Thanks berat pak Anton atas apresiasi dan tanggapannya. 
(punten untuk crossposting). 

> 2008/12/24 Jehan Siregar <jehansire...@...>
> 
> >    *Menghadapi Kompleksitas Masalah Perumahan Rakyat ***

> > Masyarakat menghadapi masalah dan berupaya mengatasinya sendiri-sendiri> > 
> > Para orangtua> > yang mampu akan mengumpulkan uang dan membeli tanah yang 
> > banyak atau> > membelikan rumah untuk anak-anaknya yang telah menikah. 
> > Profesional muda> > bekerja keras dan menabung untuk bisa mendapatkan 
> > rumah. Para keluarga muda> > berpindah-pindah kontrakan hingga mampu 
> > memiliki rumah sendiri setelah> > beberapa masa yang tidak pasti 
> > lamanya.     

Anton:
*Mungkin bagus  kalau  ada  juga survey  tentang  berapa yg
> > lulus  sekolah Universitas yg  sekarang  bisa  punya  rumah sendiri, tampa> 
> > > bantuan  orang tua (karena orang tua  termasuk  ekonomi lemah?  Ya,  
> > hanya> > melihat  gambaran feasability  social  economi  dalam  obtaining  
> > housing.?

----------------------------------------------

Setuju Pak
 
Pertama, Studi seperti ini secara lebih luas akan menjadi basis kebijakan 
perumahan berdasarkan perkembangan keluarga (family development life cycles) 
yang memang belum ada. 

Kedua, studi ini bisa menyingkapkan bahwa penyediaan perumahan tidak hanya 
mengacu pada keluarga-keluarga sebagai angka statistik semata, melainkan juga 
aspek kualitatif dalam hubungannya dengan jejaring sosial keluarga. 

Ketiga, manfaatnya jelas semakin membuka kesadaran bahwa urusan perumahan 
berada di domain publik dan bukan berada di domain privat/pribadi(bukan 
swasta). Pandangan yang berkembang selama ini melihat perumahan sebagai 
tanggung jawab masing-masing individu dalam segala halnya. Misalnya, tanggung 
jawab orangtua adalah menyediakan rumah untuk anak-anaknya. Kasus rumah untuk 
anaknya Jaksa Agung AR Rachman yang mencuat pada pemerintahan Megawaty dulu 
adalah fenomena puncak gunung es dalam masalah ini.

Pandangan rumah sebagai urusan pribadi inilah yang menyebabkan para orangtua 
berusaha membeli banyak tanah, bahkan melalui cara-cara spekulasi. Para 
orangtua yang kebetulan pejabat yang memiliki akses terhadap informasi tanah 
dan informasi proyek perumahan, atau para karib dan kerabat pejabat tersebut, 
adalah pihak yang paling diuntungkan. Bukankah keadaan ini yang menyuburkan 
praktek spekulasi tanah? Bukankah keadaan seperti ini yang turut mendorong 
orang-orang untuk korupsi dan terus korupsi? 

Absennya sistem kebijakan perumahan yang berkeadilan ini telah menyuburkan 
pandangan yang keliru dan bahkan menyimpang dari nilai-nilai moral dan agama. 
Adakah fatwa agama yang mengatakan spekulasi tanah, baik spekulasi di tingkat 
informasi publik maupun praktek jual beli di masyarakat, itu hukumnya haram? 
Absennya sistem membuat gap keluarga-keluarga kaya dan miskin semakin membesar. 
Pada gilirannya, keadaan ini semakin memberatkan tanggung jawab negara dan 
pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan perumahan untuk seluruh rakyatnya, 
terutama yang miskin. Tinggal saja pilihan kebijakannya adalah: terus 
menyediakan rumah-rumah untuk keluarga miskin yang semakin banyak, yang 
jumlahnya semakin jauh meninggalkan kapasitas penyediaan itu sendiri, atau 
memperbaiki sistem kebijakannya secara stratejik? 

Salam,
Jehan Siregar

(Kawan-kawan sebangsa dan setanah air yang saya hormati, jika ada tanggapan 
tolong juga di cc ke email: jehansiregar at yahoocom. Terimakasih)




      

Kirim email ke