Jawa Pos

Rabu, 10 Desember 2008 ] 


Komitmen HAM Produk Legislasi DPR 

Oleh Wahyudi Djafar * 

Genap enam puluh tahun sudah Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 
diakui negara-negara di dunia. Kendati Indonesia baru mengaksesi pernyataan 
tersebut pasca-tumbangnya rezim otoritarianisme Orde Baru, sejak negara ini 
didirikan, konstitusi UUD 1945 pada dasarnya secara tegas mengakui pentingnya 
perlindungan terhadap HAM. 

Ketegasan itu diperkuat dengan empat kali amandemen UUD 1945, yang secara rinci 
mengatur hak asasi warga negara dan kewajiban negara dalam pemajuan (to 
promot), pemenuhan (to fulfil) dan penegakan (to protect) HAM. Selain itu, 
seiring dengan perkembangan konfigurasi politik kekuasaan, Indonesia telah 
meratifikasi beberapa instrumen pokok HAM, termasuk International Covenan on 
Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenan on Economic, 
Social and Cultural Rights (ICESCR), pada Oktober 2005. 

Indonesia adalah negara yang memiliki sejarah kelam dalam perlindungan HAM, 
khususnya ketika rezim despotis otoriter Orde Baru berkuasa. Beragam 
pelanggaran HAM berlangsung pada periode ini, berjuta-juta nyawa manusia 
melayang untuk menegakkan kekuasaan absolut Orde Baru. Dalam sistem 
ketatanegaraan, meski secara formal diakui adanya mekanisme pembagian kekuasaan 
(distribution of power) ke dalam tiga cabang kekuasaan, legislatif, eksekutif, 
dan yudikatif, pada praktiknya kekuasaan mutlak dijalankan eksekutif (executive 
heavy). 

Baru pada 1998 bersamaan dengan berembusnya angin reformasi yang membawa 
perubahan, terjadi penguatan terhadap kekuasaan legislatif dan yudikatif. 
Bahkan, dominasi kekuasaan yang semula berada di tangan eksekutif, bergeser ke 
tangan legislatif (legislative heavy).

Sebagaimana diatur dalam pasal 20a UUD 1945, DPR sebagai pemegang kekuasaan 
legislatif memiliki kewenangan membuat UU (legislasi), penganggaran 
(budgeting), dan pengawasan (controling). 

Berpihak ke HAM 

Besarnya kewenangan yang dimiliki DPR serta bergesernya dominasi kekuasaan ke 
tangan DPR, menjadikan lembaga ini penting dalam upaya perlindungan HAM. Dengan 
demikian layak, ketika setiap orang kemudian menggantungkan harapan pada 
kearifan dan kebijaksanaan DPR untuk berpihak pada pemajuan, pemenuhan, dan 
penegakan HAM. 

Keberpihakan atau komitmen DPR terhadap HAM dapat dilihat dari seberapa jauh 
DPR mampu mengimplementasikan amanat konstitusi, khususnya pasal-pasal yang 
mengatur hak konstitusional warga negara, ke dalam produk perundang-undangan 
yang dibentuknya. 

Tolok ukur lain yang dapat digunakan ialah kemampuan DPR menyinergikan produk 
legislasinya dengan instrument-instrumen pokok HAM yang telah diratifikasi 
Indonesia, sehingga tidak berkontradiksi dengan instrumen pokok HAM tersebut. 

Pada fungsi penganggaran, komitmen DPR dapat diukur dari sikap DPR dalam 
memperjuangkan APBN yang pro-human rights. Artinya, seberapa besar alokasi APBN 
bagi penguatan hak-hak konstitusional warga negara. 

Dalam fungsi pengawasan, sudut pandang yang dapat digunakan untuk mengukur 
keberpihakan DPR terhadap HAM adalah seberapa jauh respons DPR terhadap 
permasalahan yang memiliki relasi dengan perlindungan hak-hak konstitusional 
warga negara, serta bagaimana tindak lanjutnya. 

Meragukan 

Dalam kenyataannya, khusus pelaksanaan fungsi legislasi, dengan menggunakan 
tolok ukur di atas, komitmen DPR terhadap HAM dapat dikatakan masih diragukan. 
Hal ini terbukti dari 141 produk legislasi DPR selama periode 2005-2008, 
menurut catatan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam), hanya ada 35 UU atau 
sekitar 25 persen, yang memiliki relasi dengan HAM. Dari 35 UU itu, 19 atau 
sekitar 54 persen di antaranya dianggap mampu memperkuat HAM, sedangkan sisanya 
justru menghambat (constraining) HAM. 

Namun, dari 19 UU yang dianggap mampu memperkuat HAM tersebut, sebagian besar 
di antaranya merupakan produk ratifikasi (pengesahan) perjanjian internasional, 
dengan perbandingan 10 UU ratifikasi dan 9 UU yang murni hasil pemikiran DPR 
besama pemerintah. 

Lemahnya komitmen DPR terhadap HAM juga dapat dibaca dari rendahnya inisiatif 
DPR dalam mengusulkan pembahasan dan pembentukan UU yang mengupayakan 
perlindungan HAM. Padahal, DPR dan pemerintah memiliki ruang yang sama dalam 
hal inisiatif pembentukan UU. 

Misalnya, dari 10 UU ratifikasi perjanjian internasional yang memiliki relasi 
dengan HAM, seluruhnya inisiatif pemerintah. Beberapa UU yang lahir dari 
inisiatif DPR justru berseberangan dengan upaya penguatan HAM. Misalnya, UU No 
44/2008 tentang Pornografi, yang memiliki maksud dan tujuan mulia, tetapi 
justru substansinya banyak menyimpang dari komitmen HAM. 

Hal ini tentu berkontradiksi dengan arah dan kebijakan program legislasi 
nasional (Prolegnas) 2005-2009, yang salah satu poinnya adalah perlunya 
pembentukan UU untuk memberikan perlindungan HAM, serta pentingnya ratifikasi 
konvensi internasional yang diperlukan dalam perlindungan HAM.

Rendahnya produk legislasi DPR yang berpihak pada perlindungan HAM, secara umum 
dapat dikatakan akibat tingginya politik transaksional antarfraksi, dan 
minimnya komitmen untuk mengaplikasikan amanat konstitusi dalam sebuah produk 
legislasi. 

Jika kita lihat tingginya angka UU pemekaran daerah otonom, yang mencapai 41 
persen dari total produk legislasi DPR periode 2004-2009, kian menjadi pertanda 
kuatnya semangat DPR untuk berbagi kekuasaan antarkepentingan politik yang ada 
di DPR. 

Lemahnya keberpihakan DPR terhadap upaya pemajuan, pemenuhan, dan penegakan 
HAM, tentu mengecewakan kita yang telah menyerahkan seluruh kepercayaan dan 
harapan kepada lembaga perwakilan rakyat itu. 

Oleh sebab itu, DPR sebagai perwakilan rakyat Indonesia sudah seharusnya 
memiliki komitemen serius untuk menciptakan pengaturan yang sejalan dan 
berorientasi pada penguatan hak-hak konstitusional warga negara, bukan 
sebaliknya. 

*. Wahyudi Djafar, aktif pada Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) 

Kirim email ke