http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6857:sekali-lagi-hukum-sebagai-panglima-keadilan-&catid=78:umum&Itemid=131


      Sekali Lagi, Hukum sebagai Panglima Keadilan  
      Oleh : Pdt. Sumurung Samosir, STh 



      Kita dapat melihat teramat banyak kasus di negeri ini yang 
mempertontonkan kebijakan hukum yang mencederai rasa keadilan. 

      Keadilan seolah bukan menjadi bagian dari penegakan hukum. Hukum 
dijalankan di atas segenap kekuatan uang, otot, dan kuasa. 

      Banyak fakta yang menunjukkan pengadilan bukan tempat yang baik untuk 
berburu keadilan. Upaya hukum dalam rangka mewujudkan kemakmuran masyarakat 
terkendala karena pengadilan sering terjebak pada ragam permainan kekuasaan dan 
kepentingan. Pengadilan tidak selalu mencerminkan tanggung jawab untuk menjadi 
penjaga nurani dan pintu gerbang keadilan. 

      Jika keadilan sering dicederai, lambat laun akan kehilangan martabatnya. 
Martabat hukum tidak berdaya menghadapi kuasa kegelapan yang menyelimuti wajah 
peradilan. Hukum hanya menjadi barang mainan dan kehilangan hal yang mendasar: 
rasa keadilan.  Prinsip dasar negara yang berdiri di atas prinsip rechstaat 
(negara hukum) dan bukan machstaat (negara politik) tidak bisa berjalan. Intrik 
politik melalui tangan-tangan kekuasaan selalu jauh lebih kuat. Termasuk untuk 
menciptakan keputusan-keputusan hukum.

        Tujuan hukum dalam masyarakat modern adalah untuk memakmurkan 
masyarakatnya, bukan memecah-mecahnya di mana hanya wong cilik bisa dikenai 
proses keadilan yang maharumit, sementara wong gedhe bisa mempermainkan hukum. 

      Luka dalam rasa keadilan yang terjadi dalam berbagai kasus di negeri ini 
merupakan cermin dari gagalnya bangsa ini membangun keadaban hukum. Juga 
berarti sebagai kegagalan pemimpin untuk menjaga amanat penegakan nilai dan 
rasa keadilan. Sudah begitu lama keadilan menjadi barang yang mudah 
dipermainkan kekuasaan dan uang. Martabatnya jatuh ke titik paling rendah. 
Sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini.

      Keadilan tidak untuk semua, namun untuk sebagian kecil saja. Hukum dan 
keadilan bukan saja bagaikan saudara tiri yang jauh, melainkan sering seperti 
musuh. Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya kekuatan lain (kuasa, 
otot, dan uang) yang menceraikannya. Keadilan di negeri ini amat langka 
diperoleh karena keadilan tidak pernah menjadi bagian dari cara berpikir, 
berperilaku, dan berelasi para penguasa dan penegak hukum kita. Perilaku mereka 
lebih mengutamakan kekuasaan dan popularitas. 

      Rakyat memperoleh pendidikan utama tentang keadilan di negeri ini adalah 
sebuah bayang-bayang kamuflase. Para penguasa dan penegak hukum kita tidak 
memiliki gugus insting yang melahirkan cakrawala kekuasaan yang mengedepankan 
rasa keadilan bagi semua. Hukum tak lagi bermartabat karena mereka yang 
bermartabat hanyalah mereka yang berkekuasaan dan berkekayaan. Hukum sering 
kali hanya pajangan dan retorika pasal-pasal.  

      Di depan cengkeraman kekuasaan dan "orang kuat", hukum tidak lagi 
memiliki taring. Hukum tumpul akibat banyak macam sebab. Hukum mandul karena 
kepandaiannya hanya menginjak ke bawah dan mengangkat yang atas. Hukum belah 
bambu telah mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini. Itulah perilaku yang 
menghancurkan martabat hukum Indonesia dan martabat kita sebagai bangsa. 
Tragedi itu bisa jadi akan makin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum 
bangsa kita. Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai negara hukum 
sering kali hanya sebagai pemanis mulut. 

      Apa yang kita kenal sebagai kedaulatan hukum adalah deretan kepalsuan 
demi kepalsuan. Keadilan tidak termanifestasi dalam kenyataan. Kenyataan yang 
termanifestasi di bumi kita ini adalah kekuatan, otot, kekuasaan, uang, dan 
segala hal yang berkomparasi dengannya. Hukum dan keadilan bagaikan dua sisi 
mata uang. Didamba selalu berdekatan, tapi tak pernah menyatu. Keduanya 
menghadap sisi-sisi yang lain dari realitas hidup warga. Keadilan hanya alat 
untuk memaniskan realitas kehidupan yang demikian pahit. Ironis sebab hukum dan 
keadilan merupakan (sekadar) hiburan bagi rakyat kecil. Litani jeritan 
kekecewaan dan kesedihan. 

      Tipu daya hukum ditegakkan di atas prinsip-prinsip keadilan sosial. Hukum 
juga harus memegang teguh apa yang disebut sebagai kesederajatan (equality) dan 
menghindari diskriminasi. Hukum mengemban misi kemanusiaan dan ingin 
menciptakan proses yang berperikemanusiaan.  Kita semua hidup sedang menuliskan 
sebuah sejarah. Baik-buruk, benar-salah, tegas, dan plin-plannya sebuah catatan 
sejarah masa mendatang berawal dari semua tindakan kita hari ini. Sekali 
lancung ke ujian, seumur hidup orang tak akan percaya. 

      Dengan terus-menerus menggerus rasa keadilan, kita akan mengulang proses 
penyejarahan yang gelap. Bahwa hukum ditegakkan bukan karena prinsip keadilan 
sosial. 
      Di negara yang mengagungkan hukum sebagai payung (rechstaat), imunitas 
terhadap hukum tidak berlaku. Semua berkewajiban dan berhak sama. Semua 
kesalahan harus diadili dengan cara seadil-adilnya. Itu cara mengembalikan 
martabat hukum.

        Yang sedang dipertontonkan hari ini adalah bagaimana hukum tumpul 
menghukum para orang kuat, mantan pejabat, dan koruptor, tapi tajam beringas 
menghukum kelas teri.  Maling ayam mendapatkan hukuman bertimpal-timpal, tetapi 
koruptor kelas kakap justru  mendapatkan kesempatan menikmati karpet merah. 
Kesederajatan dalam hukum mulai dipunahkan sikap arogan kekuasaan dan cara-cara 
tipu daya. Karena kekuasaan dan uang yang menjadi acuan, maka kita tak sanggup 
untuk melihat hati nurani. Karena kekuasaan yang menentukan hitam-putih hukum, 
maka mata hati kita tumpul. Keadilan sosial yang ingin ditegakkan lalu 
diabaikan. 

      Tepat apa yang dikatakan dalam pepatah, candida de nigris qui facere 
assuerat candida de nigris et de candentibus atra (yang menjahitkan dari kain 
yang hitam menjadi putih dan dari kain yang mengilat menjadi suram). Kita 
mengambil pelajaran dari pepatah tersebut, celakalah mereka yang mengubah 
kegelapan menjadi terang dan mempermainkan yang terang menjadi kegelapan. Roh 
keadilan tak mungkin dipadamkan kata-kata manis dan tipuan-tipuan politik. 

      Jangan patah hati, yang gelap suatu ketika pasti terang dan yang terang 
tidak akan selamanya bisa diubah menjadi gelap. Tinggal langkah konkret para 
aparat berwenang apakah masih "bersedia" membuka tabir kegelapan yang 
berselimut asap tebal itu. 

      Kita menantikan fajar keadilan dan kemanusiaan menjadi pilihan dalam 
kebijakan yang benar dalam menentukan masa depan bangsa ini. Harapan itulah 
yang dinantikan kita semua sebagai anak bangsa yang merindukan Indonesia pada 
masa depan dalam keadaan yang terang. Semoga keadilan masih berpihak kepada 
yang tertindas.***

      Penulis adalah: Pendeta HKBP dan Aktif di NGO Nasional dan Internasional 
     

Kirim email ke