Menyambut Hari Departemen Agama 3 Januari 2009 

Skandal Korupsi di ''Lembaga Suci'' 

Dugaan penyalahgunaan uang negara kembali mencuat ke permukaan. Tidak 
tanggung-tanggung, kali ini tersangkanya adalah Departemen Agama (Depag). 
Departemen yang membidangi seluruh persoalan keagamaan di tanah air. 

Karena segala urusan Depag terkait dengan keagamaan, tak pelak departemen itu 
disebut sebagai ''lembaga suci''. Namun, dugaan kasus korupsi dana abadi umat 
(DAU) telah menodai kesucian lembaga yang tentunya dihuni orang-orang suci yang 
paham dan mengerti segala persoalan keagamaan tersebut.

Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan bahwa telah terjadi penyelewengan 
DAU sebesar Rp 1,3 triliun dalam kurun 2004-2005. Dana sebesar itu tidak pernah 
dilaporkan secara rinci kepada DPR.

ICW merinci bahwa ada laporan dana ke menteri agama dalam tiga bentuk. Yakni, 
tunjangan fungsional (Rp 10 juta), tunjangan Idul Fitri (Rp 25 juta), dan biaya 
taktis perjalanan dinas Menag ke Arab Saudi sebesar USD 5 ribu (Jawa Pos 
28/12/08).

Lebih jauh, ICW menemukan praktik kotor yang meliputi pemberian uang perjalanan 
kepada anggota DPR dan transpor pembahasan biaya penyelenggaraan ibadah haji 
(PBIH) yang mencapai Rp 500 miliar. Padahal, gratifikasi kepada anggota DPR 
dinilai salah karena diambil dari BPIH. Sementara untuk penyelenggara haji 
2005-2006 saja, potensi korupsi mencapai Rp 100 miliar.

Jika terbukti, tentu dugaan kasus korupsi yang dibeberkan ICW tersebut akan 
semakin menambah daftar hitam kasus korupsi di jajaran Depag. Pada 2003, kasus 
yang sama menimpa Menag Said Aqil Husein al-Munawar yang akhirnya menggiringnya 
ke tahanan. 

Ironis memang. Sebagai sebuah lembaga suci, ternyata praktik kotor kerap 
terjadi. Kasus penyelewengan dana ibadah haji seperti sudah menjadi kelaziman 
karena penyelenggaraan haji murni monopoli Depag sebagai regulator dan 
eksekutor.

Kasus penyelewengan dana ibadah haji hanyalah satu bagian dari berbagai kasus 
korupsi di Depag. Hasil audit Inspektorat Jenderal (Itjen) Depag mulai 2002 
hingga Mei 2006, terdapat 5.184 kasus dengan penyimpangan Rp 15,2 miliar. 
Rinciannya, Rp 5,75 miliar kasus di Depag pusat; Rp 5,52 miliar di 
kanwil-kanwil; serta Rp 3,23 miliar di UIN dan IAIN. Di antara sekian kasus, 
sudah 2.745 kasus yang ditindaklanjuti senilai Rp 9,4 miliar (Analisa, 
26/05/06).

Tidak Berkorelasi 

Depag adalah lembaga pemerintah yang kedudukannya sama dengan 
departemen-departemen lain. Jadi, kasus apa pun bisa saja terjadi di Depag, tak 
terkecuali kasus korupsi. Namun, citra Depag sebagai ''lembaga suci'' sangat 
kental dalam pikiran masyarakat. 

Dengan demikian, Depag merupakan harapan masyarakat sebagai lembaga yang mampu 
memberi teladan bagi yang lain untuk meminimalkan kasus korupsi.

Dalam kaitan ini, tidak ada korelasi sama sekali antara lembaga dengan perilaku 
orang-orang di dalamnya. Yang mungkin terjadi adalah korelasi antara keimanan 
seseorang dengan perilakunya dalam kehidupan. Secara sederhana, semestinya 
terdapat korelasi positif antara keimanan seseorang dengan tindak dan perilaku 
seseorang. Singkatnya, seseorang yang tingkat keimanannya tinggi tidak akan 
bertindak dan berperilaku kotor dalam kesehariannya.

Jika kita telusuri kembali, teori itu selalu terbantah oleh praktik berbagai 
kasus korupsi di Indonesia. Satu tahun ini, kita selalu dihadapkan pada kasus 
korupsi yang dilakukan para elite politik dengan latar belakang partai agama. 

Tidak jarang pula korupsi dilakukan oleh mereka yang memiliki basis keagamaan 
bagus. Koruptor pun kadang tidak segan menyumbang kegiatan-kegiatan keagamaan 
dengan hasil uang korupsi. 

Korelasi positif antara keimanan dengan perilaku sebenarnya tetap terjadi. 
Hanya, yang kita saksikan sejauh ini, perilaku seseorang tidak pernah 
didasarkan pada keyakinan terhadap agama (baca: keimanan). 

Seseorang yang mengerti agama sejauh ini hanya menjadi pengetahuan belaka dan 
bukan tindakan. Agama yang dipahami selama ini hanya ada pada ranah kognitif 
(pengetahuan), tidak pada ranah afektif (sikap).

Terlepas dari itu, korupsi sebenarnya merupakan permasalahan penyakit budaya 
yang sangat akut, sehingga praktik-praktik korupsi sering menjadi kelaziman 
yang enggan dilewatkan. Para koruptor sebenarnya juga menyadari bahwa hal 
tersebut akan berdampak negatif, namun uang telanjur dihadapkan. 

Memperbaiki 

Depag tercatat sebagai salah satu di antara empat departemen terkorup di 
Indonesia. Tiga lainnya adalah Diknas, Depkes, dan Bank Indonesia (BI). Sebagai 
departemen yang merepresentasikan citra agama di Indonesia, berbagai kasus 
korupsi yang terjadi merupakan ''PR'' yang harus segera diselesaikan.

Keterpurukan Depag dalam berbagai kasus korupsi semakin memupus harapan 
masyarakat bahwa korupsi mampu dihapuskan di negeri ini. Bahkan ''lembaga 
suci'' seperti Depag pun gagal membersihkan dirinya dari korupsi.

Sukron Ma'mun, peneliti di Tsaqifa Institut for Ecosoc Rights, Jogjakarta 
http://jawapos.com/

 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
 
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke