Tulisan kali ini  juga disajikan di website http://umarsaid.free.fr/


Catatan A. Umar Said



Suharto bersama Orde Barunya

adalah najis bangsa



(Mohon dimaklumi terlebih dahulu, bahwa dalam tulisan kali ini terdapat
kalimat-kalimat yang bernada agak keras, yang disengaja untuk sekadar
menekankan persoalan-persoalan atau memperkuat ungkapan-ungkapan tertentu)





Kedatangan tanggal 30 September sekarang ini membuat berbagai kalangan di
Indonesia teringat kembali kepada pembunuhan besar-besaran terhadap jutaan
orang yang tidak bersalah (atau yang tidak berdosa apa-apa sama sekali !) di
Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan tempat-tempat lainnya.



Hal yang demikian adalah baik sekali, karena pembunuhan besar-besaran yang
dilakukan di bawah pimpinan, atau pengarahan, atau hasutan militer dalam
tahun-tahun 1965-1966 merupakan kejahatan yang luar biasa besarnya sepanjang
sejarah bangsa Indonesia sampai sekarang. Kiranya, kejahatan terhadap peri
kemanusiaan yang merupakan aib besar dan dosa maha-berat ini  patut dikenang
terus dan dikutuk oleh seluruh bangsa, termasuk oleh anak cucu kita di
kemudian hari.



Sebab, mereka yang dibunuh ini kebanyakan adalah anggota (atau simpatisan)
PKI dan  berbagai organisasi massa buruh, tani, nelayan, prajurit, pegawai
negeri, wanita, pemuda, mahasiswa, pengusaha dan berbagai kalangan
masyarakat lainnya. Di samping itu juga telah ditahan atau dipenjarakan
1.900 000 orang (yang juga sudah terbukti dengan jelas sekali tidak bersalah
apa-apa sama sekali !) dalam jangka waktu yang berbeda-beda. Ada yang
ditahan sampai puluhan atau belasan tahun, di antaranya di pulau Buru.



Disebabkan oleh  pembunuhan massal dan pemenjaraan jutaan orang-orang yang
umumnya adalah pendukung Bung Karno itu, maka puluhan juta istri para korban
tindakan militer ini (beserta anak-anak mereka) terpaksa hidup dalam
kesengsaraan atau penderitaan yang berkepanjangan. Banyak di antara mereka
sampai sekarang (tahun 2009) masih tetap menderita akibat tindakan militer
di bawah Suharto itu.



Memperingati peristiwa 65  adalah perlu sekali


Oleh karena itu, agaknya adalah baik sekali kalau setiap menghadapi 30
September berbagai kalangan masyarakat di Indonesia bisa mengadakan berbagai
kegiatan, dalam macam-macam bentuk dan cara, untuk memperingati peristiwa
besar berdarah ini. Sebab, dengan mengadakan berbagai ragam kegiatan ini,
bisa diangkat kembali berbagai aspek yang berkaitan dengan peristiwa 30
September, atau tindakan militer di bawah Suharto yang serba
sewenang-wenang, atau pengkhianatan terhadap Bung Karno, dan dibangunnya
diktatur militer Orde Baru.



Dengan selalu mengangkat kembali berbagai hal yang berkaitan dengan segala
kejahatan  militer terhadap para pendukung Bung Karno (terutama golongan
kiri yang dipelopori oleh PKI), maka makin nyatalah  -- dan dengan jelas
sekali pula ! -- bahwa para korban pembunuhan dan para tapol itu adalah
orang-orang yang tidak bersalah atau tidak berdosa apa-apa sama sekali !!!!!
(harap perhatikan, tanda seru lima kali). Yang bersalah besar atau yang
berdosa berat sekali  adalah justru pimpinan militer di bawah Suharto
(beserta segala jenis pendukungnya, antara lain Golkar). Hal ini adalah
sulit sekali dibantah.



Sekarang, sebelas  tahun sesudah turunnya Suharto dari jabatannya sebagai
presiden dan tumbangnya diktatur militer Orde Baru, keluarga para korban
pembunuhan massal dan pemenjaraan besar-besaran, yang selama 32 tahun
dibungkam suara mereka, dikucilkan, dan disiksa dengan

berbagai macam tindakan dan segala macam  peraturan-peraturan yang
aneh-aneh, mulai buka suara untuk menggugat segala perlakuan yang tidak
manusiawi yang berkepanjangan itu.



Menggugat dan mengutuk Orde Baru adalah benar dan luhur



Bahwa mereka menggugat, atau mengutuk segala tindakan kejam dan tidak
bermanusiawi itu adalah hal yang wajar, benar, luhur dan juga 100% sah-sah
saja. Adalah hak mereka yang terhormat dan juga mulia bahwa mereka menggugat
atau mengutuk berbagai kekejaman diktatur militer Suharto terhadap begitu
banyak orang itu ! Sebaliknya, tidak menggugat atau tidak mengutuknya adalah
sikap moral yang salah dan juga iman yang tidak sehat. Semua orang yang
berhati nurani bersih dan bernalar waras tidak akan menyetujui tindakan atau
politik rejim militer Suharto yang sudah menyengsarakan puluhan juta
bapak-ibu beserta anak-anak itu (sekali lagi : yang tidak bersalah apa-apa
itu !), dan dalam jangka waktu yang begitu panjang pula.



Selama puluhan tahun citra bangsa Indonesia telah dipermalukan atau dikotori
oleh aib besar yang dibikin oleh Suharto dkk. Nama Indonesia (baca :
Suharto) pernah menjadi olok-olok atau cemooh di banyak  kalangan di dunia
yang mencintai demokrasi, yang menghargai HAM, atau yang beradab. Berlainan
dengan Bung Karno yang berhasil menaikkan tinggi-tinggi derajat bangsa di
mata dunia, Suharto telah membikin jatuh nama bangsa Indonesia  di lumpur
busuk yang dinajiskan banyak orang.

Karenanya, hanyalah orang-orang yang perlu diragukan kesehatan nalar mereka
atau, bahkan,  harus dipertanyakan kebersihan hati nurani merekalah yang
sekarang ini masih terus menganggap bahwa Suharto sudah amat berjasa bagi
negara dan bangsa Indonesia. Padahal, sebaliknya !



Sudah terbukti dengan jelas sekali bahwa Suharto (beserta konco-konconya
baik di kalangan militer maupun sipil, termasuk Golkar) sudah melakukan
kerusakan-kerusakan yang hebat sekali terhadap negara dan bangsa, dengan
berbagai kejahatan di bidang politik, sosial dan ekonomi, dan dalam jangka
waktu yang sangat lama.  Kita bisa melihat akibatnya itu semua sampai
sekarang, dengan banyaknya pelanggaraan HAM, menghebatnya korupsi, parahnya
kebejatan moral, meluasnya kebudayaan maling harta negara dan rakyat, makin
menghebatnya perlombaan mengejar uang haram (ingat, antara lain kasus-kasus
: bank Century, BLBI, Pertamina dll  dll dll ).



Aib besar bagi bangsa yang dibikin Suharto



Kalau kita tinjau dengan cermat, maka nyatalah bahwa separo  dari umur
Republik Indonesia (yaitu 32 tahun dari 64 tahun) dikangkangi oleh diktatur
militer Suharto, yang dibangun atas mayat jutaan yang dibantai secara biadab
dan dipenjarakan secara sewenang-wenang tanpa proses pengadilan. Dan, yang
lebih-lebih lagi menggeramkan hati banyak orang adalah bahwa Suharto
(bersama konco-konconya  dan  pendukungnya di kalangan militer dan pimpinan
Golkar) telah menumpuk harta haram besar-besaran di atas mayat, dan aliran
darah serta lautan air mata puluhan juta orang tidak bersalah apa-apa.



Mengingat itu semua,  agaknya sudah sewajarnyalah kalau banyak orang
sekarang mengatakan bahwa Suharto sekali-kali bukanlah pemimpin rakyat,
melainkan sebaliknya, yaitu pengkhianat besar kepentingan rakyat banyak. Di
samping itu Suharto adalah jelas-jelas pengkhianat pemimpin besar rakyat
Indonesia, Bung Karno. Ditambah pula Suharto adalah pengkhianat revolusi
rakyat Indonesia dalam melawan sisa-sisa feodalisme, neo-kapitalisme dan
imperialisme (terutama AS).



Karenanya, rakyat kita (termasuk generasi-generasi yang akan datang) akan
mencatat bahwa dalam sejarah bangsa Indonesia tidak adalah « tokoh » yang
melakukan berbagai politik anti-kerakyatan sebengis Suharto selama 32 tahun,
sambil sekaligus mencuri harta bangsa sebanyak yang ia lakukan.  Banyak
sejarawan, politisi, dan sarjana-sarjana  -- yang jujur dan berhati nurani
yang bersih – yang akan menyimpulkan bahwa dalam  hal yang beginian,
jelaslah bahwa Suharto tidak ada bandingannya di Indonesia, bahkan mungkin
juga untuk selama beratus-ratus tahun yang akan datang.



Sebab, menurut agama apapun di dunia dan juga menurut nalar yang beradab,
membunuh hanya satu orang yang tidak bersalah saja sudah merupakan kejahatan
yang mengandung dosa berat dan juga harus dihukum (contohnya : pembunuhan
hakim agung Syafiudin Kartasasmita oleh Tommy Suharto atau tuduhan
pembunuhan Nasrudin oleh Antasari) maka mengapa justru pembunuhan jutaan
orang tidak bersalah didiamkan saja? Siapa sajakah yang membunuh atau
menyuruh bunuh begitu banyak orang itu ? Dan siapa sajakah yang harus
bertanggung-jawab terhadap pemenjaraan begitu banyak orang tidak bersalah
begitu lama itu? Semua ini juga merupakan aib besar sekali  bagi bangsa,
yang dibikin Suharto beserta  para pendukungnya.



Melupakan kejahatan Orde Baru adalah sulit sekali



Aib besar dan dosa berat ini akan tetap menghantui bangsa kita (termasuk
anak-cucu kita di kemudian hari) selama para pendukung setia Suharto  (baik
di kalangan militer maupun Golkar dan sejenisnya) masih belum
terang-terangan dan tegas-tegas mengutuk segala kejahatan besar yang dibikin
Suharto bersama Orde Barunya selama puluhan tahun itu. Mengutuk dengan tulus
dan tegas segala kejahatan Suharto bersama Orde Barunya adalah salah satu
cara  untuk membuang aib besar atau najis yang mengotori sejarah bangsa
ini..



Sebab, segala kejahatan  yang dilakukan oleh golongan militer di bawah
Suharto adalah sedemikian  bengis dan ganasnya, serta sedemikian luas dan
banyaknya, sehingga tidaklah  mudah untuk dilupakan begitu saja oleh
berbagai kalangan masyarakat yang mendambakan keadilan demi kebenaran. Dan
sikap yang demikian itu adalah tepat, juga  benar dan adil.  Melupakan sama
sekali berbagai kejahatan yang begitu besar oleh Suharto (dan
konco-konconya, termasuk pimpinan Golkar) adalah salah besar ! Apalagi, atau
lebih-lebih lagi (!) , bagi keluarga para korban pembunuhan massal dan
keluarga para tapol,  mungkin  melupakan  itu semua  adalah sulit sekali.
Sikap yang begitu itu adalah wajar, atau masuk akal dan manusiawi, dan juga
bisa diterima oleh nalar yang sehat.



