http://www.pos-kupang.com/index.php?speak=i&content=file_detail&jenis=14&idnya=20899&detailnya=1
Date : 03 Mar 2009 08:25:20 Mutasi, Birokrasi Klientelistik dan Masa Depan Demokrasi Oleh David BW Pandie Dosen Fisip Undana HARUS diakui bahwa proses demokrasi di daerah masih berlangsung dalam taraf permulaan, sehingga diliputi oleh berbagai kelemahan, terutama kelemahan dari lembaga-lembaga demokrasi, seperti sistem partai dan sistem pemilu yang berpeluang mencederai nilai-nilai demokrasi. Henry Richardson, dalam karyanya Democratic Autonomy (2002), mengatakan bahwa pada saat masih lemahnya instrumen demokrasi, birokrasi dapat terancam oleh prosedur demokrasi yang salah kaprah. Birokrasi sebagai organisasi publik yang strategis, rawan diseret dan dimanipulasi sebagai kekuatan politik dengan tujuan pragmatis, tapi bersamaan dengan itu, birokrasi dapat menjadi kekuatan anti-demokrasi. Karena itu, Larry Diamond sebagai teoretisi tersohor tentang konsolidasi demokrasi, mengingatkan bahwa birokrasi berpotensi menggagalkan demokrasi di negara-negara yang baru mengadopsi sistem demokrasi. Sinyal dari dua proponen demokrasi di atas, paling tidak menggejala kuat dalam praktek demokratisasi di daerah sepanjang lima tahun pemberlakuan pilkada. Wajah negatif demokrasi dalam konteks pilkada tersirat dari makin menguatnya sistem birokrasi klientelistik, yaitu birokrasi yang postur kekuasaannya ditentukan oleh hukum pertukaran jasa politik antara patron politik dan birokrasi sebagai klien. Birokrasi klientelistik tampil sebagai patronase politik baru di daerah yang kehadirannya dapat menggeruskan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai birokrasi sekaligus, seperti keadilan untuk mendapat perlakuan yang sama dan kompetisi sehat berdasarkan asas no pain, no gain, siapa yang tidak cerdas, kreatif dan bekerja keras, tidak dipromosikan dalam alokasi jabatan. Kita seolah terlepas dari cengkeraman birokrasi otoriterisme produk dan warisan orde baru yang mengintegrasikan birokrasi sebagai kekuatan penyangga rezim, dan kini terperangkap dalam birokrasi klientelistik, di mana birokrasi direkrut sebagai 'tim sukses' yang bersifat temporal hanya untuk kepentingan jabatan. Masih segar dalam benak kita tentang formula ABG dahulu, yaitu birokrasi dimanipulasi sebagai bahagian dari tiga kekuatan utama orde baru, ABRI, Birokrasi dan kekuatan Golongan. Jika formula ABG bersifat sistemik pada tingkat politik nasional dan mempunyai daya tahan yang cukup lama, 32 tahun, maka birokrasi klientelisme merupakan formula temporal yang ditentukan oleh kedekatan primodialisme dan kepentingan calon kepala daerah untuk memperoleh kursi kekuasaan dan berjangka waktu lima tahunan dalam skala lokal. Birokrasi klientelistik eksis dengan menyulut berkobarnya sentimen primordialisme dan kepentingan orang-perorangan untuk memenangkan pilkada dan seterusnya akan dikalkulasi sebagai neraca dalam mendistribusi jabatan dengan prinsip 'balas jasa versus balas dendam.' Prinsip ini secara vulgar dipraktekkan dan kerap menutup sebelah mata terhadap ketentuan-ketentuan normatif dalam administrasi kepegawaian. Misalnya, daftar urut kepangkatan bisa dikalahkan oleh daftar urut kepentingan, yang penting, hubungan patron-client terjaga, sang calon menikmati tampuk kekuasaan sebagai kepala daerah, dan para birokrat sebagai tim pendukung dibagi-bagi jabatan sebagai balas jasa politik. Dalam skema demikian, mutasi berubah fungsi sebagai arena politik dagang sapi dalam kurva yang didesain agar seimbang antara demand and supply di pasar kekuasaan pasca