http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=3906

2009-01-16 
Pemilih, Parpol, dan Pemimpin Politik


John Haba 

Pada April dan Oktober 2009, bangsa Indonesia akan memasuki dua peristiwa 
politik penting, terutama untuk masa depan negeri ini. Pemilihan anggota 
legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden akan menghabiskan banyak dana, 
daya, dan waktu. Tiga komponen penting dalam proses "pesta politik" bersejarah 
ini, yakni: para pemilih, partai politik, dan pemimpin partai. 

Jumlah pemilih pada Pemilu 2009 diperkirakan 174.410.453 jiwa. Sedangkan jumlah 
partai politik 34, merupakan bencana politik tersendiri dalam sejarah pemilihan 
umum di Indonesia, sejak 1955. Dengan jumlah partai politik sebanyak itu dan 
visi/misi yang tidak terlalu berbeda akan menempatkan para pemilih pada posisi 
sulit. Jumlah partai politik dengan latar belakang pemimpin yang sebelumnya, 
berasal dari partai-partai politik sebelumnya, segera menimbulkan pertanyaan, 
apakah motivasi di balik itu? 

Jumlah pemilih dengan keberadaan 34 partai politik akan membuat para pemilih 
kebingungan. Isu krusial adalah sampai berapa jauh para pemilih memahami dengan 
benar visi dan misi setiap partai politik, terkecuali partai-partai besar, 
seperti Golkar, PDI-P, dan PKB. Para pemilih sangat bergantung pada dua hal 
pokok, yakni isu dan tokoh. Isu-isu yang selama ini ditawarkan tidak banyak 
berbeda dari satu partai ke partai lainnya. Isu kemiskinan, pengangguran, 
lingkungan, pendidikan, dan ekonomi dibentangkan bagaikan slogan kosong dan 
sulit mengukur bagaimana program-program partai itu dapat diimplementasikan dan 
diukur. 

Apabila para pemilih jeli dan mencerna berbagai program partai politik, maka 
akan timbul keragu-raguan untuk memilih. Program partai yang menjanjikan 
lapangan pekerjaan dan pendidikan gratis, membangun keraguan meluas di kalangan 
masyarakat. Sebab, mungkinkah pendidikan bermutu diraih tanpa modal dan biaya 
besar? Mungkinkah tersedia lapangan pekerjaan saat krisis finansial global 
menerpa, termasuk Indonesia yang akan menghadapi periode sulit, yang 
diperkirakan mulai Februari 2009?

Diiming-iming oleh berbagai janji lewat iklan, dibingkai tebar pesona di 
berbagai media cetak dan elektronik, kebijakan populis, iklan-iklan politik 
itu, kemudian menjadi jenuh pada dirinya dan berbenturan dengan realitas sosial 
saat ini, ketika kebutuhan pokok seperti gas, minyak tanah, dan kesempatan 
menikmati pendidikan semakin minim. Kenyataan hidup yang getir itu berdampak 
pada para pemilih, sehingga berlaku semboyan "nikmati iklannya, dengar 
janjinya, ambil uang dan bantuannya, tetapi ingkari hari pencoblosan". Semboyan 
itu sudah menjadi indikator tentang kejenuhan berpolitik di Tanah Air, suatu 
ketidakberuntungan sejarah, sebab kendala finansial global, perilaku para 
pemimpin, dan tingkat korupsi yang sulit diberantas. 


Reformasi

Aroma reformasi tidak selalu menaburkan bau sedap politik bagi para pejuang 
demokrasi, apalagi untuk masyarakat. Kebebasan berekspresi secara politik, 
didukung oleh Undang-Undang No 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang No. 10 Tahun 
2008 tentang "Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD", ikut memperbanyak jumlah 
partai politik di Indonesia. Tetapi, tengoklah visi, misi, dan 
program-programnya, maka para pemilih yang sadar politik akan dapat menerka 
arah setiap partai politik. Isu besar, seperti pengangguran, kemiskinan, 
pendidikan, dan lingkungan, menjadi tantangan mahaberat bagi para pemimpin 
partai politik untuk mewujudkan janji-janji kampanye mereka.

Eksistensi partai politik di Indonesia, saat ini, dapat dikategorikan dalam 
empat faktor. Pertama, partai-partai politik yang dibangun atas platform 
transparan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat, dan memiliki visi, misi 
serta program yang terukur. Kedua, partai-partai politik yang timbul sebagai 
akibat dari krisis internal yang terjadi pada tubuh partai yang sebelumnya, 
atau karena faktor kepemimpinan, perbedaan visi dan konflik internal para 
pengurus. Ketiga, kehilangan kepercayaan pada kinerja partai politik pemenang 
Pemilu 2004 dan hasrat menjadi tokoh terdepan dengan melepaskan diri dari 
kungkungan pengaruh pemimpin partai sebelumnya. Keempat, kekecewaan terhadap 
kinerja pemerintah (incumbent leaders) yang terlalu diharapkan, tetapi 
kenyataan membuktikan hal yang antagonistik. Hasrat untuk mengubah itu 
mendorong terbentuknya partai-partai baru, yang kalau ditilik kontens 
filosofinya, tampak setali tiga uang dengan partai politik lainnya.

Kinerja anggota DPR periode 2004-2009 yang mengecewakan rakyat, dapat dijadikan 
indikator bagi pemilih untuk memilih atau tidak memilih, sebab tidak akan 
banyak perubahan pada kualitas hidup masyarakat, dari pesta demokrasi bernilai 
triliunan rupiah itu.


Internal Partai 

Hal untuk menjadi pemimpin dan membentuk partai politik diatur dalam 
perundang-undangan dan wewenang internal partai untuk menentukan siapa 
pemimpinnya. Sejumlah pemimpin partai (baru), saat ini, berasal dari 
partai-partai utama seperti Golkar, PDI-P dan PKB. Serta-merta timbul 
pertanyaan, benarkah para pemimpin itu memiliki political capacity yang teruji 
untuk membangun negeri ini agar lebih baik ataukah karena frustrasi dan 
minimnya peluang pada partai sebelumnya. Terpancing dengan tawaran dari 
masyarakat dan berlimpahnya dana; mendorong munculnya para pemimpin partai 
politik baru, yang track record-nya berbagai bidang diragukan. 

Mencermati berbagai faktor yang berkaitan dengan faktor pemilih, yang rentan 
dan akan terjadi swinging and floating voters, duplikasi partai politik dalam 
program, visi dan misi, serta para tokoh di balik setiap partai politik (baru), 
membuat terpecahnya konsentrasi pemilih, sehingga hasil pemilihan legislatif 
akan sangat bervariasi dan tidak akan muncul pemenang mayoritas. Pemilih masih 
akan tertarik pada figures daripada program atau isu-isu yang dijual. 

Menurut Blondel (1963:84): Images are also associated with some general 
economic and social notions, such as "Welfare State", "full employment" in the 
past, free enterprise and now often "nationalization. They are also influenced 
by leadership and party dynamism". Kita lihat saja apa hasilnya nanti dalam 
pemilihan legislatif, April, dan pemilihan presiden, Oktober 2009, mendatang.


Penulis adalah peneliti PMB-LIPI, Jakarta

Kirim email ke