Refleksi : Biasanya organisasi Mafia adalah seperti pohon beringin, jadi apakah 
mudah dibershkan?
--------
Jawa Pos
 Senin, 16 Maret 2009 ] 


Membersihkan Mafia Parlemen 
Oleh Emerson Yuntho *

Memprihatinkan! Mungkin, kata itu yang paling tepat untuk menunjukkan maraknya 
praktik korupsi di DPR. Peristiwa terakhir yang terjadi adalah penangkapan 
anggota Komisi V DPR Abdul Hadi Djamal. Politikus dari Fraksi Partai Amanat 
Nasional (FPAN) itu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus 
suap terkait proyek pengadaan dermaga dan pelabuhan di kawasan Indonesia Timur. 

Dengan penangkapan itu, sudah ada sembilan anggota DPR dan mantan anggota DPR 
yang ditangkap KPK. Fenomena itu sekaligus memperkuat kecurigaan masyarakat 
bahwa praktik ''mafia parleman'' yang dilakukan wakil rakyat sudah berlangsung 
lama dan sistematis. 

Peristiwa itu tidak saja mencoreng institusi DPR secara kelembagaan, namun juga 
berdampak kepada semakin menurunkan kepercayaan dan rasa hormat masyarakat 
kepada para wakilnya di Senayan. 

Persoalan korupsi di parlemen merupakan persoalan yang tidak kunjung usai. 
Dalam sejarahnya, korupsi ditubuh parlemen bukanlah hal baru, bahkan sudah 
menjadi rahasia umum yang semua orang sudah mahfum. 

Indikator itu setidaknya dapat dilihat dari survei persepsi masyarakat yang 
dilakukan Transparency International Indonesia pada 2005-2007. Hasil survei itu 
selalu menempatkan parlemen dalam peringkat tiga besar sebagai lembaga yang 
paling korup di Indonesia.

Muncul dalam Pembahasan 

Fenomena suap atau gratifikasi yang melibatkan mafia parlemen umumnya muncul 
saat pembahasan rancangan undang-undangan, penanganan kasus, pemekaran wilayah, 
kunjungan kerja ke suatu tempat atau daerah, pembahasan anggaran, pengambilan 
suatu kebijakan oleh DPR atau komisi, studi banding keluar negeri, persiapan 
rapat dengar pendapat dengan BUMN atau instansi swasta lain, atau proses uji 
kelayakan dan kepatutan (fit and propert test) pejabat publik. 

Selain sembilan orang yang sudah diproses, sejumlah anggota dewan disebut-sebut 
menerima kucuran aliran dana Bank Indonesia, dana nonbujeter Departemen 
Kelautan dan Perikanan, dan beberapa kasus privatisasi di BUMN. 

Meskipun suap dan gratifikasi masuk kategori korupsi dan diancam dengan pidana 
perjara, sayang pengungkapan kasus ini yang diduga melibatkan anggota dewan 
aktif sering tidak pernah berujung hingga ke pengadilan. Sebelum 2008, KPK 
maupun kejaksaan bahkan terkesan menghindar jika harus berurusan dengan praktik 
korupsi yang melibatkan para politisi. Upaya serius menjerat politisi baru 
terlihat sejak adanya pergantian pimpinan KPK pada awal 2008. 

Terdapat beberapa alasan mendasar yang menyebabkan masih maraknya praktik 
korupsi di parlemen (mafia parlemen). 

Pertama, rekrutmen anggota parlemen yang buruk. Jika melihat sejarahnya, 
mayoritas partai politik di negeri ini tidak pernah menyaring secara ketat atau 
bahkan melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) bagi para 
calon legislatif yang akan mewakili partai. Loyalitas dan kemampuan keuangan 
(finansial) sering menjadi faktor menentukan diterima atau tidaknya seorang 
menjadi kader atau calon anggota legislatif. Kriteria kualitas dan integritas 
bukanlah prioritas utama dan terkadang dikesampingkan.

Kedua, lemahnya fungsi pengawasan internal partai dan institusi DPR. Setelah 
terpilih menjadi anggota DPR, pengawasan relatif menjadi lemah, baik dari 
internal partai politik maupun institusi DPR sendiri. Fungsi pengawasan yang 
dilakukan DPR juga terkesan seadanya dan hanya mengandalkan badan kehormatan 
(BK). 

Meskipun ada beberapa kemajuan, kinerja BK sering dinilai meragukan karena 
adanya tarik ulur kepentingan dari masing-masing partai politik. Pemberian 
sanksi yang dijatuhkan DPR maupun BK selama ini juga tidak memberikan efek jera 
bagi oknum anggota dewan. 

Ketiga, membersihkan praktik korupsi di parlemen, baik di pusat maupun di 
daerah, faktanya tidak didukung penuh - bahkan mendapatkan perlawanan dari para 
politisi sendiri. Dalam kasus terungkapnya dugaan suap yang melibatkan Al Amin, 
misalnya, beberapa anggota dewan bahkan memberikan pernyataan dan alibi bahwa 
peristiwa tersebut bukan kasus suap. Padahal, pemeriksaan yang dilakukan KPK 
saat itu juga belum tuntas. Sejumlah anggota dewan bahkan ramai-ramai 
menjaminkan dirinya agar anggota dewan yang menjadi tersangka kasus korupsi 
dapat dibebaskan. 

Langkah yang dilakukan KPK bukan justru dilihat dari sisi positif, yaitu 
mendorong pemulihan citra dan kehormatan DPR. Namun, itu justru dipandang 
secara negatif sebagai suatu ancaman bagi sebagian anggota dewan yang katanya 
terhormat. Kondisi itu justru menimbulkan solidaritas yang membabi buta untuk 
membela anggota parlemen secara berlebihan (espirit de corps) tanpa melakukan 
evaluasi atau introspeksi. 

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama 2005-2008 menemukan 
sedikitnya ada 423 anggota dewan dari berbagai partai politik baik di tingkat 
lokal maupun nasional yang telah diadili di pengadilan sebagai terdakwa kasus 
korupsi. Sebagian bahkan telah dijebloskan ke penjara karena dinyatakan 
melakukan korupsi. 

Momentum 

Peristiwa penangkapan sejumlah anggota DPR dalam kasus suap seharusnya menjadi 
momentum bagi upaya pembersihan praktik mafia di parlemen. KPK sebaiknya tidak 
saja mengungkap, namun juga menuntaskan pemeriksaan terhadap sejumlah anggota 
parlemen. Semangat tidak ada tebang pilih harus menjadi pedoman bagi KPK dalam 
penuntasan praktik korupsi di palemen. 

Institusi DPR perlu memperkuat fungsi dan peran BK DPR dalam melakukan 
pengawasan dan menjaga kehormatan, membuat etika dan sanksi yang tegas kepada 
anggotanya yang dinilai justru merusak citra DPR. DPR juga harus melibatkan 
berbagai kalangan seperti KPK, Media maupun masyarakat untuk bersama-sama 
melakukan kontrol terhadap kinerja dan perilaku para anggota dewan. 

Sejumlah peristiwa suap anggota dewan juga harus menjadi pembelajaran politik 
bagi masyarakat untuk lebih cermat dalam memilih politisi yang nanti menjadi 
wakilnya di parlemen, baik di tingkat nasional maupun daerah. Jika ingin 
parlemen bersih dari korupsi, politisi yang korup dan parpol yang tak mendukung 
pemberantasan korupsi selayaknya tidak dipilih kembali pada Pemilu 2009.

*. Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja ICW di Jakarta 


Kirim email ke