Dilema PKS dengan Iklan Soeharto Oleh A.M. Saefuddin *
Terkaget? Boleh jadi. Itulah sikap sebagian publik atas penayangan iklan politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di lima stasiun televisi nasional pada 9-11 November lalu. Landasannya, ia demikian percaya diri menokohkan mantan pemimpin Orde Baru sebagai sosok yang perlu diambil keteladanannya, terutama dalam merancang-bangun pembangunan sebuah negara dan bangsa yang terencana. Yang perlu kita baca lebih jauh, apa motif besar di balik materi iklan politik yang menokohan Soeharto? Barangkali, publik tidak akan terkejut jika yang melakukannya adalah Golkar karena -secara historis- memang sangat terkait dengan kepentingan Soeharto.. Namun, tayangan iklan itu justru ditampilkan oleh partai yang -secara ideologis dan historis- berlawanan dengan perjalanan kekuasaan pemimpin Orde Baru itu. Inilah yang mendorong banyak kalangan bukan hanya bertanya-tanya, tapi ingin tahu secara lebih substansial motif di balik tayangan iklan politik itu. Dalam hal ini -setidaknya- ada tiga bidak (domain) yang perlu kita soroti. Pertama, bidak political marketing. Berbagai kalangan -terutama pengamat- lebih melihat, itulah manuver politik PKS menjelang pemilu. Arahnya jelas: berusaha mendulang suara dari kalangan yang sejauh ini terlihat merindukan Soeharto yang dinilai berhasil menciptakan stabilitas nasional dan berhasil pula mengendalikan harga barang dan jasa, meski semua itu harus mempertahankan kebijakan subsidi yang sesungguhnya dibiayai rakyat. Di tengah kegagalan pembenahan sistem ekonomi saat ini dan hal itu menambah penderitaan sebagian besar masyarakat, kondisi ini -secara faktual- kian menguatkan sikap rindunya terhadap mantan penguasa Orde Baru. Makna politik yang dapat dipetik adalah siapa pun dan partai mana pun yang memperlihatkan apresiasinya terhadap tokoh yang dirindukan itu akan mendapat simpati, bahkan empati dan akhirnya menjadi pilihannya. Harus kita akui, itulah profesionalitas atau kepiawaian PKS dalam mengusung tema, bahkan praksis politik, yang tampaknya berhasil menggiring emosi publik pecinta atau perindu Soeharto. Namun, sebagian besar publik tak mudah percaya dengan sikap positif PKS itu.. Ketidakpercayaan itu justru mendorong mereka bertanya-tanya, setidaknya ingin tahu persis arah politiknya. Di sinilah titik keberhasilan pemasaran politiknya. Bagi PKS, keterperanjatannya dan itu mendorong mereka tergiring mencermati jatidiri PKS, merupakan modal sosial yang dapat diharapkan buah politiknya, terutama dalam pemilu legislatif, bahkan pemilu kepresidenan. Sikap Keluarga Besar PKS Di tengah kecanggihan pengelolaan isu kampanye itu, ada satu hal yang tak boleh dikesampingkan: bagaimana sikap keluarga besar PKS, terutama yang terkategori terdidik dan mereka pernah merasakan penderitaan fisik dan mental akibat praktik kekuasaan Soeharto masa lalu? Juga bagaimana sikap sebagian publik yang hingga kini masih mendambakan antikorupsi, antipenyalahgunaan kekuasaan, padahal di antara mereka banyak yang mengakui dan simpati pada kualitas kebersihan para kader PKS? Bukanlah tak mungkin, komunitas ini akhirnya akan melihat "tak ada bedanya antara PKS dan partai-partai lainnya" yang targetnya hanya satu: menggapai kekuasaan, apa pun caranya, meski harus menabrak nilai-nilai ilahiyah dan sistem hukum. Ketika sikap ini muncul, sebuah kemungkinan akan terjadi: komunitas ini akan hijrah, atau tak meneruskan rasa simpatinya. Itu berati mereka tak jadi memilih PKS. Bisa jadi -karena tak percaya dengan partai-partai lain- ia atau mereka tidak mau memilih (golput). Harus kita catat, iklan politik yang bernada empatif atas nama kemanusiaan itu menjadi faktor terjadinya suara terbang, entah ke mana. Jika sejumlah partai rivalis jeli mencermati dampak destruktif iklan politik PKS itu, kegelisahan sejumlah pihak itu dapat digarap serius sekaligus menjadi target penambahan suara. Harus dicatat, kekecewaan akan memudahkan siapa pun respek terhadap para pihak yang berusaha mengobati kekecewaannya. Di sinilah bayang-bayang turunnya perolehan suara PKS dibanding Pemilu 2004 yang mengalami lonjakan empat kali lipat dari Pemilu 1999. Muncul renungan, mungkinkah para elitis PKS -terutama di tingkat DPP- tidak memikirkan dampak destruktif iklan politiknya? Sangatlah tidak mungkin. Tapi, mengapa nekat? Atau, memang tidak sampai ke sana analisisnya? Atau, boleh jadi, para pengambil keputusan PKS mempunyai pertimbangan lain, misalnya andil pemimpin Orde Baru terhadap proses politik para kader PKS? Memang -sebagai domain kedua yang jarang dilihat publik- PKS harus berterima kasih kepada mantan orang nomor satu Orde Baru. Harus kita catat, sikap politik represif Soeharto masa lalu justru menjadi faktor penting dalam proses penempaan karakter (mental) dan sikap ideologis yang demikian mengakar pada diri para kader PKS. Meski represivitas Soeharto masa lalu tak membersitkan keinginan para kader PKS untuk mendirikan partai politik, politik ketatnya mampu mengantarkan keterpanggilan mereka. Refleksi yang harus kita lihat, penyaluran reaksi antirezimnya dituangkan dalam wadah pengajian-pengajian yang bersifat kekeluargaan. Usrah itulah nama yang demikian merebak di berbagai kampus pada era 1980-an. Perebakannya demikian sistemik dan bagai sistem sel. Ikatan psikologis-ideologis aktivis usrah itu sungguh punya kontribusi besar dalam proses sosialisasi dan soliditas PKS. Sistem jaringan yang dibangun semasa era 1980-an itu bukan hanya meluas, tetapi juga kukuh. Itulah sebabnya, sistem manajemen politik PKS sungguh berbeda dibanding partai-partai politik lain. Tingkat loyalitasnya bukan karena kepentingan pragmatis, tapi benar-benar ideologis. "Sami`na wa atha`na" kepada pemimpinnya. Jika sang pemimpin mengeluarkan komando, segera dikerjakan oleh seluruh subordinatn tanpa menunggu dana taktis -itulah yang membuat langkah-langkah politik PKS demikian efektif dan agresif. Karena itu, janganlah heran jika PKS amat berkibar umbul-umbulnya di berbagai titik sampai ke pelosok dan tidak hanya menjelang pemilu. Juga jangan heran mengapa polling-polling PKS di televisi senantiasa unggul dibanding partai atau kader lain. Hal itu tak lepas dari komandonya akan segera direspons seluruh kadernya di bawah. Akhirnya, kita -secara objektif- harus mencatat bahwa tayangan iklan politik PKS tak lepas dari sikap terima kasihnya kepada Soeharto yang telah berjasa besar terhadap jatidiri PKS. *. A.M. Saefuddin , cendekiawan muslim guru besar di IPB Bogor http://jawapos.com/ Salam Abdul Rohim http://groups.google.com/group/peduli-jateng?hl=id