http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009030205514577

      Senin, 2 Maret 2009
     
     
Dibutuhkan Pemimpin Berbudaya 

      Ade Saptomo

      Guru Besar Fakultas Hukum Unand Padang/Usakti Jakarta



      Dalam era reformasi, rakyat Indonesia disuguhi tontonan politik angka 
ketika jumlah suara akhir menjadi dasar rujukan proses pengambilan keputusan 
politik.

      Ketika pemilu sebagai proses pelahiran pemimpin bangsa, tentu yang 
dibutuhkan bukan pemimpin yang selalu mendasarkan jumlah angka, melainkan yang 
mampu menjadikan budaya sebagai pedoman bertindak.

      Untuk itu pemimpin yang dibutuhkan dari hasil Pemilu 2009 adalah pemimpin 
yang mengetahui, mengerti, memahami, menghayati akar budaya bangsa, dan 
menjadikan pedoman bertindak dalam proses pengambilan keputusan sosial, 
ekonomi, dan politik.

      Secara kuantitas, bangsa Indonesia memang terkesan tidak akan kekurangan 
calon pemimpin bangsa, lebih-lebih menyusul kesiapan Ketua Umum Partai Golkar 
M. Jusuf Kalla menjadi capres pada Pemilu 2009 mendatang.

      Kesiapan Kalla menjadikan deretan capres makin panjang; sebelumnya telah 
ada Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat), Megawati Soekarnoputri (PDIP), 
Wiranto (Partai Hati Nurani Rakyat), Sultan Hamengkubuwono X (Partai Republika 
Nusantara), Sutiyoso (Partai Indonesia Sejahtera), Prabowo Subianto (Partai 
Gerindra), Rizal Ramli (Partai Bintang Reformasi, Partai Pengusaha dan Pekerja 
Indonesia, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia), yang menyatakan 
kesediaan dan kesiapannya menjadi calon presiden periode 2009--2014.

      Satu hal yang harus diingat dalam proses pemilu adalah muatan budaya 
bangsa Indonesia dalam proses melahirkan pemimpin bangsa. Karena, akan terlalu 
naif dan kering apabila kalkulasinya sebatas dan berhenti pada 
hitungan-hitungan politik jumlah angka terbanyak saja.

      Dalam konteks bangsa Indonesia yang memiliki kemajemukan sosial budaya, 
diharapkan proses produksi pemimpin dalam Pemilu 2009 ini melahirkan seorang 
pemimpin yang percaya diri bukan karena legalitas suara terbanyak, melainkan 
juga percaya diri karena berkarakter akar budaya bangsa Indonesia. Untuk itu, 
pertanyaannya, apa akar budaya bagi pemimpin bangsa Indonesia dimaksud.

      Akar Budaya Bangsa

      Secara etimologi, budaya berasal dari dua suku kata: Budi yang berarti 
olah pikir (ngulir budhi) yang baik, dan daya (dhaya) yang berarti kekuatan. 
Dengan demikian, maknanya adalah kekuatan olah pikir warga masyarakat atau 
warga bangsa yang menghasilkan nilai bersama, sebuah nilai yang diyakini benar 
dan dijadikan pedoman bertindak oleh masyarakat atau bangsa yang telah 
melahirkan budaya dimaksud.

      Untuk mengetahui hal itu, perlu pembayangan sementara jauh ke belakang, 
yaitu sebuah proses kelahiran entitas sosiologis yang disebut masyarakat.

      Proses kelahirannya diawali dengan fenomena kedatangan perorangan atau 
kelompok orang ke satu wilayah yang sama dan dalam wilayah sama dimaksud mereka 
saling kontak. Dalam kontak kehidupan sehari-hari, mereka mengidentifikasi 
kelebihan dan kekurangan dalam dirinya masing-masing sekaligus mengidentifikasi 
kelemahan dan kekuatan diri orang kepada siapa orang dimaksud akan berinteraksi.

      Setelah mengenali dan menyadari kelemahan dan kekurangan di satu pihak 
dan kekuatan dan kelebihan di pihak lain, mereka terdorong mencoba mengisi 
kekurangan yang ada dalam dirinya sendiri dengan kelebihan yang ada dalam diri 
orang lain, dan sebaliknya.

      Kondisi demikian menjadikan mereka terus menerus berinteraksi membentuk 
pola kehidupan sosial dan budaya. Akibat sosiologisnya tentu proses itu 
mengujung pada terbentuknya komunitas-komunitas sosiologis yang akhirnya 
membesar menjadi masyarakat dengan spesifikasi struktur sosial masing-masing, 
misalnya desa dalam masyarakat Jawa, gampong dalam masyarakat Aceh, kurnia 
dalam masyarakat Batak, nagari dalam masyarakat Minangkabau, marga dalam 
masyarakat Palembang, negory dalam masyarakat Ambon.

      Pada saat masyarakat itu terbentuk, lahir pula nilai budaya bersama dan 
dijaga bersama yang dapat digunakan sebagai rujukan pada hampir setiap kegiatan 
sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Dalam konteks masyarakat Indonesia (Jawa, 
misalnya), nilai budaya bersama dimaksud dapat dilihat secara kasad inderawi 
dalam kegiatan-kegiatan gotong-royong dan sambatan.

      Paham-paham kedesaan telah terangkat secara politis menjadi paham 
ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan secara filosofis menjadi payung 
perjalanan bangsa Indonesia, yang kini biasa disebut local wisdom nusantara. 
Jika kegiatan pengambilan keputusan politik cenderung menonjolkan suara 
terbanyak, berarti kedaulatan rakyat yang terkandung dalam sila ke-4 semakin 
jauh karena pengambilan keputusan politik makin renggang dari akar budaya.

      Tercerabut

      Terangnya, pemimpin yang tidak tercerabut dari akar budaya adalah 
pemimpin yang dalam kepemimpinan kesehariannya mewujudkan, pertama, nilai 
kebersamaan. Dengan kebersamaan, ia akan melampaui batas-batas identitas formal 
dan situasional, bukan terhenti pada identitas orang perorangan/kelompoknya.

      Kedua, berpikir universal. Meski bersumber dari lokal, berpikir melingkar 
keluar sehingga berdaya jangkau global, bukan melingkar ke dalam sehingga 
berjangkau semakin menyempit, sekuler, dan parsial.

      Ketiga, idealis untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang tercantum dalam 
pembukaan UUD 1945, bukan jangkauan yang terhenti godaan materialistik.

      Keempat, toleran/empati. Bertoleransi dan berempati tinggi untuk 
mengiringi setiap proses pengambilan keputusan, baik keputusan legislatif 
maupun eksekutif terhadap penderitaan semua lapisan masyarakat.

      Indikasi awal tercerabut dari akar budaya dapat dilihat dari tindakan 
calon pemimpin dalam proses pemilu. Apakah gagasan-gagasan, tindakan, perilaku, 
ucapannya sudah jauh dari muatan niat berprasangka buruk, niat mencela, sentil 
sana sentil sini, olok sana olok sini terhadap lawan-lawan politik internal 
partai maupun eksternal partai.

      Jika ini masih menonjol, tentu perlu dipertanyakan kemampuan mewujudkan 
nilai budaya kebersamaan ketika memimpin bangsa
     

<<bening.gif>>

Kirim email ke