Seru, Kocak, Sedih, Menegangkan ------------------------------- --Oleh Anwar Holid
Ada yang senang, terhibur, ikut terharu dan sedih, kocak, terbawa tegang, setelah baca Maryamah Karpov; tapi juga ada yang merasa janggal, bertanya-tanya, dan kecewa. Akankah ada spekulasi baru terhadap Laskar Pelangi? BANDUNG - Ternyata saya tak segesit banyak pembaca lain dalam menamatkan Maryamah Karpov. Memegang novel itu sejak akhir November, sampai sekarang saya baru membuka Mozaik 55 dari total 73. Ada saja halangan saya untuk segera menamatkannya. Entah sudah waktunya harus menyelesaikan makalah, segera menulis kolom, baca artikel, rencana baru, kalah oleh godaan ingin membalas posting teman, berkejaran dengan jadwal dan prioritas lain, atau energi dan waktu tersita oleh urusan keluarga, pribadi, dan teman-teman. Namun sekarang, saya berharap dalam sehari ini benar-benar bisa tuntas memuaskan kepenasaran terhadap petualangan cerita Ikal tersebut. Ada saja kejadian yang bikin senyum saya mengembang selama pegang-pegang novel setebal 504 halaman itu. Di antaranya, waktu antri di bank, seorang anak SD, bersama ibunya, sampai meneleng-nelengkan wajahnya mengintip apa yang tengah saya baca. Begitu mata kami berpapasan, saya tanya, "Tahu Laskar Pelangi?" Dia mengangguk. "Sudah baca?" Dia tersenyum. "Lihat filmnya juga?" Bibirnya mengembang. Lantas dia menepuk-nepuk tangan ibunya. "Mah, mah, itu lanjutan Laskar Pelangi," katanya. Ibunya lantas ikut memperhatikan buku yang ada di tangan saya. Dia mengangguk tanda memberi salam. "Mau lihat?" saya menyodorkan buku ke anak itu. Dia ragu-ragu menerimanya. "Ini jilid terakhirnya," kata saya. "Kapan terbitnya?" sela si ibu, sambil buru-buru menambahkan, "dia sudah lama menunggu sejak tamat buku ketiganya." "Hebat," puji saya. "Ini baru terbit akhir November tadi. Saya baru setengahnya baca." Saya tenteng-tenteng novel itu setiap kali pergi, biar siap membacanya kapan saja, termasuk di dalam angkot. Pernah begitu duduk saya siap menarik novel bersampul violinis wanita itu, di ujung sudut angkot telah duduk dengan manis seorang gadis tengah tenggelam menekuri Maryamah Karpov. Daya perkirakan dia masih sampai puluhan halaman, tangan kirinya baru memegang sedikit bagian buku. Dia tak peduli dengan penumpang lain yang tengah ribut membicarakan seorang dosen yang menurut mereka genit karena suka berusaha merayu. Si gadis pembaca Maryamah itu terus terpekur membuka satu per satu halaman perlahan-lahan, saya memperhatikan dia dari kaca spion. Ternyata perjalanan dia jauh, sepanjang waktu itu wajahnya hanya menatap buku, dan tangannya membuka halaman. Sampai akhirnya saya turun duluan. Saya takjub betapa ada buku yang begitu bisa memaku pembaca. Itulah ciri "page-turner"--buku mengasyikkan, dengan plot yang sulit ditinggalkan. Di lain waktu, dengan kawan seorang penulis dan editor, kami membicarakan berbagai aspek dalam Laskar Pelangi, intrinsik dan ekstrinsik, termasuk berbagai berita yang berseliweran di sekitar Andrea Hirata. Lepas dari berbagai kritik yang mengepung novel itu, dan kritik itu pun saya amini, posisi saya ialah menyelamati keberhasilan karya tersebut, baik dari sisi kekhasan cara bercerita, tema, dan kesuksesan memenangi selera massa. Bila ada ratusan ribu pembaca berbondong-bondong melahap karya itu, tentu ada sesuatu yang bisa diambil dari sana, baik rasa bahagia, sedih, haru, humor, dan setia kawan. Sambil terus mencicil, saya memperhatikan sejumlah komentar pembaca yang telah menamatkannya. Sebagian merasa puas, terhibur, memuji, bertanya-tanya, dan ada juga yang kecewa---benar-benar kecewa (menggunakan gaya ungkap khas Andrea Hirata.) Bagaimana merespons beragam reaksi pembaca setelah baca Maryamah Karpov karya Andrea Hirata kali ini? Tentu kurang elok bila kita