http://www.radartimika.com/index.php?mod=article&cat=Opini&article=17832

Senin, 06/04/2009 | 08:06 (GMT+9)


Situ Gintung yang Saya Kenal

Oleh : Sukemi  



MINIMAL, sudah dua kali Situ Gintung menjadi pusat perhatian dan pemberitaan 
secara nasional. Pada 1987, danau alamiah tersebut menjadi pusat perhatian, 
bukan hanya masyarakat awam, tapi juga para ilmuwan. Itu berkait dengan 
peristiwa terlepasnya satu gugus tanah di pinggir sebelah barat, yang di bagian 
atasnya sudah berdiri satu rumah penduduk setempat, pepohonan, dan juga satu 
sumur.


Kontan saja waktu itu semua orang bertanya-tanya. Ilmuwan pun berdatangan, baik 
dari LIPI maupun BPPT, untuk melihat dan meneliti kenapa sebidang tanah bisa 
begitu saja berpindah atau tercerabut dari dasar bumi. Orang pun berdatangan 
dalam peristiwa ''tanah pindah" tersebut. Saat itu tidak ada korban jiwa.  Kali 
ini, Jumat dini hari, 27 Maret 2009 lalu, peristiwa memilukan dan menelan 
puluhan korban jiwa terjadi di Situ Gintung akibat tanggul di bagian tengah 
-masyarakat di sana menyebutnya pelimpasan- ambrol tidak kuat menahan tekanan 
air danau.


Sebagian masyarakat di sana memang masih ada yang memitoskan keberadaan Situ 
Gintung. Berbagai kejadian misterius sering menjadi bahan cerita jatuhnya 
korban jiwa di sana. Situ yang diyakini berbentuk seperti orang sedang tidur 
telentang itu bukanlah danau buatan, tapi danau alamiah, yang kemudian untuk 
kepentingan irigasi dan pengairan, dibangunlah tanggul dengan dua anak sungai 
di bagian timur dan barat, sedangkan di bagian tengahnya dibuat pelimpasan 
dengan konstruksi amat sederhana.


Bentuk seperti orang sedang tidur telentang digambarkan di bagian selatan 
dengan pulaunya disebut sebagai bagian kepala dan tangan. Sedangkan di bagian 
utara dengan dua anak sungainya yang dahulu digunakan sebagai saluran irigasi, 
adalah bagian kaki ditambah dengan tanggul (yang kini jebol) yang dimanfaatkan 
orang dan kendaraan roda dua sebagai akses jalan dari Kampung Gunung ke poros 
Jl Ir H Juanda. Minggu pagi, 22 Maret 2009 (lima hari sebelum peristiwa 
jebolnya tanggul pelimpasan), saya menyempatkan diri berjalan di atas tanggul 
itu untuk menikmati udara yang masih bersih sambil bernostalgia masa-masa kecil 
saya bermain, memancing, dan memandikan ternak kerbau di sana tiap sore hari.


Pemandangannya cukup menarik. Di atas situ, dua-tiga orang hilir-mudik dengan 
menggunakan rakit menjala ikan. Sedangkan di tepian situ, beberapa orang 
melempar dan menunggu pancingnya dimakan ikan. Pemandangan itu bak lukisan di 
mana di bagian selatan menyembulkan pemandangan siluet biru Gunung Salak di 
Bogor.


Keindahan dan keelokan itulah yang menyebabkan beberapa insan film dan pemusik 
era 1970-an kerap menggunakan tepian situ itu untuk lokasi pengambilan gambar. 
Sekadar menyebutkan contoh, film-film seperti Si Pincang, Si Manis Jembatan 
Ancol, Panji Tengkorak, Si Jampang, serta Romie dan Juliet, pengambilan 
gambarnya sebagian besar dilakukan di Situ Gintung. Aktor-aktor besar di masa 
itu, seperti Sophan Sophiaan, Widyawati, Muchsin Alatas, Titik Sandhora, 
Soekarno M. Noer, Rano Karno, Yessi Gusman, Nanin Sudiar, Koes Plus, dan 
lainnya adalah orang-orang yang kerap melakukan pengambilan gambar di sekitar 
Situ Gintung. 

Berubah Total 

Sebagai warga yang lahir dan dibesarkan di kawasan itu, saya ingin menyampaikan 
pandangan berkait dengan tragedi tersebut. Pandangan ini tentu terkait dengan 
kondisi riil tanggul dan kawasan sekitar yang memag telah mengalami perubahan 
fungsi sejak lebih dari sepuluh tahun terakhir. Kalau diamati, sudah lebih dari 
sepuluh tahun, kondisi tanggul dan lingkungan di sana berubah total dengan 
berubahnya peruntukan di kawasan sekitar. Saya mengetahui benar beberapa 
perubahan yang terjadi dalam kurun lebih dari sepuluh tahun belakangan ini, 
mulai kondisi air situ yang sudah tercemar bahan detergen dan sampah domestik 
dari permukiman di sekitar situ, terjadinya pendangkalan, sampai tumbuhnya 
gulma air dan eceng gondok.


Menurut saya, faktor terbesar penyebab jebolnya tanggul, selain karena usianya 
yang sudah tua -dibangun pada zaman Belanda sekitar 1930-an- dan selama ini 
belum pernah dilakukan perbaikan, juga karena dua anak sungai di bagian timur 
dan barat tidak lagi difungsikan. Bahkan, pintu air di bagian barat yang dulu 
digunakan untuk mengatur debit air menuju sungai yang berfungsi untuk irigasi 
persawahan dan juga cuci serta mandi, yang berada di Rempoa (kini berubah 
menjadi pabrik tekstil PT Sandatex), sudah lama ditutup. Selokannya sudah 
diuruk dan sebagian lagi dimanfaatkan untuk permukiman.


Sedangkan selokan atau sungai di sisi timur tanggul, yang juga melalui pintu 
air pengaturan yang digunakan untuk persawahan di kawasan Poncol, yang kemudian 
menyatu dengan Kali Pesanggarahan, kini juga berubah. Sebagian untuk perumahan 
dan permukiman dan sebagian lagi menjadi Kampus Universitas Muhammadiyah 
Jakarta. Memang, selokan yang berada di sebelah timur tidak sepenuhnya ditutup, 
tidak seperti pintu air di bagian barat yang telah ditutup total, tapi anak 
sungai itu sudah jauh lebih kecil dari sebelumnya, sehingga air yang mengalir 
ke sungai itu pun sangat sedikit. Seandainya dua sungai di sisi timur dan barat 
itu masih berfungsi, saya yakin benar tekanan air dari situ itu akan 
terdistribusi di beberapa titik, tidak terfokus di bagian pelimpasan yang kini 
telah jebol.


Memang faktor tuanya tanggul juga menjadi penyebab. Apalagi -sepengetahuan 
saya- tidak ada upaya merehabilitasi atau memperbaiki tanggul, terutama di 
bagian limpasan yang konon dibangun sejak zaman Belanda itu. Kalau pun 
dilakukan perbaikan, hanya di bagian atas tanggul untuk keperluan pemavingan, 
agar pengguna jalan dan kendaraan roda dua tidak terlalu direpotkan menghadapi 
jalan yang becek dan licin saat hujan. 


Perbaikan itu justru memperlemah struktur tanggul karena dengan pemavingan, 
jumlah kendaraan yang berlalu lalang makin banyak dan bebannya makin berat. 
Sementara itu, akibat pencemaran detergen, kondisi tanggul atau tanah serta 
batu kali di daerah limpasan tersebut justru strukturnya makin rapuh sehingga 
dengan tekanan air yang demikian besar, jebollah tanggul itu.

*. Sukemi, warga asli Situ Gintung 

Kirim email ke