Dari itu semua dapat dilihat bahwa pemerintahan Suharto (yang disokong para
jenderal yang pada umumnya juga berlepotan dengan berbagai macam dosa, dan
pimpinan Golkar) merupakan najis yang mengotori sejarah bangsa, yang pernah
ditulis dengan indah dan penuh dengan keluhuran oleh para perintis
kemerdekaan sejak 1908 (Boedi Oetomo), diteruskan oleh gerakan politik
Islam,  nasionalis, komunis  (ingat : Sarekat Islam, Sarekat Rakyat,
pembrontakan PKI tahun 1926 terhadap Belanda, pidato Bung Karno “Indonesia
Menggugat”, lahirnya Sumpah Pemuda, Proklamasi 1945). Mengingat itu
semuanya, tidak salahlah kalau ada orang atau kalangan yang mengatakan bahwa
dalam sejarah bangsa Indonesia Suharto bersama Orde Barunya adalah sampah
yang selayaknya (bahkan, seharusnya !) dinajiskan oleh rakyat. .



30 September dan Munas Golkar di Pakanbaru



Dalam menghadapi 30 September (dan kebetulan juga akan diselenggarakannya
Munas Golkar di Pakanbaru tidak lama  lagi) semua itu adalah hal-hal yang
bagus sekali kita jadikan renungan bersama, baik bagi yang menentang Suharto
bersama Orde Barunya,  maupun bagi mereka yang masih mempunyai ilusi untuk
mendukung sisa-sisanya.



Selama ini,  sejarah Indonesia sudah membuktikan, dan akan menunjukkan
bukti-bukti yang lebih jelas -- dan lebih banyak lagi -- di kemudian hari
bahwa selama kekuasaan negara dan politik di dominasi oleh golongan yang
berorientasi kepada politik Orde Barunya Suharto maka tidak akan
mendatangkan kebaikan bagi sebagian terbesar rakyat. Sebab, berlainan sama
sekali dengan politik atau ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, bisalah
dikatakan dengan jelas dan tegas-tegas bahwa segala politik Orde Baru (yang
diteruskan oleh berbagai pemerintahan) adalah pada umumnya tidak
menguntungkan rakyat, bahkan anti-rakyat.



Kita semua (kalau tidak kita, maka mungkin anak cucu kita) akan sama-sama
menyaksikan bahwa siapa pun menjadi pimpinan negara, atau golongan atau
partai apa pun yang memegang pemerintahan di Indonesia , maka tidak akan
bisa mendatangkan kebaikan bagi kepentingan sebagian terbesar rakyat kita,
kalau masih tetap bepegang kepada segala hal yang berjiwa atau berbau Orde
Baru, dan menentang ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno.



Inti jiwa atau jati diri Suharto beserta Orde Barunya adalah anti
ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno, yang merupakan ajaran-ajaran
pro-rakyat untuk melawan segala kekuatan reaksioner di dalam negeri maupun
luar negeri. Ajaran-ajaran revolusioner pro-rakyat ini telah dituangkan
dengan bagus sekali oleh Bung Karno sejak mudanya (ingat, antara lain  :
idee Nasakomnya sejak tahun 1926, Indonesia Menggugat, Dibawah Bendera
Revolusi jilid I dan II, Revolusi Belum Selesai jilid I dan II).  Dengan
menentang dan melarang ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno yang demikian
luhur dan gemilang ini, maka jelas sekalilah bahwa Suharto bersama
konco-konconya atau pendukung setianya (antara lain pimpinan Golkar)  adalah
betul-betul sampah sejarah,  yang patut dinajiskan oleh bangsa, dan juga
oleh anak-cucu kita.



Paris, 28 September 2009



===



Harap simak juga :



Mengenang turunnya Suharto dan ambruknya Orde Baru (21 Mei)

Suharto bukanlah pahlawan dan bukan pula guru bangsa!

Peristiwa 65, Suharto dan Bung Karno

Aib besar dan dosa berat ini harus kita buang jauh-jauh



Pengalaman korban perisriwa 65 adalah guru besar bangsa


Kirim email ke