Mg Adven IV: 2 Sam
7:1-5.8b-12. 14a.16; Rm 16:25-27; Luk 1:26-38

"Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum
bersuami?"



Sebut saja namanya “Marta”
(samaran), ia adalah seorang ibu yang memiliki empat anak, aktivis dalam aneka
kegiatan gerejani di parokinya. Suaminya termasuk orang yang sukses dalam hal
usaha alias mencari uang guna mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Karena
boleh dikatakan tidak pernah berkekurangan dalam hal harta benda atau uang,
maka ketika anaknya yang sulung, sebut saja “Maria” (samaran) berminat
melanjutkan belajar di perguruan tinggi yang cukup terkenal di kota lain, yang
berjauhan dengan rumahnya, dengan senang hati Marta dan suaminya memberi izin.
Maria termasuk cantik dan selama belajar sampai SMA juga aktif dalam aneka
kegiatan gerejani maupun di sekolahnya. Ia juga cerdas dan selalu sukses dalam
belajar. Selama belajar di perguruan tinggi di kota
lain Maria senantiasa pulang ke rumah, berlibur bersama keluarga, ketika ada
liburan panjang. Sebagai seorang gadis Maria senantiasa nampak ceria, gembira
dan bergairah. Pada liburan panjang tahun ketiga kuliahnya alias liburan akhir
semester ke lima, Maria pulang ke
rumah nampak gemibira dan tambah gemuk. Melihat hal itu tentu saja ibunya,
Marta, maupun suami dan adik-adiknya ikut bergembira juga: gembira karena
meskipun berjauhan dari keluarga Maria tetap gembira dan bahkan semakin gemuk.
Beberapa waktu kemudian, bagaikan petir di siang hari bagi Marta dan suaminya
ketika memperoleh informasi daei kenalannya bahwa anaknya (Maria) saat ini
berada di suatu panti asuhan dalam 
keadaan mengandung dan tidak lama lagi akan melahirkan seorang anak. Marta
dan suaminya tidak mengira dan tidak tahu sama sekali bahwa kegemukan anaknya
yang mereka lihat ketika liburan yang lalu ternyata Maria sedang mengandung. 
Sementara
itu Maria sendiri merasa tetap gembira antara lain terbukti tidak mau
menggugurkan kandungan, melainkan merawatnya dan siap melahirkan anak yang
dikandungnya, sebagai ‘buah kasih’ dengan pacarnya. Kiranya Maria telah 
mengambil
sikap seperti Bunda Maria yang menanggapi sapaan malaikat Gabriel: 
“Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan;
jadilah padaku menurut perkataanmu itu." 
     

 

"Sesungguhnya
aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu."
(Luk 1:38)   

 

Jawaban Maria atas penjelasan
malaikat Gabriel merupakan bentuk penyerahan diri seutuhnya kepada
Penyelenggaraan Ilahi atau kehendak Allah untuk menyelamatkan dunia. Dengan
kesiap-sediaan dan kesanggupan Maria ini maka janji Allah untuk penyelamatan 
dunia
akan segera terwujud. Kita semua dipanggil untuk meneladan Bunda Maria dengan
menghayati tanggapannya atas kata-kata malaikat Gabriel: “Sesungguhnya aku ini 
adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut
perkataanmu itu”. Bagaimana penghayatan kata-kata tersebut dalam kehidupan
kita sehari-hari, dalam hidup, panggilan, kesibukan atau tugas pengutusan kita
masing-masing?

 

Sikap mental ‘hamba’ itulah yang
harus kita hayati dan sebarluaskan. Seorang hamba atau pelayan yang baik antara
lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut: mendengarkan, siap sedia melaksanakan
tugas atau perintah, tidak mengeluh/menggurutu ketika menghadapi tantangan atau
hambatan, kerja keras sesuai dengan tugas pekerjaan atau pengutusan, gembira,
peka akan kebutuhan yang lain/harus dilayani, dst… Sikap mental atau
keutamaan-keutamaan macam itulah yang harus kita hayati dan sebarluaskan.
Dengan menghayati sikap mental macam itu hemat saya apa yang kita cita-cita
atau dambaan untuk hidup bahagia, damai sejahtera akan segera menjadi kenyataan.

 

Seorang hamba juga ‘penurut’,
menuruti dan melaksanakan aneka aturan dan tatanan hidup yang terkait dengan
tugas pekerjaannya. Dengan kata lain ia sungguh berdisiplin, yaitu “kesadaran 
akan sikap dan perilaku yang sudah
tertanam dalam diri, sesuai dengan tata tertib yang berlaku dalam suatu
keteraturan secara berkesinambungan yang diarahkan pada suatu tujuan atau
sasaran yang telah ditentukan” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman
Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997,hal 10).  Erat 
hubungannya dengan bersiplin adalah tidak
melakukan korupsi dalam bentuk apapun. Hendaknya berdisisplin ini dibinakan dan
ditanamkan sedini mungkin dalam diri anak-anak, entah di dalam keluarga maupun
sekolah, tentu saja butuh keteladanan dari para orangtua atau guru. 

 

“Bagi
Dia, yang berkuasa menguatkan kamu, -- menurut Injil yang kumasyhurkan dan
pemberitaan tentang Yesus Kristus, sesuai dengan pernyataan rahasia, yang
didiamkan berabad-abad lamanya, tetapi yang sekarang telah dinyatakan dan yang
menurut perintah Allah yang abadi, telah diberitakan oleh kitab-kitab para nabi
kepada segala bangsa untuk membimbing mereka kepada ketaatan iman -- bagi Dia,
satu-satunya Allah yang penuh hikmat, oleh Yesus Kristus: segala kemuliaan
sampai selama-lamanya!” (Rm 16:25-27)  


 

“Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati serta mengabdi Allah Tuhan
kita, dan dengan itu menyelamatkan jiwanya” (St.Ignatius Loyola, LR no 23).
Kita manusia yang diciptakan oleh Allah 
dapat hidup, tumbuh berkembang menjadi bahagia, damai sejatera serta
cerdas beriman hanya dalam Dia, bersama Dia dan karena Dia; kebahagiaan hidup
kita tergantung sepenuhnya (100%) dari Allah dan penyerahan diri kita
kepadaNya. Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah berarti membuka hati, jiwa,
akal budi dan tubuh kepada kehendak dan sapaan Allah, dan untuk itu kiranya
dapat dilatih dengan saling membuka diri di antara kita. Keterbukaan diri pada
Allah dan sesama manusia bagaikan mata uang bermuka dua, dapat dibedakan namun
tak dapat dipisahkan. 

 

“Terbuka adalah
sikap dan perilaku yang menunjukkan keleluasaan dalam menerima apa saja dari
luar, membuka diri terhadap umpan balik, dan mampu memuat informasi apa saja
dengan obyektif” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi
Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 28). Cukup banyak informasi
atau berita-berita baik yang mendatangi kita, antara lain apa yang ditulis dan
diwartakan di dalam kitab-kitab suci, yang sering kita bacakan dan dengarkan
dalam berbagai kesempatan beribadat. “Segala
tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk
menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam
kebenaran.”(2 Tim 3:16). Tulisan-tulisan di dalam Kitab Suci kita imani
‘diilhamkan Allah’, maka marilah kita bacakan, dengarkan, renungkan dan hayati
dalam hidup kita sehari-hari. 

 

Apa yang ditulis di dalam Kitab Suci antara lain ‘mendidik orang dalam 
kebenaran’  agar dapat memuji, menghormati dan mengabdi
Allah Tuhan kita. Apa yang tertulis dan dinasihatkan dalam dan melalui Kitab
Suci memang sungguh ideal, dan mungkin dalam hati kita masing-masing juga
bertanya seperti Bunda Maria “Bagaimana
hal itu mungkin”. Jika muncul pertanyaan atau keraguan demikian marilah
kita renungkan dan imani sabda ini:”Roh
Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau”
(Luk 1:35)  Roh Kudus yang akan memampukan atau
memberdayakan kita sehingga kita dapat menghayati dan melaksanakan sabda-sabda
Tuhan, antara lain sebagaimana tertulis di dalam Kitab Suci. Untuk itu kita
dapat bercermin pada para santo-santa pelindung kita masing dan tentu saja juga
pada Bunda Maria, teladan umat beriman, dan kemudian meneladan cara hidup dan
cara bertindaknya.

 

“Aku hendak
menyanyikan kasih setia TUHAN selama-lamanya, hendak memperkenalkan
kesetiaan-Mu dengan mulutku turun-temurun. Sebab kasih setia-Mu dibangun untuk
selama-lamanya; kesetiaan-Mu tegak seperti langit. Engkau telah berkata:
"Telah Kuikat perjanjian dengan orang pilihan-Ku, Aku telah bersumpah
kepada Daud, hamba-Ku:Untuk selama-lamanya Aku hendak menegakkan anak cucumu,
dan membangun takhtamu turun-temurun." 
(Mzm 89:2-5)

 

Jakarta,
21 Desember 2008

 




      Selalu bisa chat di profil jaringan, blog, atau situs web pribadi! Yahoo! 
memungkinkan Anda selalu bisa chat melalui Pingbox. Coba! 
http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/

Kirim email ke