pilkada. Jabatan tinggi atau rendah, basah atau kering, ditentukan oleh limpahan keringat yang dikucurkan dalam perjuangan suksesi. Spoil is new deal. Mental rent seekers atau perburuan rente kekuasaan ramai-ramai dispekulasi oleh banyak birokrat, tanpa peduli risikonya. Tak heran sangat marak sistem makelar jabatan dan 'ijon jabatan' dalam janji-janji politik terselubung sebelumnya. Itulah sebabnya, mutasi yang pada hakekatnya merupakan kebijakan administratif dalam rangka menyegarkan dan memperbaharui organisasi birokrasi, guna meningkatkan efisiensi serta efektivitas organisasi dan sebagai wahana pengembangan karier pegawai, kini berubah menjadi madu dan senjata pamungkas. Artinya, mutasi sebagai madu yang dijamu kepada para tim pendukung, apabila sang 'jagoan' menang dalam pilkada. Namun, ia akan beralih fungsi sebagai senjata ampuh sekaligus 'monster' yang meneror, membunuh dan mematikan karier sang pegawai/pejabat yang terlanjur dicap sebagai kekuatan yang berseberangan. Ekspresi budaya narsisis sangat tebal dalam setiap mutasi selepas pilkada yang mengukuhkan kehadiran tyranny of the winners. Barisan birokrat loyal tidak tanggung-tanggung dapat bertindak sebagai tyranny of the winners, pemenang yang mendominasi jabatan-jabatan vital birokrasi. Umumnya, mereka menantikan dan merayakan mutasi sebagai hari paling bahagia dan bila perlu menertawai sinis terhadap mereka yang kalah. Dan, pada pihak lain, bagi yang kalah, mutasi diratapi sebagai 'kiamat kecil' yang menenggelamkan segala impian dan masa depan kariernya. Inilah hukum besi birokrasi, suatu risiko yang harus ditangguk apabila ia tercebur dalam perang politik dan menjadi kekuatan yang terpolarisasi. Netralitas sebagaimana ketentuan undang-undang hanyalah 'hiasan bibir', para birokrat cenderung terobsesi untuk memperoleh kekuasaan secara cepat dengan menjadi tim-tim sukses. Jabatan bukanlah ukuran prestasi, ia merupakan suatu harga dari sebuah balas jasa. Di pihak lain, para politisi juga memanfaatkan situasi lemahnya kekuatan partai politik dengan selalu menggunakan birokrat dan jabatannya sebagai kekuatan untuk memobilisasi dukungan. Kedua-duanya sama, para politisi sebagai calon kepala daerah seperti seorang pemanjat pinang yang bisa menang jika ada pendukung yang pasang bahu, pasang kaki dan pasang badan. Bila sang calon sukses memperoleh bendera kemenangan, maka semua yang berkeringat akan mendapat upah yang setimpal. Sebaliknya, jika sang calon yang memanjat pinang ini gagal dan tergelincir turun, maka semua pendukung juga jatuh terpental dan terinjak-injak sakit di bawah. Sekarang pertanyaannya, apa implikasi dari birokrasi klientelistik bagi upaya membangun pemerintahan daerah? Pertama, bahwa mutasi birokrasi tidak lagi menjadi alat untuk meningkatkan kinerja, tetapi disandera untuk kepentingan politik balas jasa dan balas dendam. Fakta ini akan menguatkan lahirnya birokrasi askriptif, di mana faktor favoritisme sangat kuat mewarnai hubungan kepala daerah dan pejabat birokrasi. Pejabat birokrasi sebagai appointed official hanya berkerja demi untuk kepentingan diri dan kelompoknya, serta mencuatkan prinsip 'asal bapak senang (ABS)'. Akhirnya tercipta pandangan baru yang menyesatkan, bahwa untuk memperoleh jabatan birokrasi tidak butuh prestasi, tidak butuh kecerdasan, toh semuanya akan ditentukan oleh kinerja politis perorangan pada masa suksesi. Kompetisi, otak dan kreativitas tidak menentukan perjalanan karier pegawai. Cukup otot dan kesetiaan buta. Kedua, prinsip ABS telah melumpuhkan semangat kompetitif yang menjadi roh dari manajemen publik modern dan birokrasi akan menjadi sumber masalah dan bukan sumber pemecah masalah. Jangan berharap banyak birokrasi dapat habis-habisan memaksimalkan kemampuannya, apabila prestasi hanyalah suatu sampiran dan bukan yang utama. Inilah harga yang harus ditanggung dari birokrasi yang terbangun dalam semangat paternalistik yang tinggi. Moral kerja tak mungkin dapat digenjot, apalagi jabatan-jabatan penting yang ada diduduki oleh orang-orang yang kapasitasnya diragukan. Ketiga, kekuasaan birokrasi selalu dikaitkan dengan representasi berbagai kelompok masyarakat (bureaucratic representation), dan bila birokrasi terjebak dalam litani primordialisme dan kepentingan kelompok yang eksklusif, maka ia mudah bersikap diskriminatif dan permisif melakukan pelanggaran terhadap 'hak-hak pegawai'. Sangat kasat mata untuk mengidentifikasi siapa yang dipromosikan dan didemosikan atau yang menjadi kurban dari suatu pilihan, jika mutasi itu terpaksa mereduksi jabatan-jabatan birokrasi. Sesungguhnya kesejatian nasionalisme dan kematangan seorang kepala daerah teruji dalam kebijakan mutasi untuk menakar sejauhmana integritas, toleransi dan akomodatifnya dalam melakukan rekonsiliasi birokrasi yang telah tercemari virus partisan selama suksesi. Terus terang, banyak pemimpin daerah 'masih bau kampung' kalau tidak mau dibilang kampungan dalam perilakunya yang xenophobia dalam mengelola perbedaan-perbedaan kepentingan dan latar budaya. Keempat, bahwa semangat profesionalisme birokrasi dan good governance yang telah kita perjuangkan untuk mereformasi birokrasi selama ini, akhirnya akan sangat terganggu oleh praktek politisasi birokrasi di daerah. Mustahil kita akan bisa menciptakan sosok birokrasi di daerah yang bersih dan berwibawa, manakala birokrasi masih didera oleh patologi akibat perkawinan campurnya dengan kepentingan politik yang sesaat dan menyesatkan. Sudah waktunya kita menyudahi pencederaan birokrasi dan demokrasi dengan menghentikan siasat politik yang membebani serta memaksa birokrasi melaksanakan tugas 'ekstra partai politik' dengan iming-iming jabatan.. Kembalikan birokrasi sebagai segmen apolitik dan netral, sebagaimana yang diteladankan oleh TNI, sehingga birokrasi dapat diselamatkan untuk lebih fokus pada misi mulianya sebagai institusi pelayan publik dan sumber inovasi yang bekerja sebagai partner kepala daerah dalam mengeksekusi kebijakan kepala daerah untuk menjawab kebutuhan masyarakat secara profesional, efisien, efektif dan adil. Kesimpulannya, kita memang dalam lima tahun belakangan ini telah menyudahi pilkada jilid pertama di seluruh daerah di Indonesia, baik propinsi maupun kabupaten/kota yang berjumlah 510, dan semua catatan buram demokrasi sebagaimana tergambar di atas menjadi pekerjaan rumah untuk diperbaiki dalam membangun demokrasi yang lebih berkualitas di daerah ke depan. Kita butuh langkah yang elegan dan berani untuk mengurangi risiko politik terhadap birokrasi dalam setiap pilkada, dan mutasi seyogyanya dikembalikan pada makna substansinya sebagai sarana untuk mensinergikan pengembangam organisasi dan pengembangan karier pegawai dalam prinsip profesional, adil dan kompetitif. Postur birokrasi yang demikian, saya percaya pada gilirannya akan berkontribusi terhadap kesejahteraan rakyat sebagaimana cita-cita luhur bangsa ini. Demokrasi akan berdampak pada kesejahteraan rakyat, asal saja birokrasi direposisi sebagai kekuatan profesional dan bersih dari intrik politik untuk menjalankan tugas public servant, dan bukan sebagai pelayan kepala daerah ala model birokrasi klientelistik.*