Bagi yang merayakannya

Teddy dan kel.



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/25/04280060/nyepi.peneguhan.menuju.
perdamaian

HARI RAYA
Nyepi, Peneguhan Menuju Perdamaian
ANTARA/NYOMAN BUDHIANA

Ratusan umat Hindu mengarak kerbau dan bermacam binatang kurban berkeliling
pura saat upacara mepepada, yaitu rangkaian upacara Tawur Panca Bali Krama
menjelang hari raya Nyepi tahun Saka 1931 di Pura Besakih, Karangasem, Bali,
Selasa (24/3). Sedikitnya 200 binatang dari berbagai jenis dikurbankan
sehari menjelang puncak ritual 10 tahun sekali itu untuk mengembalikan
keharmonisan dan kesucian alam semesta.

Rabu, 25 Maret 2009 | 04:28 WIB
Oleh RAKA SANTERI

Pada tahun 77 Masehi, Maharaja Kaniska I di India tercenung. Penguasa dari
dinasti Kusana ini berpikir: setelah musuh-musuh dapat ditaklukkan dan
kekuasaan dapat direbut, apakah arti kemasyhuran dalam hidup bila selalu
diwarnai dendam dan diancam oleh pemberontakan? Adakah yang lebih indah
dalam hidup ini selain kedamaian, seperti yang telah ditunjukkan oleh
musuh-musuhnya dari suku bangsa Saka?

Raja Kaniska pun semakin yakin bahwa tidak ada kebahagiaan tanpa kedamaian.
Dan, kedamaian baru bisa tercipta bila tidak ada lagi kekerasan. Maka, Raja
Kaniska memutuskan untuk mengakhiri peperangan dan menciptakan perdamaian
selama hidupnya melalui diplomasi budaya. Minggu, 21 Maret 78, Raja
menetapkan kalender sistem Saka menjadi sistem tahun kerajaan. Tampaknya
keputusan itu diambil untuk menghargai suku Saka.

Penetapan tahun Saka ini kemudian tersebar sampai ke Dvipantara (Indonesia)
yang oleh masyarakat Hindu di Bali ditetapkan sebagai hari raya Nyepi.
Perayaan Nyepi tahun baru Saka 1931 jatuh pada 26 Maret 2009.

Dengan demikian, perayaan tahun baru Saka pada hakikatnya adalah peneguhan
tekad untuk menegakkan perdamaian. Tidak akan ada capaian yang dapat
dibanggakan tanpa melewati jalan damai, jalan yang dilandasi kebenaran.
Lebih-lebih pada saat kita memasuki tahun pemilu seperti sekarang ini.
Suasana damai jelas sangat diperlukan oleh bangsa ini, betapa pun dinamisnya
manuver-manuver politik dilakukan.

Masyarakat Bali sendiri sudah bertekad menjadikan pemilu tahun ini sebagai
sebuah atraksi budaya yang dapat meredakan ketegangan-ketegangan ciptaan
para elite politik yang sedang berebut kekuasaan. Di kalangan masyarakat
sudah lama beredar guyonan "jika para elite menenggak minuman keras, mengapa
rakyat kecil yang disuruh mabuk?"

Damai, itulah inti Nyepi. Damai yang kita butuhkan sekarang mungkin berbeda
dengan damai yang dibangun pada zaman Raja Kaniska I. Pada zaman itu damai
lebih banyak berarti tidak ada peperangan. Tetapi sekarang kedamaian yang
kita cita-citakan jauh lebih dalam dan luas. Bukan hanya tidak ada kekerasan
berupa perang, tetapi juga tidak ada "kekerasan" lain berupa kemiskinan,
penyakit, pemaksaan kehendak, dendam, dominasi budaya kelompok, penghinaan,
ketidakadilan, pembabatan hutan dan kerusakan lingkungan, serta kekerasan
lahir dan batin lainnya.

Oleh karena itu, masyarakat Hindu merayakan tahun baru Saka dengan berbagai
prosesi dan pantangan. Semuanya menyimbolkan sesuatu. Upacara melasti, yaitu
prosesi ke laut sebelum Nyepi, menyimbolkan usaha menghilangkan penderitaan
dan kekotoran batin manusia. Damai tidak akan pernah tercapai jika
penderitaan rakyat masih merajalela dan kekotoran pikiran masih menguasai
hidup manusia. Damai juga tidak bisa terwujud bila tidak ada keseimbangan
dalam hidup ini.

Segala sesuatu memiliki nilai positif dan negatif, memiliki sisi baik dan
buruk. Rwa bhineda (dua hal yang berbeda) akan selalu ada. Keadaan demikian
menuntut kita untuk menilai segala sesuatu secara obyektif, berimbang, dan
dengan itikad baik. Jangan meracuni rakyat dengan pandangan satu sisi, suatu
pandangan yang seolah-olah dianggap "sah" dalam dunia politik menjelang
pemilu seperti sekarang ini.

Umat Hindu menyimbolkan keseimbangan itu dalam wujud caru atau tawur, yang
dilakukan sehari menjelang Nyepi. Di samping menyimbolkan keseimbangan, caru
juga menyimbolkan bahwa sesungguhnya tidak ada yang sepenuhnya "jelek" di
dunia ini kalau kita pandai mengelolanya. Secara teologis, para pandita
Hindu melakukan pengelolaan itu dalam proses nyomia, mengubah kekuatan jelek
menjadi kekuatan baik.

Introspeksi diri
Tetapi, perdamaian adalah sebuah proses dinamis. Perdamaian tidak pernah
berhenti pada suatu kondisi. Maka, untuk menjaga perdamaian, kita diharapkan
senantiasa waspada pada perkembangan, terutama gejolak yang terjadi. Umat
Hindu melakukan pengelolaan itu dengan terlebih dahulu menoleh ke dalam
dirinya sendiri.

Secara fisik, ada empat hal yang dilakukan, disebut catur brata penyepian.
Ke-4 hal itu adalah melaksanakan puasa serta tidak menyalakan api, tidak
bekerja, tidak bepergian, dan tidak mencari hiburan. Dalam keadaan seperti
itulah umat Hindu diharapkan melakukan meditasi, berdialog dengan hati
nuraninya sendiri serta memohon ampunan dan bimbingan Tuhan.

Kitab suci Bhagawadgita IV.39 menyebutkan, "Ia yang memiliki keyakinan kuat
dan memusatkan pikirannya kepada-Ku, mengendalikan indrianya, akan
mendapatkan kebijaksanaan. Setelah itu ia akan mencapai puncak keheningan
jiwa". Umat Hindu meyakini, jika seseorang telah dekat dengan Tuhan, tangan
Tuhan akan turut membimbing melalui usaha manusia itu sendiri, mengatasi
segala rintangan.

RAKA SANTERI Wartawan; Tinggal di Denpasar

 



-- 
Teddy Sunardi 2009

Kirim email ke