Refleksi: Mungkin sengaja dibuat demikian agar tidak bisa dipastikan kemana dipergikan hutang tsb. Bukankah sebahagian besar penguasa NKRI didominasi oleh tukang catut berdasi ganteng, jadi bukan aneh bin ajaib kalau rakyat tetap dibebani hutang luarnegeri tujuh turunan. Dirgahayu NKRI.
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0902/19/sh06.html Soal Utang Luar Negeri Catatan BI, Depkeu, dan Bappenas Berbeda Jakarta - Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkaitan dengan pengelolaan utang luar negeri menyebutkan bahwa catatan utang luar negeri berbeda antara Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Bappenas. Di samping melakukan upaya pencegahan, KPK juga tengah menelusuri dugaan tindak pidana korupsinya. Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar menjelaskan kepada SH, Kamis (19/2) pagi. "Itu aneh catatan di BI, di Depkeu dan di Bappenas kok berbeda-beda, seharusnya kan sama," kata Haryono Umar. Oleh karena itu, KPK menurut Haryono akan mengklarifikasi dan mempertanyakan sistem administrasi pengelolaan data-data maupun perencanaan-perencanaan di Bappenas sehubungan dengan pengelolaan utang luar negeri tersebut. Dalam kaitannya dengan kasus ini, KPK akan mengusut ketiga lembaga pemerintah tersebut secara bersamaan. "Ini tidak boleh satu-satu, harus sekaligus karena berkaitan satu dengan yang lain," ujarnya. Lebih jauh Haryono menambahkan bahwa yang menjadi pertanyaan mengapa proyek-proyek pemerintah kebanyakan dianggarkan, namun tidak pernah dilaksanakan. Hal ini terbukti dengan laporan BPK di mana proyek-proyek yang tercatat di Bappenas dilakukan tanpa perencanaan, namun tercatat utang luar negerinya. Hal ini menurut Haryono merupakan suatu kejanggalan atau keanehan ada tercatat utang namun tidak ada realisasi pengerjaan proyeknya. "Begitulah temuan BPK proyeknya tidak jalan tapi ada catatan utang negara. Itulah yang akan kita telusuri," lanjutnya. Disinggung perihal upaya KPK memanggil pejabat-pejabat dari ketiga lembaga atau instansi pemerintah tersebut, Haryono mengatakan pihaknya memang sejauh ini masih mengedepankan pencegahan. Namun, menurutnya tidak tertutup kemungkinan apabila ada indikasi permainan yang melibatkan pejabat-pejabat negara dalam kasus ini. BPK menyatakan per 25 Juli 2008, terdapat 2.214 perjanjian utang (loan agreement/LA) senilai Rp 917,06 triliun. Sebanyak 66 perjanjian sebesar Rp 45,29 triliun pada sembilan kementerian dan lembaga serta delapan perusahaan pelat merah yang diaudit BPK. Sejumlah temuan BPK, kata Haryono, akan ditanyakan pada beberapa instansi pemerintah. Namun, dia belum memastikan kapan hal itu dilakukan. KPK meminta penjelasan, mengapa tidak ada strategi pinjaman luar negeri yang jitu dari pemerintah. Hal itu menyebabkan tidak ada kebutuhan riil dari pemerintah untuk menandatangani perjanjian utang. "Tidak ada payungnya, tetapi sudah membuat angka pinjaman yang dibutuhkan. Ini kan aneh," tandas Haryono. Dia melanjutkan, akibatnya ada pengeluaran negara yang tidak jelas. Namun, belum ada penjelasan, pengeluaran itu terjadi akibat hukum atau kesalahan administrasi saja. (leo wisnu susapto/rafael sebayang)