http://www.harianterbit.com/artikel/rubrik/artikel.php?aid=57156
Ketika kondom menjadi pilihan Tanggal : 02 Dec 2008 Sumber : Harian Terbit Oleh Tety Polmasari SETIAP 1 Desember diperingati sebagai Hari HIV/AIDS Sedunia. Dari peringatan ini terungkap separuh penduduk dunia yang terinfeksi HIV adalah perempuan. Sebagian besar tertular dari pasangan seksualnya. Ketika obat mujarab untuk menangkal HIV/AIDS belum ditemukan, maka kondom menjadi pilihan? Tapi tidak semudah itu. Di Indonesia, stigma bahwa HIV/AIDS hanya bisa menginfeksi Pekerja Seks Komersial (PSK) membuat kondom semakin tak popular di kalangan perempuan. Padahal, perempuan 2,5 kali lebih rentan terhadap HIV. Ini artinya, perempuan lebih butuh kondom daripada laki-laki. Mengapa? Menurut Sekretaris Komisi Penanggulan AIDS (KPA) Nasional, Dr Nafsiah Mboi SpA,Vagina memiliki lapisan tipis (mukosa) yang lembut dan mudah terluka. Anatomi ini membuat air mani bertahan lebih lama dalam rongga vagina bila terjadi penetrasi. Jika air mani yang mengandung HIV dipancarkan ke dalam vagina, si perempuan akan tertular Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk HIV. Penelitian ilmiah juga menyebutkan pemakaian kondom dapat langsung mengurangi resiko penularan penyakit AIDS melalui hubungan seks hingga 80 persen. Untuk yang melakukan seks bebas, memaki kondom harus menjadi pilihan, meski tidak mengurangi dosa, setidaknya tidak menularkan penyakit ke orang lain. Karenanya, tak ada salahnya para ibu rumah tangga harus berani meminta pada suami menggunakan kondom saat suami ingin berhubungan seks, terlebih jika suami telah bepergian. Ini bentuk perlindungan diri dari penularan HIV/AIDS dan IMS, juga menjaga kesehatan reproduksi seksual. Kesadaran yang belum tumbuh ini harus segera dibangun mulai sekarang. "Ini bukannya masalah percaya atau tidak percaya dalam rumah tangga. Namun, sebagai perempuan, mereka berhak atas kesehatan reproduksi. Kan enggak tahu suami habis dari luar kota, ya apa salahnya mencegah daripada mengobati," ujar Lula Kamal, dokter yang merangkap artis. Lula sendiri mengaku kerap melakukan sosialisasi penggunaan kondom ke beberapa lokasi prostitusi, baik kepada wanita PSK maupun kepada muncikari. Sebagai upaya mendesak PSK mau memaksa klien mereka menggunakan kondom. "Saya bukan menganjurkan, tapi menghentikan penyebaran HIV lebih luas," kata Lula yang juga aktivitas penanggulangan narkoba. Menurutnya, kampanye kondom perlu juga dengan cara-cara alternatif agar pesan dapat melekat di benak khalayak. Melalui lagu, ringtone yang populer, atau iklan di media televisi, perlu dilakukan lebih intensif untuk mengubah mindset masyarakat tentang kondom. Cara-cara alternatif ini perlu, mengingat penyelenggaraan Pekan Kondom Nasional (PKN) yang dimulai setahun lalu ternyata belum memberikan efek signifikan pada peningkatan penggunaan kondom terkait pencegahan IMS (Infeksi Menular Seksual) atau HIV/AIDS. "Masyarakat masih memiliki mitos seperti menggunakan kondom tak enak, menggunakan kondom tapi masih kena HIV dan masih banyak lagi, sehingga yang perlu dilakukan itu mengubah pola pikir (mindset) dulu," kata Nafsiah Mboi. Tampaknya sulit juga untuk menyosialisasikan pentingnya kondom untuk mencegah IMS dan HIV/AIDS. Memang tanpa kondom, bagi pasangan yang setia, bisa terhindar dari kemungkinan terinfeksi HIV. Namun, masih berisiko terhadap kehamilan tak diinginkan. Jika dalam keadaan seperti ini, aborsi menjadi pilihan. Padahal kasus aborsi di Indonesia sangat tinggi. Berdasar data Depkes RI, angkanya mencapai 2,3 juta kasus tiap tahun per Agustus 2007. Dan ini belum termasuk aborsi ilegal atau non-medis. Karena itu, sudah saatnya, masyarakat menggunakan kondom sebagai sarana alternatif mencegah kehamilan tak diinginkan dan terhindar dari IMS atau HIV/AIDS. Namun, seperti diungkapkan Sekretaris Utama Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sudibyo Alimoesa, tren penggunaaan kondom sebagai alat kontrasepsi sangat lambat. "Sejak 2002 hingga 2007 hanya naik 0,4 persen menjadi 1,3 persen dari 27 juta peserta KB aktif di Indonesia. KB suntik, ia menambahkan, merupakan alat kontrasepsi yang paling banyak digunakan," katanya. Peredaran kondom sendiri di Indonesia hanya 100 juta pertahunnya. Angka itu, jelas tak sebanding dengan jumlah populasi dan percepatan pertumbuhan virus HIV di Indonesia. Namun, menurut para 'anti-kondom' solusi pencegahan penyakit AIDS bukanlah dengan pemakaian kondom, namun lebih kepada membenahi mental masyarakat untuk tidak melakukan free sex. Mereka menilai pemberantasan penyebaran AIDS dengan proses penyadaran moralitas di kalangan mahasiswa dan remaja. Ada juga yang menilai penggunaan kondom bukan jaminan seseorang bebas tertular virus HIV karena alat kontrasepsi tersebut memiliki pori-pori yang memungkinankan untuk ditembus virus. "Penggunaan kondom untuk cegah HIV tidak aman 100 persen," kata psikiater dan guru besar FK UI, Prof Dr dr Dadang Hawari, suatu ketika. Dikatakan, pada dasarnya fungsi kondom adalah untuk mencegah masuknya sperma bukan untuk membendung serangan virus. Penggunaan kondom dalam program KB (keluarga Berencana) saja mengalami kegagalan hingga 20 persen. "Padahal perbandingan sperma dengan virus itu mencapai 450 banding 1," tegasnya. Kondom sendiri terbuat dari karet (latex) yang merupakan senyawa hidrokarbon dengan polimerisasi (berserat dan berpori bagaikan tenunan kain). Pori-pori tersebut hanya dapat dilihat melalui mikroskop dengan lensa elektron. Besarnya pori-pori kondom dalam keadaan tidak meregang sebesar 1/60 mikron dan saat meregang 10 kali lebih besar ukurannya. "Padahal ukuran virus HIV itu kira-kira sebesar 1/250 mikron," katan Dadang. Terlepas dari itu semua, cara terbaik untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan dan IMS tak ada pilihan lain selain tidak melakukan seks sama sekali (free sex) dan setia pada pasangan. (Penulis adalah wartawan Harian Terbit)