terus-terusan mengedepankan euforia pembaca terhadap suatu karya tanpa mengindahkan respons negatif terhadapnya. Pembaca punya hak terhadap buku yang dia baca, bahkan mereka bisa dengan jujur bebas mengungkapkan komentar itu dengan berbagai cara. Pembaca merupakan massa anonim, mereka bisa berkomentar apa saja terhadap karya yang mereka baca. Beragam respons ini mengingatkan saya pada Adenita, penulis 9 Matahari, yang karyanya juga dikomentari beragam oleh sejumlah orang. "Beragam apresiasi itu mirip ruang yang punya banyak sudut. Sah-sah saja menilai buku ini dari sudut pandang masing-masing, karena ini memang hak pembaca." Salah satu reaksi paling menuntut dari pembaca ialah kenapa novel tersebut berjudul "Maryamah Karpov." Pilihan itu mengingatkan saya pada sejumlah judul album atau lagu musisi Barat yang kerap lain sama sekali dengan isi album, bukan pula merupakan petikan lirik dan tak mewadahi isi keseluruhan cerita. Karena pilihan judul itu terasa begitu misterius, sebagian pembaca mengira-ngira kemungkinan akan ada rencana di masa depan terhadap "Maryamah Karpov." Penyair Nirwan Dewanto melakukan hal serupa terhadap buku puisinya, Jantung Lebah Ratu, yang baru-baru ini memenangi KLA 2008 kategori puisi. Maryamah Karpov memuaskan dahaga pembaca akan kepiawaian Andrea Hirata bercerita, mengembalikan pada cara bercerita yang khas. Mereka terhibur, tertawa, terharu, juga bertanya-tanya. Pembaca senang oleh humor, lelucon, kesetiakawanan, petualangan, juga kehidupan masyarakat Melayu. Pembaca dibuai oleh berbagai peristiwa fantastik, gaya ungkap hiperbolik, juga kisah cinta, optimisme, dan rasa riang menjalani hidup. Di milis pasarb...@yahoogroups.com, anggota bernama Samuel berkata, "Saya telah selesai baca, seru, kocak, sedih, menegangkan... tapi bagi saya seperti ada satu bagian yang hilang." Sementara Handita menambah, "Saya menangkap pesan yang ingin disampaikan ialah soal keteguhan hati untuk mengejar cita-cita." Namun pembaca yang kecewa juga terang-terangan melampiaskan perasaannya, seperti Siska. Komentar dia, "Novel ini mungkin karakternya terilhami dari orang-orang nyata. Tapi Maryamah Karpov seperti ditulis cuma untuk melunasi utang. Alur dipaksakan, gaya bercerita masih satire tapi terlalu banyak halaman terbuang buat cerita-cerita yang bukan inti, kaya fragmen terpisah-pisah, dan tak jelas maunya. (Padahal) tiga novel sebelumnya cool, menambah sesuatu." Saya juga merasakan di bagian awal novel ini Andrea keasyikan meledek perilaku kaumnya sendiri, hingga baru setelah halaman 200-an pembaca digiring pada misi Ikal sesungguhnya. Apa itu lantas membuat 200 halaman pertama sia-sia? Mungkin tidak, hanya kurang padu terhadap subjek utama. Di halaman awal itu saya masih bisa tertawa menikmati kejenakaan kelakuan orang Melayu Dalam, menikmati suasana, kehidupan, dan alam kampung, juga memasuki penggambaran latar (seting) yang sangat hidup. Di sisi lain saya menemukan bukti keseriusan penerbit dalam menyiapkan buku. Sejauh 342 halaman ini, saya hanya menemukan satu salah eja, pada halaman 327, yaitu atas ejaan nama Lintang yang tak diawali huruf kapital. Kerapian ini boleh jadi mesti ditujukan berkat kecermatan editor, Imam Risdiyanto. Baiklah, izinkan saya menuntaskan dulu novel ini, agar di kemudian hari bisa berbagi dan berkomentar lebih banyak. Sehari lagi, saudara-saudara, sebagai syarat agar komentar saya cukup valid dan bertanggung jawab.[] Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid KONTAK: war...@yahoo.com | (022) 2037348 | Panorama II No. 26 B, Bandung 40141 Informasi lebih banyak di: http://www.klub-sastra-bentang.blogspot.com http://www.mizan.com http://www.sastrabelitong.multiply.com http://www.renjanaorganizer.multiply.com http://www.blueorangeimages.com (foto Andrea Hirata)