada pendidikan formal dan pelatihan profesional. Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Pembela HAM mencantumkan hal-hal yang harus diperhatikan oleh negara terkait perlindungan bagi para pembela HAM, baik secara individual maupun kelompok. Jadi, jelas berdasarkan Deklarasi Pembela HAM 9 Desember 1998, negara diwajibkan menjamin perlindungan terhadap para pembela HAM. Inisiatif Masyarakat Dewan Perwakilan Rakyat pernah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan bagi Pekerja Hak Asasi Manusia. Namun, hingga saat ini kelanjutan rancangan tersebut belum terdengar lagi. Sebetulnya, beberapa hal bisa dilakukan. Pertama, mengajukan draf akademis "perlindungan pembela HAM" sebagai dasar dari suatu draf RUU kepada DPR, yang dibuat oleh aktivis HAM, masyarakat luas, akademisi yang kompeten, yang didasarkan pada pemikiran perlunya UU yang lebih spesifik, mengingat risiko yang diemban pekerja dan pembela HAM sangat tinggi. Dalam hal ini, inisiatif dari masyarakat sangat diharapkan. Jika mengikuti prosedur di DPR akan memakan waktu yang lama, karena RUU harus terlebih dahulu melalui pimpinan DPR, setelah itu ke Badan Legislasi. Kemudian, naskah RUU masuk ke Badan Musyawarah untuk penentuan komisi yang akan membahas atau pembentukan Panitia Khusus. Dengan demikian, hampir mustahil membahas RUU kalau pimpinan DPR belum menerima RUU dimaksud. Kedua, mengatur pasal perlindungan pembela HAM di dalam suatu UU HAM. Hal ini telah beberapa kali diungkapkan pakar. Jadi, merevisi UU HAM dan tidak perlu mengaturnya dalam satu UU tersendiri. Pemerintah dan DPR cukup menambahkan satu pasal yang merumuskan sanksi pidana terhadap mereka yang melakukan kekerasan, intimidasi, ancaman, atau pembunuhan kepada pembela HAM. Instrumen lain dengan memanfaatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk pembela HAM (Ifdhal Kasim, 2008). Sesuai dengan tugas dan fungsinya, LPSK bisa memberikan perlindungan kepada para pembela HAM. Kehidupan pembela HAM, selama ini, memang masih penuh risiko, meskipun Undang-Undang Dasar kita menjamin perlindungan terhadap semua warga negara. Indonesia telah menjadi negara pihak pada beberapa instrumen utama HAM. Tantangan sebenarnya terletak pada upaya pelaksanaannya agar semua hak yang terkandung di dalam instrumen tersebut dapat dipenuhi dan dinikmati oleh setiap warga negara. Negara mempunyai kewajiban memfasilitasi individu dan kelompok pembela HAM agar mereka bisa melaksanakan tugasnya dengan optimal untuk menegakkan dan melindungi HAM. Dengan demikian, citra pemerintah pun terangkat. Jangan sampai kasus-kasus, seperti pem- bunuhan Munir, terjadi lagi. Penulis adalah pengamat masalah hak asasi manusia