http://www.riaupos.com/main/index.php?mib=berita.detail&id=279
Sabtu, 14 Februari 2009 , 07:32:00 Provinsi Tapanuli: Gugat Mindset Kolonial. Oleh Bersihar Lubis JANGAN-jangan akar persoalannya adalah pendekatan pembangunan yang terlalu berorientasi urban, alias perkotaan. Kajian kecil itulah, yang saya diskusikan dengan beberapa rekan di Medan, setelah hampir dua pekan tragedi unjuk rasa menggugat Provinsi Tapanuli (Protap) yang berujung anarkis dan menelan jiwa Ketua DPRD Sumatera Utara, Abdul Azis Angkat. Fenomena ini tidak khas Sumatera Utara (Sumut). Terjadi juga diberbagai belahan tanah air, walau bukan generalisi. Secara kasat mata saja, Medan sebagai ibukota Sumut lebih maju dibanding berbagai ibukota kabupaten dan kota di provinsi itu. Bak antara langit dan bumi. Gambaran janus itu, yang satu tertawa dan lainnya menangis, akan kelihatan jika Anda membandingkan Jakarta dan kota-kota provinsi dengan wajah kabupaten-kota di seluruh Indonesia. Bila spektrum pembahasan diperlebar, secara langsung maupun tak langsung, sesunguhnya pengaruh dan peranan negara maju yang mengoperasikan sistem neoliberalisme di Indonesia sangat berperan, baik semasa zaman penjajahan dulu maupun di era globalisasi ini. Barangkali, teori ketergantungan dari Andre Gunder Frank dapat pula dijadikan rujukan agar bisa melihat kasus ini dengan jernih. Syahdan, kota Medan yang berdiri pada 1 Juli 1590 dibangun penjajah Belanda demi kepentingan mereka. Faktor kepentingan itu masih berlangsung sampai sekarang walaupun tak lagi dimonopoli Belanda sendirian. Berbagai infrastruktur, seperti jalan, jembatan, bank, kereta api, pelabuhan laut dan udara dibangun demi bisnis kaum penjajah untuk mengangkut hasil bumi dan perkebunan kita ke benua-benua asing. Bolehkah kita sebut bahwa kota-kota besar telah berperan sebagai ''mesin keruk'' segenap surplus ekonomi dari hintherland (daerah belakang)? Bayangkan saja betapa kayanya importir karet di luar negeri dibanding eksportir karet di ibukota provinsi, apalagi jika dibandingkan dengan petani karet di pedesaan. Tetapi kemajuan kota-kota besar juga harus dilihat secara kritis. Sibolga di pantai barat Sumut yang pernah makmur di masa penjajahan, tak lain karena beroperasinya armada kapal niaga dari dan ke Eropa mengangkut karet serta mendistribusikan tekstil, roti, susu dan sebagainya. Kemakmuran pun menjalar ke Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan, karena Sibolga dibangun Belanda sebagai pusat ''mesin keruk'' dan bandar ekspor. Namun beberapa tahun setelah Belanda pergi, Sibolga dan daerah belakangnya pun sepi dari perdagangan internasional. Daerah-daerah inilah, Sibolga, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Dairi dan beberapa kabupaten lainnya yang merupakan cikal bakal Protap. Kehendak mendirikan provinsi baru juga terdengar dari beberapa kabupaten dan kota dibekas Tapanuli Selatan. Mereka menamainya Provinsi Sumatera Tenggara. Termasuk Pulau Nias di Samudera Indonesia yang kini sudah menjadi dua kabupaten berkeinginan pula menjadi provinsi baru. Sebelumnya, kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah yang tadinya bergabung dengan Protap kemudian memisahkan diri, dan meluncurkan wacana Provinsi Tapanuli Barat. Jika pun Kabupaten Labuhanbatu di Sumut nyaris tak tersentuh krisis moneter dan ekonomi pada 1997-1998, tak lain karena dolar menguat sampai Rp17.500, sementara permintaan CPO kian deras sehingga banyak petani di sana membeli mobil ramai-ramai. Asal tahu saja, Labuhanbatu yang sekarang terdiri dari beberapa kabupaten juga telah meluncurkan wacana menjadi provinsi baru, yang bergabung dengan Kabupaten Asahan dan Kota Tanjungbalain. Sekarang harga CPO perlahan membaik. Diyakini, cepat atau lambat badai pasti berlalu. Namun karena faktor ketergantungan yang besar, Indonesia akan selalu bergolak jika badai eksternal bertiup lagi. Kita tak akan pernah menjadi bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri. *** Inti persoalannya, cara berfikir kolonial Belanda yang menempatkan kota provinsi di Indonesia sebagai pusat eksplotasi haruslah dibongkar. Tidak seperti selama ini, kota provinsi dikenal sebagai pusat segala-galanya, mulai dari pendidikan, politik, sosial, kebudayaan, perekomian dn sebagainya, yang otomatis menyedot urbanisasi. Akibatnya, kabupaten dan kota di daerah semakin tertinggal, sebuah gejala yang terjadi di banyak provinsi di Indonesia. Kota-kota provnsi tak semestinya memposisikan kabupaten/kota sebagai satelit semata. Salah satunya, dengan membangun basis industri otonom, katakanlah industri hilir berbahan baku komoditas sesuai potensi masing-masing yang menyebar diberbagai kabupaten. Cara ini secara persuasi akan memutus ketergantungan kepada importir di luar negeri. Dengan mengekspor barang jadi, posisi bargaining produk industri hilir kita semakin tinggi. Kita menjadi pengendali harga pasar, dan bukan dikendalikan, seperti selama ini. Mungkin, inilah yang disebut dengan economic geography. Tapi tidak dalam gambaran Paul Krugman tentang konsentrasi populasi dan bisnis umum Los Angeles, atau jenis bisnis tertentu di Silicon Valley, Amerika Serikat. Tetapi bertebar, di berbagai kabupaten di Indonesia sesuai potensi dan kelayakan bisnisnya. Peta multi pusat pertumbuhan diberbagai daerah di luar ibukota provinsi itu tentu saja harus menyiapkan suasana yang memungkinkan increasing returns bagi pebisnis. Misalnya, tersedianya infrastruktur memadai, sehingga ongkos transport menjadi efisien. Jaringan jalan tol mestilah dibangun seperti jaringan jalan tol di Jawa. Inilah yang mendorong urbanisasi ke multi pusat pertumbuhan yang tak hanya terkonsentrasi di kota provinsi. Urbanisasi yang menyebar akan mendorong penyebaran pertumbuhan yang diikuti oleh penampungan tenaga kerja dan penanggulangan kemiskinan yang menyebar pula. Dengan demikian, economic geography pun semakin menyebar. Kita terbebas dari mindset kolonial yang membangun kota provinsi hanya untuk kepentingan mereka. Pusat bisnis di AS juga bukan ibukota Washington, melainkan New York dan Los Angeles. Canberra hanya sekedar pusat pemerintahan Australia, sementara pusat bisnis adalah Sydney. Jika kondisi itu sudah tercipta, percayalah ide pembentukan provinsi baru otomatis akan redup sendiri. *** Bersihar Lubis, Wartawan Senior tinggal di Medan