Dahlan Iskan : Beli Kursi di Langit 

Sejak Mandala dikenal cukup on time, banyak orang pindah ke penerbangan itu.. 
Termasuk saya. Garuda sudah terasa terlalu mahal. Apalagi Mandala juga sudah 
menggunakan pesawat yang relatif baru: Airbus 319 atau Airbus 320. 

Orang seperti saya, on time termasuk pertimbangan yang penting. Antara satu 
janji dan janji yang lain sering agak mepet. Karena itu, meski Garuda terkenal 
mahal, orang tetap memilih Garuda karena on time. Memang banyak orang memilih 
Garuda karena perasaan lebih safe. Tapi ketika kelebihan-kelebihan Garuda itu 
juga sudah bisa dipenuhi Mandala, orang lantas memilih yang lebih murah.

Memang di Mandala tidak memperoleh makanan/minuman. Tapi, untuk terbang jarak 
pendek seperti Surabaya-Jakarta, faktor makanan tidaklah penting. Tidak mungkin 
orang mati kelaparan dalam penerbangan satu jam. Apalagi orang seperti saya, 
begitu naik pesawat memilih segera tidur! Ketika masih sering naik Garuda dulu, 
meski di kelas eksekutif, saya sering berpesan agar kalau sedang tertidur 
jangan dibangunkan hanya untuk makan. 

Kini memang sedang dalam ujian: apakah Mandala bisa mempertahankan citra on 
time-nya itu. Pada 25 Maret lalu, ketika terbang dari Jakarta ke Balikpapan 
dengan Mandala, saya bertemu teman-teman asal Surabaya di lounge Mandala di 
terminal 1 Cengkareng. Mereka sekeluarga lagi kelihatan kusut. Oh, ternyata 
mereka lagi transit untuk cing bing (ziarah kubur) ke Jambi. Pesawat Mandala 
yang dia naiki terlambat tidak tanggung-tanggung: 7 jam! Mestinya berangkat 
pukul 9 pagi, baru akan berangkat pukul 4 sore.

Ujian berikutnya: mempertahankan citra safe! Pesawat itu, baru atau lama, 
sebenarnya tidak terlalu ada hubungannya dengan safe atau tidak. Biarpun 
pesawat lama, kalau pemeliharaan dan prosedur pemeriksaannya sempurna, ia akan 
sama

 safe-nya dengan pesawat baru. Namun juga bisa dipahami bahwa secara 
psikologis, naik pesawat baru lebih safe. Dan Mandala tahu menjaga perasaan 
penumpang tersebut. Karena itu, dia menggunakan pesawat yang relatif baru.

Sebagian pesawat itu kelihatannya pindahan dari India. Terlihat di layar 
monitornya masih ada display tulisan yang berbunyi Deccan (sebuah kawasan di 
selatan India, Red) dengan desain khusus. Saya langsung teringat ketika tahun 
lalu ke India. Di beberapa rute, saya naik pesawat Deccan Airways. Di India 
memang banyak perusahaan penerbangan swasta. Semuanya menggunakan 
pesawat-pesawat relatif baru. Saya dengar persaingan di sana sangat keras dan 
belakangan beberapa di antara mereka merger.

Di Mandala kita juga bisa naik kelas ''eksekutif". Syaratnya juga ringan: hanya 
membayar tambahan Rp 50.000/orang. Dengan membayar uang tambahan itu, Anda bisa 
duduk ke kursi paling depan. Memang kursi ''eksekutif" itu tidak beda dengan 
yang ekonomi, namun duduk di depan lebih baik: bisa cepat-cepat keluar dari 
pesawat untuk mengejar jadwal. Berarti ada enam tempat duduk (tiga di kiri dan 
tiga di kanan) yang bisa dijual Rp 50.000-an. Tambahan Rp 300.000 rupanya 
dianggap penting sehingga pesawat yang mestinya berisi 120 itu bisa 
menghasilkan uang 121.

Waktu ke Singapura pekan lalu pun, saya naik pesawat murah: Value Air. Sebelum 
krisis, saya selalu naik Singapore Airlines (Silk Air) atau Garuda. Di rute 
Surabaya-Singapura ini, kita harus bangga: orang lebih menyenangi Garuda 
daripada pesawat Singapura itu. Kursi kelas eksekutifnya jauh lebih enak 
Garuda: lebih besar dan lebih longgar. Demikian juga kursi kelas ekonominya: 
lebih longgar. 

Tapi, naik pesawat murah (biasa disebut budget airlines) juga tidak menderita. 
Meski kalah dengan Garuda, tapi kelas ekonominya tidak kalah dengan Silk Air 
yang mahal. Toh waktu kedatangannya sama saja: 2 jam. Saya memang sudah lama 
ingin mencoba pesawat murah untuk Singapura. Motifnya: ingin melihat

 budget terminal di Changi. 

Sejak tahun lalu bandara Singapura memiliki empat terminal: terminal 1, 
terminal 2, terminal 3, dan terminal murah (budget terminal). Terminal 1, 2, 
dan 3 berada dalam satu wilayah yang dihubungkan dengan kereta khusus. Terminal 
1 paling sederhana, terminal 2 lebih mewah, dan terminal 3 mewah sekali.. 
Sedangkan terminal murah (untuk penerbangan-penerbangan murah) berada terpisah 
yang tidak ter-connect dengan tiga terminal lainnya. Saya ingin sekali 
melihatnya. Satu-satunya cara sudah tentu kalau saya naik pesawat murah.

Saya check-in agak telat hari itu. Karena itu, saya mendapat tempat duduk 
sangat belakang: dekat toilet. Saya sudah berusaha minta agak depan, tapi tidak 
ada lagi yang kosong. Padahal, saya harus cepat-cepat keluar dari pesawat agar 
bisa antre paling depan di imigrasi nanti. Dari bandara, saya harus langsung ke 
tempat acara perkawinan yang waktunya sudah mepet.

Begitu masuk pesawat, saya lihat kursi deretan depannya kosong. Saya ingin 
duduk di situ, tapi pramugari berkeras minta boarding pass untuk melihat nomor 
kursi saya. Maka, saya pun ketahuan harus duduk di belakang. Sambil berjalan ke 
belakang, saya lihat dua deret kursi di bagian tengahnya kosong. Yakni di 
deretan dekat pintu darurat. Saya ngotot mau duduk di situ saja: daripada di 
dekat toilet.

Ternyata saya juga dilarang duduk di situ. Semula saya mengira karena 
kursi-kursi itu di dekat pintu darurat. Maka saya bilang: saya tahu bagaimana 
harus bersikap ketika duduk di dekat pintu darurat. Saya sudah sering diajari 
pramugari bahwa seseorang yang duduk di kursi seperti itu harus tahu bagaimana 
cara membuka pintu darurat. Sehingga kalau terjadi kecelakaan, harus tahu apa 
yang pertama-tama harus dilakukan.

Ternyata ini bukan soal keterampilan membuka pintu darurat.

''Duduk di kursi itu harus membayar uang tambahan 10 dolar," ujar sang 
pramugari.

''Dolar Singapura?" tanya saya.



''Ya," jawabnya.

''Saya mau bayar," kata saya.

Lalu, saya teringat jangan-jangan kursi kosong paling depan tadi urusannya juga 
hanya soal bayar-membayar. 

''Berarti saya boleh juga duduk di deretan nomor 1 itu?" tanya saya.

''Oh, kalau itu bayarnya 20 dolar," katanya.

''Saya mau," kata saya.

''Kalau begitu, silakan," jawabnya.

''Bisa bayar di atas pesawat sini?" tanya saya.

''Bisa!" katanya.

Maka, saya dan istri kembali ke depan. Membuka dompet dan membayar 40 dolar 
(sekitar Rp 300.000) untuk dua orang. Saya memang membiasakan mengisi uang-uang 
asing di dompet saya: dolar Singapura, Malaysia, bath Thailand, dolar Hongkong, 
dolar AS, dan terutama ren min bi Tiongkok.

Dengan pengalaman ini, saya tersenyum: wah semakin pintar saja orang cari uang. 
Jangan-jangan kelak, kursi di dekat jendela juga punya harga berbeda. Kursi di 
aisle (gang tempat jalan) juga bertarif tidak sama. Tapi, kalau kursi di kokpit 
juga dijual meski dengan harga mahal, saya ingin juga mencoba sekali-kali.

Meski pesawat murah, ternyata enak juga. Pesawatnya juga Airbus 320. Yang 
membuat saya agak kecewa adalah: ternyata pesawat ini mendarat di terminal 1.. 
Dengan demikian, gagallah keinginan saya merasakan seperti apa itu terminal 
murah.

''Mengapa tidak mendarat di budget terminal?" tanya saya kepada pramugari.

''Ini bukan budget airlines," jawabnya.

''Lho, memangnya ini pesawat apa?" tanya saya.

''It is low cost carrier," jawabnya. (''Ini pesawat murah").

''Apa bedanya budget airlines dengan low cost carrier?" tanya saya.

''Budget carrier kan semua harus bayar sendiri. Misalnya, makanan dan 
minumannya," katanya.

Oh, saya jadi lebih bingung. Di penerbangan ini, saya memang diberi air dan 
sepotong roti, tapi untuk makanan dan minuman lainnya, saya juga harus beli. 
Kursi pun harus beli. Saya benar-benar tidak tahu apa beda

 budget carrier dengan low cost carrier.

Saya tidak mau pusing memikirkannya. (*)
 
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=60697

 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
http://groups.google.com/group/suara-indonesia?hl=id
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke