Janji Setengah Dekade 






KETIKApetani menyemai benih,ritus alam menjanjikan waktu untuk memanen/memetik. 
Keunggulan hasil panen tergantung mutu benih serta dinamika cuaca dan iklim. 


Jika petani di sawah/ladang menyemai benih,lain halnya dengan politisi yang 
akhir-akhir ini sibuk menyemai janji.Mereka sibuk bersolek memuji diri sendiri 
dengan aneka jargon. Seperti halnya slogan kampanye Obama di AS, untuk 
Indonesia, hope (harapan) dan change (perubahan) bisa jadi kenyataan atau 
justru tidak sama sekali.

Keadaan dekade mendatang (2009–2014) akan sangat ditentukan oleh sebagian besar 
masyarakat sebagai konstituen. Calon apa pun itu,yang hendak dipilih,harus 
memenuhi syarat berat: bisa membantu sebagian rakyat membangun fasilitas 
kesehatan, pendidikan terjangkau, akses air bersih, hunian yang berinstalasi 
listrik, serta membantu membangun jalan dan jembatan untuk menopang kehidupan 
rakyat.

Lebih mendesak lagi,rakyat butuh calon yang tidak enggan berpikir untuk 
mengurangi pengangguran dan menciptakan rasa aman.Daya beli rakyat secara 
ekonomi harus meningkat. Saya takut, rakyat nyontreng di TPS dengan setengah 
hati.Rakyat akan memilih calon yang memiliki pengalaman dan kompetensi yang 
teruji,bukan yang gemar tebar janji,lantas bikin sakit hati.Yang pasti, rakyat 
cerdas dalam memilih.Itu harus disadari. 

Dalam sikon tertentu, tatkala berucap jujur sudah tidak mungkin lagi dilakukan, 
bohong pun terpaksa digelar. Mungkin segelintir politisi pilih jalan tengah 
saja,yakni setengah janji setengah bohong.Barnes di dalam bukunya A Pack of 
Lies,Sosiologi Kebohongan dan Psikologi Akal Bulusmengungkapkan,cara paling 
umum yang dilakukan oleh seorang pembohong untuk mencapai maksudnya adalah 
dengan membuat suatu pernyataan yang bisa diterima oleh si korban sebagai suatu 
kebenaran (1994). 

Sebaliknya, kata Saint Agustine, korban kebohongan ialah mereka yang tertipu 
karena menganggap salah pernyataan yang benar (1952). Bagi yang menyemai 
janji,lantas menunjukkan bukti dengan cara yang bermartabat,niscaya buah manis 
akan dipetiknya.

Bahkan,trust (kepercayaan) akan datang mendekapnya.Apresiasi niscaya datang 
dari kelompok yang berseberangan pandangan dengannya. Mendiang nenek saya 
pernah berpesan: “Kalau kamu berjanji (kepada siapa saja,apa pun itu) mutlak 
ditepati!”Bagi yang telanjur berisik bicara ini dan itu pada saat 
kampanye,kemudian terpilih, lalu dia ingkar janji setengah dekade,saya rasa itu 
urusan dia dan Tuhannya.(*) 

Iwan Sulistyo 
Mahasiswa Kriminologi Universitas Indonesia 
 
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/225316/
 




Konstituen Penagih 



Tuesday, 31 March 2009 

PELUIT pelaksanaan masa kampanye Pemilu 2009 sudah dibunyikan. Calon-calon 
kontestan yang mengikuti pertandingan politik pun berlomba- lomba memenangi 
kejuaraan lima tahunan ini. 


Inilah masa ketika partai politik (parpol) datang menjenguk konstituen dan 
merebut pemilih baru. Dalam marketing politik,kampanye diartikan sebagai ajang 
para kontestan memasarkan produk-produk politik untuk memengaruhi publik agar 
membeli produk tersebut. 

Jika kita analogikan dengan ilmu marketing,produsen adalah parpol,konsumen 
adalah rakyat,dan pasar adalah massa kampanye.Logika ideal pasar adalah 
produsen dan konsumen sama-sama memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Dalam 
arti, produk politik (isu atau program) harus memberikan kepuasan kepada 
konsumen. 

Namun, ternyata cita-cita politik hampir selalu berbeda dengan realitas 
politik.Parpol sebagai produsen hanya memandang hubungannya dengan konsumen 
adalah hubungan subjek–objek.Konsekuensi logisnya adalah rakyat dianggap hanya 
sebagai alat untuk memuluskan parpol menggapai kursi kekuasaan.Setelah 
menang,parpol balik badan meninggalkan rakyat.

Objek identik dengan pasif dan pasif adalah gambaran matinya ruang interaksi 
dialogis dan lemahnya posisi tawar (bargaining position) rakyat di mata parpol. 
Sebuah ironi yang sangat menyedihkan ketika rakyat yang notabene pemegang 
kedaulatan tertinggi dibuat tak berdaya.Rakyat hanya menjadi objek dan penonton 
dagelan politik yang dimainkan para politikus. 

Menjadi sebuah kewajaran ketika banyak pemilih akhirnya memutuskan untuk 
golput, sesuatu yang sebenarnya sangat kita hindari. Bagaimanapun janji politik 
adalah utang yang harus dibayar. Pemenuhan utang tersebut merupakan bentuk 
sopan-santun politik dalam bingkai etika berpolitik.Pemenuhannya bisa menjadi 
alat ukur kita mengenai kelayakan seseorang untuk memimpin. 

Untuk menagih janji politkus, rakyat harus membuat sebuah ikatan politik kepada 
politikus.Apakah itu berbentuk kontrak politik atau bentuk-bentuk 
lain..Intinya,partisipasi rakyat tidak cukup hanya sampai pencontrengan di 
bilik suara.Rakyat harus terlibat melakukan pengawasan sampai janji –janji 
tersebut terpenuhi. 

Untuk menguatkan partisipasi masyarakat, harus ada civil society yang 
kuat.Masyarakat secara kolektif bisa membentuk lembaga atau organisasi untuk 
memantau perilaku politikus.Apakah berbentuk LSM atau ormas yang nantinya 
menjadi oposisi kritis dalam mengawal janji–janji tersebut.

Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sudah saatnya memiliki bargaining 
positionyang tinggi di mata politisi. Relasi subjek-objek sudah waktunya 
didekonstruksi menjadi irama yang setara.Rakyat adalah subjek dalam perjalanan 
sebuah bangsa. Tanpa kedaulatan rakyat,bangsa ini hanya akan menjadi bangsa 
yang diperintah oleh tukang tipu politik yang hanya mengutamakan diri dan 
kelompoknya.(*)

Adi Surya Purba 
Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Unpad,Aktivis GMNI 
 
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/225314/

 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
http://groups.google.com/group/suara-indonesia?hl=id
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke