Politik-P
DI bilik suara itu aku tertegun: di sini aku sendiri, satu di antara jutaan 
suara lain, satu noktah di dalam arus 170 juta manusia, mungkin patahan bisik 
yang tak akan terdengar. Ini sebuah pemilihan umum; statusku: sebuah angka. 
Di ruang yang sempit itu, beberapa menit aku menatap lembar-lembar kertas yang 
diberikan kepadaku. Sederet gambar. Sejumlah nama. 99% tak kukenal. Kalau ada 
yang kukenal, ia terasa berjarak dari diriku. Tak ada nama partai dan orang 
yang tercantum yang menggerakkan hati saya. Tak ada ada dorongan kesetiaan yang 
akan membuat aku dengan gigih memilih sambil berkata pelan tapi bangga, di 
bilik itu, "Partaiku, wakilku!". 
Aku tertegun: apa aku, apa mereka? Partai-partai itu sehimpun penanda yang 
tampaknya tak berkaitan dengan yang ditandai; mungkin bahkan tak ada sama 
sekali yang mereka tandai. Yang jelas, mereka tak membuatku mati-matian ingin 
mengisikan makna, dengan seluruh keyakinan, ke dalam penanda kosong itu. 
Tapi aku mencontreng, aku memilih. Dengan demikian aku mengubah diriku jadi 
satu satuan numerik, sebuah unsur dalam sebuah ritus kolektif. Dan dengan 
demikian pula aku termasuk, tergabung, ke dalam sesuatu yang tak pernah, dan 
mungkin sekali tak akan, jadi bagian hidupku. 
Jangan-jangan seluruh ritus ini, setidaknya di tahun 2009 ini, adalah sebuah 
alienasi. Aku bayangkan mungkin yang serupa terjadi di sebuah pabrik: seorang 
buruh mengerahkan seluruh tubuhnya dan mencucurkan keringatnya untuk sebilah 
gunting atau sepasang sepatu, dan pada saat itu juga berubah: ia hanya jadi 
tenaga-kerja-sebagai-komoditi; ia tak berkaitan lagi dengan buah tangannya 
sendiri. Ia terasing. 
Aku pun ke luar dari bilik suara, aku melangkah meninggalkan TPS, dan tak 
merasa amat peduli mana yang akan menang dan yang akan kalah dalam pertandingan 
lima tahun sekali ini. Ada jarak antara aku dan ritus itu. Saling tak kenal 
lagi, saling terasing. Mungkin inilah yang aku alami: politik yang telah mati. 
Di rumah aku baca lagi bab-bab yang berat dari buku Kembalinya Politik, yang 
ditulis beberapa pemikir politik mutakhir Indonesia, dengan pengantar Rocky 
Gerung, sebuah buku yang dipersembahkan kepada A. Rahman Tolleng, seorang 
aktivis yang tak kunjung reda kesetiaannya kepada politik. 
Tapi di sini, "politik" berarti politik-sebagai-perjuangan, "politik-P". Bukan 
politik yang telah mati. Bukan politik-sebagai-ritus, "politik-R". 
"Politik-R" adalah politik yang tercetak dalam gambar-gambar di lembaran kartu 
suara 2009 itu. "Politik-R" datang karena ritus adalah repetisi yang diwajibkan 
dan disepakati. Repetisi bisa membawa daya magis, seperti mantra yang 
berkali-kali dirapal, tapi juga sebaliknya: bahkan sembahyang yang suatu ketika 
khusyuk juga bisa kehilangan rasa ketika dilakukan berulang-ulang. 
Kita bisa juga mengatakan, "politik-R" adalah politik tanpa la passion du réel 
-- untuk memakai kata-kata Alain Badiou, pemikir yang banyak dikutip dalam 
Kembalinya Politik. 
Tanpa passion, tak ada gairah. Tanpa gairah untuk bersua dan memasuki le réel, 
berarti tak ada tekad untuk membuka diri kepada yang paling tak terduga. Le 
réel ada dalam tubuh kita, di bawah-sadar kita, dalam relung gelap kebersamaan 
kita: wilayah Antah Berantah yang tak terjaring dalam "pengetahuan", tak 
tercakup dalam bahasa, tak dapat diatur dalam tata simbolik. Di sanalah segala 
rencana dan doktrin terbentur. 
Tapi justru sebab itu, politik adalah perjuangan. "Politik-P", adalah laku yang 
militan, karena ada keberanian mempertaruhkan nasib, menabrak apa yang sudah 
pasti untuk sesuatu yang belum. Tapi perjuangan itu memanggil aku, melibatkan 
diriku, bahkan perjuangan itulah yang menjadikan aku sebagai subyek -- bukan 
badan pasif yang datang ke kotak suara dan pergi dengan rasa asing kepada apa 
yang dilakukannya sendiri. 
"Politik-P" itu pernah terjadi ketika Indonesia diproklamasikan merdeka, 17 
Agustus 1945, atau ketika para pemuda melawan Tentara Sekutu di Surabaya, 10 
November 1945, atau ketika para mahasiswa menantang rezim Orde Baru dan tanpa 
senjata menduduki Parlemen sampai Suharto terdesak mundur. 
Tentu, kejadian itu jarang. Selalu datang "politik-R" menggantikannya. Tapi 
yang menyebabkan aku merasa terasing di tahun 2009 bukan semata-mata 
"politik-R" yang tak terelakkan. Di atas saya katakan, tanda gambar dan nama 
politisi itu tak menandai apa-apa - tapi mungkin saya keliru. Mereka sebenarnya 
sebuah simptom. Mereka gejala dua nihilisme yang bertentangan. 
Nihilisme pertama menampik politik sebagai proses kebenaran - karena kebenaran 
dianggap tak perlu. Hampir semua partai didirikan bukan karena ada satu subyek 
kolektif yang tergerak oleh keyakinan tentang yang benar dan yang tidak. Bahkan 
beberapa partai bukanlah "partai politik" (yang mengandung "kebersamaan"), 
melainkan "partai palangki": dibuat hanya untuk jadi tempat mengusung sang 
pemimpin. 
Nihilisme kedua juga menampik politik sebagai proses kebenaran. Tapi ia berbeda 
dari nihilisme pertama. Bagi para pelakunya, kebenaran ada, tapi bukan sebuah 
proses. Kebenaran sudah selesai. Tak ada pengakuan, apalagi gairah, akan le 
réel. Maka tak ada celah bagi yang baru, yang tak terduga-duga, yang lain. 
Di sini pun sebenarnya yang terjadi hanya pengulangan. Sebab para pak turut 
dogma bukanlah orang yang berjuang. Perjuangan dalam arti sebenarya melawan 
kebekuan dan represi, juga dalam pikiran sendiri. 
Sekian puluh tanda dan nama, dua nihilisme… 
Di tengah itu, bagaimana aku tak akan terasing? Bagaimana aku tak akan merasa 
diri hanya sebuah angka kurus di bilik suara, jari penyontreng yang sebentar 
lagi akan ditelan ritus 170 juta manusia? 
Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/04/13/CTP/mbm.20090413.CTP130062.id.html


 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
http://groups.google.com/group/suara-indonesia?hl=id
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke