Refleksi: Kalau para petinggi NKRI korupsi milyaran dan trilyulan rupiah, maka tentu saja ada diantara masyarakat berkekurangan yang beranggapan bahwa mengambil besi tua pagar jembatan bukan suatu pelanggaran. Bukankah mereka ini bertindak seuai apa yang dikatakan dalam pepatah Melayu kuno :" Guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Dirgahayu NKRI harga mati!
http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2009022103494516 Sabtu, 21 Februari 2009 BURAS Pagar Jembatan Habis Dicuri Orang! H.Bambang Eka Wijaya "AKIBAT jembatan Sungai Lubai, di jalan Prabumulih--Muara Enim sudah 10 tahun rusak oleh kecelakaan dan besi pagarnya dicuri orang, mobil rombongan suster tergelincir menewaskan delapan suster!" ujar Umar. "Dalam peristiwa itu yang membuat miris adalah, kecuekan para pejabat terkait membiarkan demikian lama rusaknya pagar jembatan sehingga membahayakan pemakai jalan umum! Lebih buruk lagi, kalau betul pagar jembatan habis akibat dicuri!" "Kecuekan terhadap kerusakan fasilitas publik yang membahayakan warga, apalagi di jalan nasional, jelas merupakan kelalaian negara atas kewajiban melindungi keselamatan dan jiwa setiap warganya!" sambut Amir. "Klausul itu pernah digunakan seorang pengendara Vespa yang terperosok di lubang Jalan Medan Baru, gugatan pengendara Vespa itu terhadap Wali Kota dimenangkan PN Medan!" "Itu dia! Lubang di jalan saja penanggungjawabnya bisa divonis bersalah secara hukum!" tukas Umar. "Apalagi pagar jembatan itu sudah rusak 10 tahun, masak para pejabat terkait cuek bebek terus? Konon pula, kecelakaan di situ berulang nyaris tiap bulan!" "Itu bisa terjadi karena, maaf, banyak pejabat yang tak menyadari kewajiban baik secara umum sebagai representasi negara terhadap warga, maupun secara khusus kewajiban spesifik di bidang tugasnya! Dalam kewajiban spesifik itu dalam arti, pejabat mengetahui job description tertulisnya, tapi tidak tertanam dalam kesadarannya hingga menyulut spontanitasnya untuk menangani hal-hal yang terkait tugasnya!" timpal Amir. "Contohnya pagar jembatan itu, selama 10 tahun tak menarik perhatian seorang pun aparat untuk merasa harus berbuat atas kesadaran dirinya sebagai abdi sekaligus representasi negara!" "Kenapa bisa jadi begitu?" kejar Umar. "Karena kesadarannya lebih terorientasi pada usaha memanfaatkan dan menikmati hak-hak istimewa yang melekat dalam fungsi dan perannya, jauh sebanding dari tanggung jawab atas tugas dan kewajibannya!" tegas Amir. "Itu kecenderungan sikap umum dalam birokrasi pemerintahan kita karena dengan status sosialnya yang lebih baik sebagai aparat pemerintah itu, mereka merasa lebih pantas dilayani rakyat, bukan sebagaimana mestinya, wajib melayani atau menjadi pelayan abdi rakyat!" "Alasannya tak sulit dicari! Salah satunya, terkait penghayatan makna kata pelayan dalam tugasnya!" potong Umar. "Kata pelayan secara umum melekat dalam benak mengacu pada sosok babu di rumah! Jelas, jadi risi untuk mengaktualkan diri dalam sosok yang dianggapnya lebih rendah dari dirinya!" "Untuk menghapus kesan itu dan menggantinya dengan kesan pelayan itu pekerjaan mulia, perlu program nasional bagi setiap aparat birokrasi pemerintah, mewajibkan setiap tahun sedikitnya sebulan melakukan tugas pelayanan kemanusiaan di tengah masyarakat!" tegas Amir. "Jika itu dilakukan, mungkin para suster pelayan kemanusiaan itu tak perlu jadi korban kelalaian aparat pemerintah dari tugasnya sebagai pelayan rakyat!"
<<bening.gif>>
<<buras.jpg>>