Calon Presiden dan ‘New Media’

Lily Yulianti Farid, penulis, aktif mengembangkan citizen journalism 
I even have read those messages that have started with a sentence like "I know 
that the president is not going to read this message..." 
(Blog Mahmud Ahmadinejad) 
Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad mengumumkan peluncuran blognya pada 14 Agustus 
2006, dan laporan media menyebutkan partisipasi di online voting blog tersebut 
melampaui angka 12 ribu di hari pertama. Dan ketika berita ini tersebar ke 
seluruh penjuru dunia, banyak yang mengeluh tak bisa mengakses blog tersebut 
saking padatnya kunjungan warga maya (netizen). 
Keputusan tokoh dunia yang kencang mengkritik Amerika Serikat dan Barat ini 
untuk menyapa dunia melalui blog memang menjadi berita di kala itu. Ada yang 
memuji, tapi tak sedikit yang mengkritik, bahkan mencurigai. Aktivis hak asasi 
manusia di Barat yang mengecam kontrol ketat atas media di Iran, termasuk 
terhadap blogger, mencibir dan mengatakan blog Ahmadinejad itu propaganda 
terselubung rezim yang dipimpinnya. 
Meski tak banyak tulisan yang di-posting oleh Ahmadinejad dalam tiga tahun 
terakhir dan bahkan tak ada artikel sepanjang 2008, ia setidaknya telah 
menunjukkan upaya komunikasi personal kepada dunia. Blog yang tersaji dalam 
empat bahasa--Persia, Arab, Inggris, dan Prancis--itu diawali dengan biografi 
panjang. Ketika respons pengunjung memuncak, sementara hasil posting-nya 
semakin gersang, Ahmadinejad menjelaskan bahwa ia tetap teguh pada janjinya 
meluangkan waktu 15 menit per minggu (ya betul, hanya 15 menit per minggu!) 
memeriksa semua pesan. Ia dibantu sejumlah mahasiswa melakukan tabulasi pesan 
yang disebutnya sebagai masukan penting yang perlu ditindaklanjuti. 
Dengan alokasi waktu yang superminim untuk memelihara blognya, di pengujung 
2007 Ahmadinejad mengumumkan bahwa ia memutuskan untuk memanfaatkan waktu itu 
membaca pesan yang masuk daripada menulis

 posting baru. "Semua pesan saya baca, termasuk pesan yang dibuka dengan 
kalimat 'saya tahu bahwa Presiden tidak akan membaca pesan ini’.” 
Blog ini sudah lama tidak diperbarui, tapi Ahmadinejad menangguk untung: pesan 
tetap terus mengalir dan ia memiliki "kolam ide" berkat komentar dari segala 
penjuru dunia. Di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat diikuti 
aktivitasnya di situs www.presidensby.info. Tapi ini media resmi, bukan sebuah 
kanal komunikasi yang didesain agar sang Presiden bisa bercakap-cakap secara 
lebih personal dengan publik. Yang jadi berita heboh pekan ini justru blog sang 
Wakil Presiden, Jusuf Kalla, yang sejak Rabu lalu (4 Maret) mengisi lahan 
blogger tamu Kompasiana. Posting pertama berjudul “Assalamu Alaikum”, tulisan 
dua paragraf sebagai salam pembuka, yang langsung disambut riuh komentar 
pembaca. Beberapa jam sebelumnya, Ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto juga 
menulis blog di Kompasiana. Posting pertama Prabowo berjudul "Pengalaman 
Singkat Saya Bermilis" ditayangkan di laman public blogger. Ia pun juga panen 
puluhan komentar dan meroket sebagai
 salah satu tulisan terpopuler. 
Respons yang tumpah-ruah bagi Kalla dan Prabowo bukan hal yang mengejutkan. 
Pejabat, politikus, dan newsmaker lainnya yang memutuskan membuat media 
personal pastilah menarik perhatian. Publik ingin tahu, bagaimana sosok yang 
selama ini diberitakan kini mengabarkan diri atau menyajikan pikirannya 
sendiri. Bagi sang tokoh, membuktikan bahwa tulisan itu karya sendiri adalah 
tantangan awal untuk menumbuhkan kepercayaan audiens, meski tentunya agak sulit 
meyakinkan audiens bahwa calon presiden dan wakil presiden yang supersibuk 
bakal punya waktu membaca semua komentar. 
Perilaku warga maya, menurut Dan Gillmor dalam We the Media (2004), adalah 
cerminan rakyat "dunia nyata" yang bila memiliki akses berdialog dengan tokoh 
publik akan memanfaatkan peluang itu sebaik-baiknya. Yang membedakannya adalah 
rakyat dunia maya merupakan audiens yang bisa langsung merespons secara kritis 
dan menempatkan diri setara dengan siapa saja. Mereka adalah representasi warga 
yang sadar akan haknya dan tak mudah digiring untuk percaya terhadap suatu 
pandangan.

 
Gelombang new media tak pelak menuntut perubahan model komunikasi pejabat 
pemerintah, politikus, korporat, dan media mainstream, empat elemen yang selama 
ini menguasai kanal informasi dan publikasi. Sekarang ada arus new media, yakni 
orang-orang biasa yang aktif bercakap di dunia virtual melalui media alternatif 
yang mereka ciptakan dan isi sendiri. Topik yang mereka bahas terbentang dari 
hal terpenting hingga yang paling remeh, termasuk kiprah penguasa dan politikus 
korup, perusahaan yang menipu konsumen, dan media besar yang kehilangan 
independensi. Suara warga dunia maya ini begitu kencang. 
Pada Pemilu 2009, peran new media jelas semakin signifikan. Preseden gemilang 
telah dicatat Barack Obama dalam pemilihan presiden AS, ketika barisan 
pendukung dan relawan yang direngkuhnya tumbuh pesat berkat web-based 
organizing campaigns. Di Tanah Air, politikus ramai-ramai mengikuti jejak 
Obama, merambah blog, serta SNS (social network system), seperti Facebook dan 
Youtube. Tak cukup beriklan di media mainstream, tim komunikasi calon 
legislator dan calon presiden pun terjun ke media alternatif. 
Sayangnya, penguasa dan politikus yang terbiasa dirubung staf itu banyak yang 
terlambat menyadari kekuatan media baru ini. Bagi Jusuf Kalla, Prabowo, atau 
calon presiden lainnya, menemui publik lewat blog merupakan hal yang penting 
mengingat bahwa netizen memiliki ekspektasi untuk menemukan the real you, sosok 
yang mendengarkan dan meladeni percakapan yang dinamis dan kritis, tanpa 
mendelegasikannya. Ini merepotkan, tapi tak mustahil, meski hanya 15 menit 
sepekan, seperti yang pernah dilakukan Ahmadinejad. *
 
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/03/21/Opini/krn.20090321.160188.id.html


 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
http://groups.google.com/group/suara-indonesia?hl=id
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke