Refleksi: Benarkah Kejaksaan Itu Bersih.. Ayo Buktikan kalau bersih

Setelah Tanker, Apa Lagi?
BUKAN hanya kasus tanker Pertamina yang mendapat surat perintah penghentian
penyidik­an (SP3) di era Jaksa Agung Hendarman Supandji. Di atas meja
Hendarman, saat ini setidaknya masih ada dua kasus lagi yang
direkomendasikan dihentikan penyidikannya, yakni kasus korupsi Export
Oriented Refinery (Exor) I Pertamina Balongan dan dugaan korupsi dana PT
Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) dengan tersangka
Tan Kian.

Kasus Exor, yang melibatkan mantan Menteri Pertambangan dan Ener­gi
Ginandjar Kartasasmita, dipastikan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana
Khusus Marwan Effendi segera diteken SP3-nya. "Kasusnya su­dah kedaluwarsa,"
ujar Marwan, Rabu pekan lalu, kepada Tempo.

November silam, Kejaksaan Agung juga sudah menerbitkan SP3 ­untuk kasus
dugaan korupsi Badan Pe­-nyang­ga dan Pemasaran Cengkeh. Dengan turunnya
perintah ini, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto pun lepas dari
status tersangka.

Kejaksaan menghentikan penyidikan perkara ini lantaran Badan Penyangga dan
Pemasaran Cengkeh dianggap sudah mengembalikan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia sebesar Rp 759 miliar berikut ­bunganya. Pengembalian ini
menggugurkan du­gaan adanya kerugian negara dalam kasus tersebut.
Sebelumnya, putra Soeharto ini dijerat dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Korupsi.

Adapun kasus Balongan, yang menyeret Ginandjar, terjadi pada 1989, dan
dinilai membuat duit negara menguap sekitar Rp 2,2 triliun. Ginandjar
dianggap bertanggung jawab karena, antara lain, berperan dalam mengegolkan
proyek yang belakangan diduga penuh markup itu.

Menurut Marwan, Kejaksaan segera menutup kasus ini karena, se­suai dengan
Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, masa kedaluwarsa kasus yang
ancaman hukuman pidananya tiga tahun atau lebih adalah 12 tahun. Adapun jika
ancaman hukumannya pidana seumur hidup atau mati, masa kedaluwarsa­nya 18
tahun. Nah, menurut Marwan, Ginandjar tidak diancam pidana se­umur hidup
atau hukuman mati. Bahkan, ujar Marwan, seandainya diancam dengan hukuman
maksimal itu pun, kasus ini tetap sudah kedaluwarsa (Tempo, 11 Agustus
2008).

Perkara ini menjadi kedaluwarsa lantaran permintaan Kejaksa­an kepada Markas
Besar TNI ­untuk membentuk tim koneksitas, guna meme­riksa anggota TNI yang
terli­bat dalam kasus pidana, tidak turun. Sampai kini satu-satunya yang
mendekam di bui lantaran kasus ini adalah Tabrani Ismail, mantan Direktur
Pengolahan Pertamina. Tabrani, yang sempat jadi buron, dihukum enam tahun
penjara dan dikenai denda Rp 30 juta.

John Waliry, pengacara Tabrani, menyatakan pihaknya keberatan jika Kejaksaan
mengeluarkan SP3 untuk kasus Balongan. "Keterlibatan Ginandjar itu kuat. Dia
yang menentukan angka patokan penawaran," tuturnya. O.C. Kaligis, pengacara
Tabrani lainnya, meminta KPK mengambil alih kasus ini.

Adapun soal Tan Kian, "lampu hijau" sudah dinyalakan oleh Marwan sejak
beberapa bulan lalu. Tan Kian, pengusaha properti, menjadi tersangka dalam
kasus Asabri. Kasus ini sudah memakan dua korban: mantan direktur utamanya,
Mayor Jenderal (Purnawirawan) Subarda Midjaja, dan pengusaha Henry Leo.
Keduanya dianggap bersekongkol menggangsir duit prajurit TNI di kas PT
Asabri dengan nilai sekitar Rp 410 miliar. Keduanya divonis masing-masing
empat tahun penjara. Tan Kian dijadikan tersangka lantaran diduga ikut
menikmati duit Asabri US$ 13 juta untuk proyek propertinya.

Kepada wartawan, Jaksa Agung Hendarman tak membantah—ataupun
mengiyakan—bakal ­keluarnya SP3 untuk Tan Kian. Menurut Hendarman, soal Tan
Kian kini memang menunggu putusan Mahkamah Agung atas kasasi yang diajukan
Henry Leo. "Karena ini menyangkut alat bukti," ujar Hendarman.

Alat bukti dimaksud tak lain duit US$ 13 juta yang dikembalikan Tan Kian
kepada Henry Leo dan kini sudah berada di rekening Kejaksaan. Jika kasus
dihentikan, kata Hendarman, uang itu harus dikembalikan. Sedangkan dalam
kasus Henry Leo, uang itu merupakan barang bukti.

Albab Setiawan, pengacara Henry Leo, menyayangkan rencana Kejaksaan Agung
menghentikan penyidikan terhadap Tan Kian. Rencana institusi pengacara
negara itu dinilainya terlalu gegabah. Seharusnya, ujar Albab, penghentian
penyidikan sebuah kasus korupsi diputuskan secara transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan. "Dia harus di­uji publik dulu," tuturnya.

Uang sebanyak US$ 13 juta yang dikembalikan Tan Kian pun, kata Albab, tidak
otomatis menghapus pidana yang disangkakan. Sebab, ujarnya, perbuatan
pidananya sudah terjadi. "Jadi, ini sungguh tidak adil buat klien saya."

Marwan membantah ­anggap­an bahwa keputusan menghentikan pe­­nyidikan dibuat
secara tidak trans­paran. Menurut dia, gelar per­ka­ra dengan penyidik sudah
dilakukan sebelum keputusan diambil. Menurut dia, penghentian penyidikan,
apalagi untuk kasus besar, memang akan menuai kritik dan ketidakpercayaan
masyarakat. "Tapi, kalau memang tidak terbukti, ya, harus dihentikan,"
ujarnya. "Saya tidak ragu-ragu."

Peneliti hukum Indonesian Corruption Watch, Febri Diansyah, menilai
Kejaksaan terlalu buru-buru menghentikan sebuah kasus untuk kemudian diberi
"hadiah" SP3. Karena itulah, menurut Febri, untuk kasus korupsi besar yang
menyangkut pejabat publik atau negara, sebaiknya memang ditangani Komisi
Pembe­rantasan Korupsi. "Bukannya saya ragu pada kapabilitas Kejaksaan, tapi
komitmen mereka itu," katanya.

Anne L. Handayani, Rini Kustiani, Ismi Wahid
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/02/09/HK/mbm.20090209.HK129461.id.html
51/XXXVII 09 Februari 2009


-- 
**********************************
Memberitakan Informasi terupdate untuk Rekan Milist dari sumber terpercaya
http://reportermilist.multiply.com/
************************************

Kirim email ke