Para Tokoh Perkumpulan Masyarakat Surakarta Bicara Kerukunan 


Tionghoa Ada yang Jelek, Tapi Jangan Digebyah Uyah 

Diskriminasi ternyata bukan terkait status kewarganegaraan. Ternyata, ada yang 
lebih prinsip dari itu di mata etnis ini.

LEO TEJA KUSUMA, Solo 

--------------------------------- 

Momen-momen penting agama di Indonesia, seperti perayaan Natal yang jatuh hari 
ini maupun Imlek yang akan dirayakan bulan depan, selalu menjadi wujud dari 
kerukunan antaretnis dan agama.

Solo dan sekitarnya menjadi salah satu contoh terkemuka terkait kerukunan ini. 
Sebab, sejumlah momen kerusuhan antaretnis di Solo berjalan beriringan dengan 
usaha-usaha untuk menyatukan mereka. 

Kerusuhan etnis Tionghoa dan penduduk lokal era 1980-an dan kerusuhan Mei 1998 
yang menjadikan etnis itu sasaran tembak utama, terjadi seiring makin eksisnya 
perkumpulan yang didirikan kelompok Tionghoa macam Perkumpulan Masyarakat 
Surakarta (PMS).

Setiap kali momen-momen menyedihkan itu terjadi, tak kurang usaha dari 
mereka-mereka yang peduli dari etnis itu untuk meyakinkan rekan-rekannya untuk 
tidak menyerah. "Kami akan terus meningkatkan sense of belonging (etnis 
Tionghoa di Indonesia) kepada NKRI (negara kesatuan Republik Indonesia). Apapun 
yang terjadi, itu cita-cita saya," ujar Haswanto, 71, mantan sekretaris dan 
direktur eksekutif PMS era 1970-an, dengan semangat.

Haswanto memang pantas berapi-api bicara tentang kerukunan. Sebab, sejak 
sebelum bergabung dengan PMS dia selalu menjadi salah satu ujung tombak untuk 
menjaga kerukunan ini. Dia pernah menjadi pengurus Bakom PKB (Badan Penghayatan 
Kesatuan Bangsa) di Jawa Tengah, pada Mei 1998.

Dia ingat betul bagaimana dia harus ikut berkeliling Jawa Tengah, untuk 
meyakinkan kepada etnis Tionghoa yang terkena "bencana" ini. Maka, ketika dia 
kini pensiun dari kepengurusan PMS, dia tetap memimpikan nasionalisme di 
kalangan Tionghoa Solo tetap berkobar.

"Saya berkeliling dengan Pak Sindhunata (ketum Bakom PKB Kristoforus 
Sindhunata) supaya para korban (kerusuhan) tidak panik, tidak kalap, dan tidak 
hilang akal. Kami katakan bahwa (kejadian) ini bukan kebijakan pemerintah RI," 
tegasnya, ketika ditemui RADAR SOLO , di Gedung PMS, kemarin (24/12).

Dia melihat, saat ini etnis Tionghoa di Solo sudah mulai bangkit dari trauma 
kerusuhan 1998 itu. Bahkan, dekade terakhir makin banyak etnis Tionghoa yang 
keluar dari "tradisi" mereka untuk hanya menjadi pengusaha. 

Para etnis dengan ciri kulit kuning dan mata sipit itu kini sudah mulai 
merambah dunia politik, mulai menjadi pemimpin warga di kampungnya (ketua RT 
dan RW), pada dokternya sudah lebih banyak lagi yang menjadi pegawai negeri 
sipil (PNS). 

Mereka keluar dari kelompok-kelompok etnis serupa, untuk berbaur dengan 
masyarakat umum di Solo. Sebut saja nama-nama legislator di Dewan Solo seperti 
Willy Tandyo, Honda Hendarto, William Saputra, Bambang Wijayanto, yang sudah 
menjadi pimpinan konstituen mereka sendiri yang multikultur.

"Kami makin senang jika teman-teman kami bisa merambah ke dunia di luar dagang. 
Kendati, kami-kami yang di-PMS memang dilarang untuk berpolitik. Namun, kami 
sangat mendukung jika ada etnis kami yang bisa berkiprah di sektor-sektor yang 
selama ini belum pernah disentuh. Sebab, kami adalah bagian dari warga Solo, 
yang tidak terpisahkan," timpal Sumartono Hadinoto, humas PMS, yang dibenarkan 
mantan pengurus PMS Piet Onggosaputro dan Wakil Ketua Umum PMS Wymbo Widjaksono.

Kendati Sumartono tidak ingin para Tionghoa yang menjadi legislator, atau 
parpol siapapun yang memasang etnis itu di daftar calon legislatornya, hanya 
untuk menarik massa konstituen dari kalangan mereka. "Jangan sampai salah 
pilih. Sebab, kalau salah pilih nanti nama kita (etnis Tionghoa) yang akan kena 
getahnya," lanjut Sumartono, yang juga aktif di Palang Merah Indonesia (PMI) 
Solo dan SAR Solo.

Sebab, baik Haswanto, Sumartono, dan teman-temannya mengakui bahwa tidak semua 
etnis Tionghoa itu baik. Namun, jika ada etnis Tionghoa yang berbuat buruk, 
tindakan gebyah uyah (penyamarataan) langsung mencuat dan menimbulkan efek yang 
buruk.

"Contohnya, waktu kerusuhan etnis di Solo pada 1980-an. Memang saat itu ada 
etnis kami yang ribut dengan warga setempat. Tapi, kenapa setelah itu kami 
semua etnis Tionghoa disalahkan. Itu yang kami tidak ingin terjadi lagi. Sebab, 
etnis kami jauh lebih banyak yang baik dan bisa membaur," sergah Haswanto, yang 
juga aktif di Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Solo.

Mereka pun menginginkan pembauran yang akan membuat etnis Tionghoa bisa lebih 
diterima seperti di kota-kota lain. Seperti, bupati Belitung dan wali kota 
Singkawang, yang masih keturunan Tionghoa. Menurutnya, itu memerlukan jalan 
panjang dari proses pembauran dan tidak bisa dipaksakan.

Wymbo menambahkan bahwa kecemburuan kepada etnis Tionghoa yang dianggap 
menguasai perekonomian juga anggapan keliru. Sebab, etnis Tionghoa selama orde 
baru didiskriminasi sedemikian rupa. Hanya berdaganglah satu-satunya bidang 
yang bisa mereka tekuni dengan diskriminasi minimal. 

"Karena (etnis) kami hanya fokus di bidang itu, maka kami pun sukses. Namun, 
kami kan tidak bisa bergerak di bidang lain sebelum reformasi. Ketika kami 
setelah kerusuhan bisa membangun lagi, itu kan karena (tempat usaha itu 
dijamin) asuransi," jelas Wymbo.

Kini, Wymbo memang melihat ada perubahan cukup signifikan dari iklim investasi 
di Solo, khususnya di mata etnis Tionghoa. Pemerintah daerah setempat sudah 
cukup akomodatif akan investasi. Kendati, dia masih merasakan hambatan yang 
sebenarnya juga dirasakan oleh investor-investor lain yang akan masuk ke Solo, 
selain dari kalangan Tionghoa.

"Iklim investasinya sudah baik, tapi begitu gedung-gedung untuk usaha itu 
dibangun, ada penolakan-penolakan dari warga sekitar. Akhirnya, pembangunan itu 
gagal," ujar Wymbo, sambil menyebut beberapa contoh investasi besar yang gagal, 
hampir gagal, dan sedang dalam pertentangan dengan kalangan warga tertentu.

Kendati demikian, Wymbo tetap ingin diskriminasi-diskrimasi seperti itu lambat 
laun semakin hilang. Kendati, dia tidak setuju untuk menggembar-gemborkan 
jargon pembauran dan asimilasi, seperti yang pernah dilakukan orde baru. 
"Pembauran itu pasti berlangsung, tapi pelan-pelan dan tidak usah dipaksakan. 
Ibaratnya, seperti ilmu ekonomi, ikuti hukum pasar saja," tandasnya. 

Maka, PMS saat ini terus bergerak membawa gerbong kepedulian sosialnya untuk 
membantu sesama di Solo. "Prinsip kami, jangan membantu sekian juta rupiah, 
tapi diumumkan besar-besaran. Kalau mau membantu, yang diam-diam saja, tidak 
usah gembar-gembor," nasehatnya. (*)


 
 
 
 http://jawapos.com/
 
 
 
 
 
  
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke