T = Bung Leo, Yg paling susah itu membuang kerak yg ada di hati. Meski dari kecil saya gak doyan makan "makanan" yg itu, tapi oleh orang tua dijejalin ke mulut saya setiap saat. Sampai saya gak tahu lagi mana sebenarnya "makanan" yg paling sehat itu. Yg saya tahu cuma "makanan" yg setiap saat dijejalin ke mulut saya. Meski sekarang ingin mencoba menu yg lain, tetep saja "makanan" yg dulu kadang-kadang pengen dicicipi lagi, susah. Ada saran ?
J = Anda berlatar belakang Islam, walaupun mungkin dari jenis tasawuf atau yg mementingkan olah batin. Tetapi walaupun alirannya tasawuf, kita yg sudah berpendidikan jauh di atas orang tua kita tetap bisa membedakan apa yg takhayul dan apa yg merupakan spiritualitas. Kita tahu bahwa spiritualitas yg asli adalah olah batin diri kita sendiri, dan bukan mencari selamat dengan cara mengharamkan berbagai hal yg sebenarnya tidak haram. Mungkin tidak bermanfaat, tetapi tidak haram. Apa yg diharamkan oleh manusia masa lalu selalu dengan embel-embel Tuhan atau Allah. Allah larang begini, Allah larang begitu. Pengharaman adalah seruan negatif. Ada lagi yg berupa suruhan. Allah suruh ini dan Allah suruh itu. Suruhan adalah seruan positif. Dan yg dijadikan ajang seruan dan suruhan itu adalah diri kita sendiri. Kita menjadi objek budaya, dengan Allah sebagai memedi atau junjungan. Yg harus diikuti kalau kita mau selamat. Pedahal kita tahu bahwa semuanya ciptaan budaya saja, dan dipaksakan kepada kita sejak kita masih kanak-kanak. Apa yg dijejalkan kita di masa kanak-kanak selalu membekas seumur hidup. Ada kenangan manis ketika kita percaya bahwa benar ada Allah yg mengharuskan kita beribadah di bulan Ramadhan. Ada kenangan manis ketika kita benar percaya bahwa segala dosa kita dihapuskan ketika kita berhasil menyelesaikan puasa dengan sempurna dan bermaaf-maafan di hari Idul Fitri. Itu bagi yg Muslim. Bagi yg Nasrani juga ada kenangan manis ketika merayakan Natal. Buat anak-anak kecil, Natal selalu berarti mainan baru dan baju baru. Datangnya dari Sinter Klaas yg berjenggot itu. Dari jauh sebelum Natal, anak-anak ditakut-takuti bahwa Zwarte Piet akan memasukkan mereka ke dalam karung. Sebaliknya, kalau mereka patuh kepada orang tua, Sinter Klaas akan memberikan mereka macam-macam hadiah, permen, mainan, baju baru... Sinter Klaas asalnya dari budaya Belanda, dan dibawa ke New Amsterdam, koloni Belanda di benua baru Amerika. New Amsterdam didirikan pada saat yg bersamaan dengan Batavia yg sekarang kita kenal sebagai Jakarta. New Amsterdam akhirnya menjadi New York City setelah kota itu berpindah tangan ke Inggris. Di New York City, Sinter Klaas berganti rupa menjadi Santa Claus. Santa Claus sudah jadi sekuler walaupun nuansa simboliknya masih terasa juga. Simbolik relijius, yaitu pengajaran budi pekerti kepada anak-anak kecil. Sosialisasi atau penanaman nilai-nilai luhur yg apabila dijalankan dengan baik akan diberikan ganjaran berupa hadiah. Dan hukuman kalau ternyata gagal untuk berlomba mencapai target menjadi anak yg baik. Bagi banyak orang di Belanda dan di Indonesia, Sinter Klaas akhirnya menjadi simbol dari Tuhan. Kita tidak tahu Tuhan itu seperti apa, tetapi kita disosialisasi sejak kecil untuk mencoba mengerti bahwa Tuhan akan menghadiahi kita dengan berbagai berkat kalau kita baik, dan menghukum kita kalau kita jahat. Walaupun tidak terlalu pas, dan mungkin agak karikaturis, Sinter Klaas berhasil hidup dalam imajinasi kanak-kanak, termasuk saya juga. We were brought up to believe in God, dan caranya melalui akal-akalan semacam legenda Sinter Klaas yg dijalankan dengan tertib dan kontiniu setiap tahun sampai akhirnya kanak-kanak tumbuh menjadi besar dan menemukan sendiri bahwa ternyata "dibohongi". Dibohongi dengan maksud baik, tentu saja. Maksudnya agar kita bisa tumbuh menjadi anak yg berbudi pekerti luhur. Tidak berantem dengan adik dan kakak, bersikap manis dan sopan terhadap orang tua, rajin belajar, dsb... Ketika kita mengerti maksudnya itu, kita akhirnya cuma tertawa saja. Dan mungkin akhirnya kita meneruskan tradisi yg sama kepada anak-anak kita. Tetapi sekarang Sinter Klaas yg orisinil dari Belanda itu sudah jarang terlihat. Yg ada malahan Santa Claus, sang tiruan Sinter Klaas. Santa Claus itu dari Amerika Serikat, dan nilai relijiusnya sudah sangat berkurang walaupun kita tetap bisa menangkap nuansa-nuansa magis di sana. Magickal nuances. Nuansa-nuansa magis. Dan itulah yg kita cari sepanjang hidup kita, walaupun harus dengan tersenyum meringis ketika kita mencarinya di tumpukan sampah yg kita sebut sebagai "kerak". Kerak is nasi yg sudah kering. Tidak enak dimakan, tetapi kalau mau bisa. Dan bisa kenyang juga. Kerak bagi saya ditemukan di gereja Katolik. Saya bukan anggota gereja Katolik, tetapi sampai lulus SMA saya bersekolah di sekolah Katolik, dan kami dididik untuk ikut Misa Kudus seminggu sekali. Waktu masih sekolah, murid-murid disarankan untuk berdoa di dalam gedung gereja sebelum masuk kelas. Ceritanya berdoa kepada Tuhan. Saya juga begitu, saya pikir bisa ketemu Tuhan dengan cara masuk gedung gereja setiap pagi. Berlutut di tempat yg disediakan, lalu berdoa. Ternyata tidak ada Tuhan di sana. Yg ada cuma nuansa-nuansa magis setiap kali Natal mendekat. Saya ingat bahwa guru-guru sekolah minggu saya akan mempersiapkan anak-anak kecil sejak jauh hari sebelumnya. Latihan untuk pentas Natal. Ada yg ikut main drama, jadi Maria atau Yosep. Lalu ada boneka yg ceritanya menjadi bayi Yesus... Ada yg dapat tugas baca deklamasi. Lalu ketika saatnya tiba kami akan berpentas di depan tamu-tamu: para orang tua dan teman-teman lainnya yg semuanya diundang. Lagu-lagu Natal yg bernuansa magis dinyanyikan berulang-ulang. Kue taart, kado, permen, hadiah-hadiah... Ini semuanya magis bagi saya, tetapi saya tahu bahwa saat-saat itu tidak akan terulang kembali. Saya bisa mengikuti sentimen relijius orang Amerika di dalam film-film bertemakan Natal yg selalu diputar di televisi kita setiap hari Natal karena saya mengalaminya sendiri, besar di lingkungan gereja yg sangat dipengaruhi oleh tradisi Belanda. Teman-teman sekolah minggu saya boleh bilang semuanya orang Indonesia Timur, mostly Menado dan Ambon. Dan orang-orang tua mereka kalau bicara masih suka pakai bahasa Belanda. Itu di gereja Protestan, gereja orang tua saya. Di gereja Katolik nuansanya lain lagi, walaupun pastornya masih orang bule saat itu. Gereja Katolik selalu bernuansa Jawa dari dahulu sampai sekarang. Walaupun saya sejak kecil sudah tahu bahwa oom saya agamanya Islam, cuma belakangan saja saya tahu bahwa kakek buyut saya yg orang Gorontalo aslinya beragama Islam. Dia dan istrinya pindah ke Kristen. Anak-anaknya menjadi Kristen juga, termasuk kakek saya, walaupun di tiap generasi selalu saja ada yg Islam. So, rupanya agama seperti baju saja di keluarga saya, bisa diganti-ganti. Kita bisa berganti agama tanpa berganti Tuhan. Tuhan itu ternyata sama saja, apapun agama kita. Itu pemahaman saya sejak masa kanak-kanak. Yg saya tidak tahu, ternyata nuansa-nuansa magis tentang Tuhan tidak bisa begitu saja dimunculkan. Ada personal history, sejarah pribadi sejak masa kanak-kanak di mana simbol tertentu akan bisa memunculkan sentimen tertentu. Ketupat lebaran punya makna relijius tersendiri bagi saya, contohnya. Walaupun keluarga kami tidak puasa, kami selalu ikut merayakan Idul Fitri. Makanan di rumah selalu berlimpah ruah karena teman-teman orang tua saya akan menghantarkan makanan. So, bagi saya bahkan sampai saat ini, Natal dan Tahun Baru, dan juga Lebaran sebenarnya merupakan hari raya yg patut saya rayakan. Tetapi walaupun saya coba paksakan untuk rayakan sendiri, nuansa religi masa lalu itu tidak pernah muncul lagi. Tidak pernah muncul dengan pas walaupun saya akan selalu ingat bahwa teman-teman seumuran saya selalu diundang datang oleh ibu saya untuk ikut merayakan Natal. Natal used to be for everybody, Lebaran juga begitu. Tetapi itu masa lalu. Semuanya itu rusak akhir-akhir ini ketika Islam fundamentalis menginjak-injak hak orang untuk saling merayakan hari raya satu sama lain. Di masa saya kecil, Natal dirayakan oleh semua orang. Lebaran juga. Tidak ada pengkotak-kotakan agama. Tidak ada issu Kristenisasi. Tidak ada issu Islamisasi. Agama itu cuma baju yg dipakai oleh setiap orang. Bajunya bisa beda-beda, tetapi manusianya tetap saja sama, tetap manusia biasa. Kita saling melihat manusianya, dan bukan bajunya. But it no longer like that now. Tidak seperti itu lagi. MUI yg gila kuasa dan harta semakin bikin runyam semuanya. Apa yg tadinya benar-benar enjoyable akhirnya menjadi najis. Perayaan Natal di gereja menjadi najis karena polisi berseragam memeriksa semua pengunjung dengan alat deteksi bom. Mungkin anda tidak percaya, tetapi kalau kita masuk Misa Natal, kita harus melewati penjagaan polisi yg membawa alat detektor. Diperiksa apakah kita membawa bom. Semuanya tanpa terkecuali harus melewati alat itu. Ini kenajisan yg diakibatkan oleh orang-orang Islam fanatik yg meledakkan bom di gereja-gereja pada malam Natal. Dan pakaian Muslim bukannya menjadi suatu hal yg dikagumi sebagai pelengkap yg manis dilihat, melainkan telah menjadi cemoohan. Mereka yg tidak berjilbab akan melihat orang yg pakai jilbab dengan muak. Mesjid-mesjid di Jakarta yg dulu dikagumi sebagai tempat ibadah yg sopan dengan bedug aslinya yg terbuat dari kulit kambing itu akhirnya menjadi simbol dari kedegilan. Waktu saya kecil, bedug di mesjid dipukul bertalu-talu dengan tangan sehari lima kali. Suaranya merdu. Dan ada nuansa relijiusnya. Sampai sekarang kalau saya mendengar suara bedug mesjid yg asli terbuat dari kulit kambing itu, saya akan bisa terdiam. Saya terdiam, saya ingat masa kecil saya. Dug dug dug... very beautiful. Tapi tak ada lagi. Mana bedug mesjid saya ? Tak ada lagi. Yg ada cuma loudspeaker mesjid yg suaranya laknatullah. Bukan nuansa magis relijius yg tercipta, tapi rasa muak dan mual. Muak karena segalanya menjadi begitu vulgar. Sahut-menyahut saling bersaing antara mesjid yg berdekatan, bersaing memanggil Tuhan seolah Tuhan itu tidak ada. Don't they know that God lives in our consciousness ? Apakah mereka tidak tahu ? Mereka pikir Tuhan itu siapa sampai harus diteriaki dengan begitu tidak sopan ? Menjerit-jerit allahuakbar dengan loudspeaker mesjid merupakan ritual yg tidak sopan. Tidak pantas dipersembahkan bagi Tuhan yg ada di dalam kesadaran kita sendiri. Tapi itulah yg terjadi sekarang ini. Jaman berubah, nuansa berubah. Tidak ada lagi nuansa magis itu. Tapi kita masih tetap penasaran toh ? Apa benar tidak bisa lagi mencicipi nuansa yg pernah kita rasakan ketika kecil ? Apakah Natal telah kehilangan artinya karena polisi berseragam menjaga pintu masuk gereja dengan detektor bom ? Apakah Lebaran telah begitu vulgarnya sehingga suara bedug asli yg terbuat dari kulit kambing dan kayu sudah tidak pernah terdengar lagi, dan yg ada cuma tong kosong saja yg dipukul dengan histeris sambil teriak-teriak allahuakbar sampai kita bangun pagi di hari Idul Fitri dengan kuping yg sakit dan kepala migrain sebelah ? Apa benar semuanya sudah tidak ada ? Untuk membuktikannya of course anda harus coba sendiri saja. Coba lagi, coba lagi... Biar lupa syairnya tetap ingat kuncinya. Tiap Idul Fitri saya coba untuk ingat-ingat lagi, inikah Islam masa kecil saya ataukah sudah berubah menjadi kenajisan ketika kita tidak boleh saling mengucapkan selamat hari raya karena dilarang oleh Allah melalui MUI sebagai agen tunggal-Nya ? Inikah Natal masa kecil saya ketika saya bisa lari-lari keliling gereja dan mendongak ke atas melihat oom-oom dan tante-tante yg semuanya bebas bicara pakai bahasa Belanda. Saat itu tidak ada pengkafir-kafiran. Tidak ada saling kecurigaan. Oops, ada orang-orang Islam fanatik. Mereka bikin semuanya hancur lebur berantakan. Belanda is kafir, katanya. Bahkan Jawa asli juga kafir. Akibat kepongahan orang-orang Islam fanatik itu, akhirnya "kerak" peninggalan memory masa kecil juga sudah susah untuk dimakan akhir-akhir ini. Susah tertelan keraknya. Walaupun rindu dan mau, sudah susah tertelan keraknya. + Leo @ Komunitas Spiritual Indonesia <http://groups.yahoo.com/group/spiritual-indonesia>. Sinter Klaas sebagai simbol dari Tuhan atau Allah yg diajarkan kepada anak-anak yg dibesarkan di lingkungan Nasrani bernuansa Belanda. Get your new Email address! Grab the Email name you've always wanted before someone else does! http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/