[HALAMAN GANJIL]

Jujur Saja, Kejujuran Itu Bukan Simon Cowell
--Anwar Holid

Jujur Saja ialah nama rubrik di halaman terakhir Femina, majalah perempuan kota 
asli Indonesia. Saya baru sadar rubrik ini menarik setelah lama-lama setiap 
kali buka Femina, ternyata sering sekali tergelitik dan senyam-senyum oleh 
pertanyaan dan jawaban yang mereka lontarkan khusus kepada perempuan. Rubrik 
itu tampaknya menguji seberapa jujur mereka terhadap sesuatu.

Pertanyaan di rubrik itu masih biasa saja, termasuk umum, belum menyangkut 
hal-hal yang sangat sensitif. Jadi jawabannya pun sebenarnya masih yang bisa 
kita bayangkan. Di salah satu edisinya, Femina bertanya: 
"Buku yang menginspirasi saya?" Jawaban semua orang beda. Salah satunya: Laskar 
Pelangi (Andrea Hirata). "Buku itu memberi semangat pada saya yang bersekolah 
di kota kecil untuk tak perlu merasa rendah diri jika dibandingkan lulusan kota 
besar," kata seorang gadis di Mojokerto. 

Di edisi lain pertanyaannya mungkin bisa bikin malu: Angka merah waktu SMU? 
Atau waktu sedang heboh (Film) Ayat-Ayat Cinta, pertanyaannya ialah:  Ayat-Ayat 
Cinta, Suka Atau Tidak? Alternatifnya memang cuma dua. Salah satunya: Tidak, 
kata seorang istri di Jakarta. Kata dia, "Mana ada wanita berpendidikan tinggi 
dan berpikiran modern yang rela diduakan? Itu sih maunya pria agar ada di atas 
angin." Yang suka bilang begini: "Banget, banget! Saya sampai nonton dua kali. 
Disuruh nonton sekali lagi, jawabannya: Dengan senang hati!" Jangan bayangkan 
yang jawab gadis berjilbab, yang jawab itu seorang gadis ayu berlesung pipi 
dari Bogor.

Rubrik itu membuat saya mengira-ngira, dalam hal apa saja kita jujur. Terhadap 
semua hal? Dulu, waktu mahasiswa, sedang asyik-asyiknya boys talk di kamar kost 
teman, seorang kawan mendadak melontarkan pertanyaan: "Berapa kali kamu 
masturbasi dalam seminggu?" JELEGER! Pertanyaan itu membuat saya mental. 
Rasanya saya ingin mati. Itu rahasia besar saya. Tapi bagaimana lagi? Toh 
mereka kawan-kawan akrab saya. Berterus-terang juga kayaknya baik-baik saja. 
Tapi ternyata saya masih takut jujur. Buktinya, jawaban saya justru mengelak, 
"Nggak tentu. Kalau lagi terdesak saja." Bagaimana kalau setiap hari saya 
terdesak oleh tekanan seksual, sementara saya sulit menyalurkan gejolak lewat 
cara lain? Jelas, saya gagal jujur bahkan kepada teman-teman akrab. Mungkin 
saya khawatir reputasi saya hancur di mata mereka.

Suatu hari saya ditanya seorang teman non-Muslim: Apa kamu pernah makan babi? 
Jawabannya: tidak. Bahkan sepotong kecil pun? Kayaknya iya. Di Lampung, waktu 
kecil, teman akrab saya waktu SD ialah orang Hindu. Rumahnya persis di samping 
saya. Mereka punya ternak babi. Tapi kalau mereka memberi berkat/sedekah 
makanan, mereka memberi ayam dan makanan yang dihalalkan Islam.

Teman saya meneruskan: Apa kamu pernah minum alkohol? Jawabannya: pernah. 
Mungkin dulu waktu SMP, waktu kumpul-kumpul malam minggu dengan teman-teman. 
Tapi setelah itu nggak pernah lagi. Saya bisa dibilang murni seorang 
teetotaler, orang yang benar-benar bersih dari alkohol. 

Pernah merokok? Pernah. Tapi mungkin jumlah total yang pernah saya isap tak 
lebih dari 12 batang. Untuk beberapa hal, saya memang tidak melakukan apa pun. 
Saya tidak berzina, tidak merokok, tidak poligami, tidak korupsi, tidak pernah 
minum obat terlarang, tidak mengonsumsi narkoba. Untuk ini, saya jujur.

Pernah ngeganja? Pernah, dulu waktu mahasiswa, beberapa kali. Menurut saya 
harum asap ganja itu menggoda sekali.

Pernah mencuri? Pernah. Pencurian paling gila yang pernah saya lakukan ialah 
mengutil kaset album Superunknown (Soundgarden) di Aquarius Dago. Waktu itu 
saya sudah kuliah. Padahal waktu itu saya bawa uang, dan niatnya memang 
benar-benar mau beli album itu. Entah kejahatan apa yang mendesak pikiran saya 
waktu itu, tiba-tiba setelah perang batin dan dilanda ketakutan, pada satu 
kesempatan, saya memasukkan kaset itu ke saku pinggir celana. Yah, Tuhan masih 
melindungi saya dengan tidak langsung membuka aib itu di depan penjaga toko. 
Entah apa jadinya kalau saya kepergok penjaga toko. Boleh jadi saya bukan Anwar 
yang sekarang. Saya merasa berdosa sekali dan kapok. Album itu pun kini sudah 
saya jual dengan harga murah, tak sebanding dengan risiko yang saya hadapi. 
Gila, saya bisa senekat itu. Sulit membayangkan bahwa saya pernah bisa 
melakukan kehinaan seperti itu.

Apa kejujuran seperti itu akan membuat saya lebih baik? 

Dalam hal apa kita berani jujur? Untuk hal-hal remeh yang tidak berbahaya? 
Untuk perbuatan yang kira-kira bisa meningkatkan citra diri? Apa jujur itu 
sejenis uji nyali? Kejujuran memang menakutkan. Coba tuding diri sendiri dan 
ajukan pertanyaan paling berani, pertanyaan yang membuat kita tersudut harus 
jujur. Beranikah kita jujur pada diri sendiri? 

Coba uji kejujuran sendiri: Apa kamu menyimpan film atau gambar porno di 
komputer? Di Femina, gara-gara itu seorang istri memutuskan pulang ke orangtua 
setelah memergoki suaminya menyimpan banyak gambar porno perempuan gendut, 
padahal dia sendiri lagi diet. 

Jujur saja: Apa kamu pernah selingkuh? Pernah menyuap? Pernah mencoba pelacur? 
Mencoba membohongi atasan? Berani menentang boss yang sok? Melawan pemerintah? 
Pernah menyediakan perempuan kepada klien sebagai bagian dari entertainment? 
Mengecewakan klien? Gagal berkarir? Pernah menampar pasangan?

Konon, tanda orang masih waras ialah dia berani jujur pada diri sendiri. Bila 
orang berani membohongi diri sendiri, dia "sakit." Tapi jujur pada diri sendiri 
pun sulit dan butuh keberanian untuk melakukannya. Mungkin beda aspeknya kalau 
seseorang masih perang batin apa perbuatannya baik atau buruk. Banyak gejala 
memperlihatkan orang suka menutup-nutupi kejujuran, berusaha mencari dalih. 
Misal dengan bersikap defensif atau marah. Orang mengenakan topeng untuk 
menyembunyikan kejujuran. Bila seperti itu, orang lain harus bisa membaca yang 
tersirat.

Ada kalanya orang baru bisa jujur karena terdesak dan terancam. Saya pernah 
menyaksikan seorang maling ampun-ampunan mengakui segala perbuatannya setelah 
dihajar oleh pegawai warnet. Dia kehabisan cara lain untuk menghindari hal yang 
lebih fatal, misal kematian. Saya membayangkan wajah yang bengap-bengap itu 
saya sendiri karena ketahuan mencuri kaset. Harus seperti itukah ketika orang 
dipaksa jujur?

Mungkin harus ditegaskan, orang harus jujur, entah dengan rela, terpaksa, atau 
karena takut. Agama menyatakan nanti di akhirat kejujuran orang akan dihitung 
satu demi satu untuk menentukan keadilan Tuhan. Jujur saja, saya takut 
menghadapi momen itu, membayangkan betapa banyak kejujuran yang masih saya 
sembunyikan di dunia ini.

Bila sudah begini, apa Anda masih akan menganggap kejujuran itu seperti Simon 
Cowell--juri American Idol--yang berlidah tajam dan tega terhadap semua 
peserta? Lebih dari itu, saudara-saudara.[]

Anwar Holid, jujur saja, masih kurang jujur terhadap orang lain.

KONTAK: war...@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II 
No. 26 B Bandung 40141

Anwar Holid: penulis, penyunting, publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: war...@yahoo.com | (022) 2037348 | 085721511193 | Panorama II No. 26 B 
Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.gramedia.com
http://www.mizan.com
http://halamanganjil.blogspot.com 

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones


      

Kirim email ke