Tulisan ini  juga disajikan di website http://umarsaid.free.fr/


Catatan A. Umar Said



Nyoto tokoh PKI yang luar biasa !



Majalah Tempo edisi 5-11 Oktober 2009 telah menyajikan edisi khusus “Njoto
dan tragedi G30S”, yang terdiri dari 36 halaman (dari halaman 49 sampai 85).
Edisi khusus ini merupakan hasil dari usaha banyak orang yang sudah
mencurahkan waktu dan tenaga, untuk menghimpun bermacam-macam bahan mengenai
sejarah hidup Njoto, wakil ketua II  CC PKI, yang dibunuh oleh militer
secara gelap, tanpa pemeriksaan dan tanpa pengadilan, dan karenanya tidak
diketahui kuburannya sampai sekarang.



 “Njoto dan tragedi G30S” bisa dibaca sebagai bunga rampai yang disusun oleh
tim edisi khusus Tempo, sesuai dengan gaya dan selera jurnalistik majalah
ini,  tentang berbagai soal yang berkaitan dengan keluargannya, kegiatannya
sebagai pimpinan PKI,  kelebihan-kelebihannya sebagai politikus sekaligus
sebagai seniman, hubungannya yang erat dengan Bung Karno, masalah-masalah
pribadinya yang berkaitan dengan asmara, dan banyak segi-segi lainnya,
termasuk masalah G30S.



Dengan dibuatnya edisi khusus “Njoto dan tragedi G30S” maka masyarakat umum
mendapat tambahan bahan bacaan atau informasi, yang bisa memperkaya
pengetahuan kita bersama mengenai putra bangsa yang termasuk brilian di
banyak bidang ini. Mudah-mudahan, inisiatif redaksi Tempo dengan menyajikan
edisi khusus tentang Njoto ini menggugah berbagai orang (terutama yang
pernah mengenalnya dari dekat) untuk membuat kesaksian atau karya-karya
lainnya dalam macam-macam bentuk  mengenai tokoh komunis yang luarbiasa ini.



Sebab, Njoto adalah salah satu di antara banyak sekali (artinya , puluhan
ribu atau bahkan ratusan ribu ?) kader-kader PKI  -- dari berbagai
tingkat -- yang sudah dibunuh di banyak tempat di seluruh Indonesia, yang
umumnya terdiri dari pejuang-pejuang rakyat yang sudah lama berjuang dengan
tulus ikhlas dan tidak mementingkan diri sendiri, bersama-sama Bung Karno,
untuk tercapainya cita-cita masyarakat adil dan makmur.



Tulisan berikut di bawah ini adalah sekelumit dari kesaksian saya, sebagai
seorang yang mendapat kesempatan untuk mengenalnya dan juga  pernah
bersama-sama bekerja di Harian Rakyat, dan berhubungan dekat  dengannya
dalam berbagai kegiatan internasional untuk menjalankan garis politik Bung
Karno (antara lain : Konferensi Wartawan Asia-Afrika, Konferensi Pengarang
Asia-Afrika, Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing).



Sebagian kecil dari tulisan yang berikut di bawah ini telah diambil oleh
redaksi Tempo untuk dirangkum dalam edisi khusus “Njoto dan tragedi G30S”
tersebut.



  1.. Umar Said


Paris,  14 Oktober 2009



*  * *







Saya mengenal dekat Bung Njoto sejak saya diajaknya untuk menjadi wartawan
di Harian Rakyat akhir  tahun 1953, yaitu sesudah kembali dari perjalanan
saya ke luarnegeri untuk pertama kalinya. Waktu itu  saya menghadiri
Konferensi Hak-hak Pemuda Sedunia di Wina (Austria) sebagai anggota
(merangkap penterjemah bahasa Inggris) delegasi pemuda Indonesia, mewakili
golongan wartawan muda. Sesudah konferensi di Wina selesai, bersama-sama
Bung Suryono Hamzah (yang ketika peristiwa 65 terjadi bekerja di Sekretariat
Negara urusan tamu-tamu negara) saya pergi ke Bukares (Rumania) untuk
mempersiapkan ikut sertanya Indonesia dalam Festival Pemuda Sedunia. Sesudah
selesai mengunjungi Bukares kami berdua diundang oleh Gabungan Pemuda
Demokratik se-Tiongkok untuk berkunjung ke Peking.



Kunjungan kami berdua ke Peking dalam tahun 1953 ini sangat besar
pengaruhnya bagi perkembangan pandangan politik  saya tentang berbagai hal,
terutama mengenai Tiongkok.  Saya datang di Peking ketika kemerdekaan
Tiongkok baru 4 tahun diproklamasikan oleh Mao Tsetung di Tian An Men, yang
waktu itu masih merupakan lapangan yang tidak begitu besar.



Selama dalam perjalanan itu saya membuat  reportase bersambung (terdiri dari
banyak artikel) yang dimuat oleh suratkabar SIN PO, yang membiayai tiket
pesawat terbang KLM  untuk saya dari Jakarta-Zurich. Rupanya tulisan-tulisan
saya ini menarik perhatian banyak orang, termasuk Bung Njoto, yang waktu itu
sudah aktif sejak lama di Harian Rakyat. Dalam suatu kesempatan, waktu
bertemu dengannya (di pertengahan atau akhir 1953), ia menawari saya untuk
bekerja sebagai anggota redaksi Harian Rakyat. Sejak itulah saya sering
bertemu dengannya, terutama pada malam hari ketika ia datang untuk menulis
artikel atau editorial dan pojok untuk Harian Rakyat, sesudah kesibukannya
yang padat sekali sebagai pimpinan PKI di samping berbagai kegiatannya yang
lain-lain.



Kerja bersama di Harian Rakyat


Dari pekerjaan saya sebagai anggota redaksi Harian Rakyat antara akhir  1953
sampai pertengahan 1956, dan sering bekerja bersama-sama dengannya, saya
kagum terhadap sosok pemimpin PKI yang masih muda sekali (sekitar 27 tahun
waktu itu) tetapi yang kelihatan hebat sekali dalam banyak hal. Dalam
diskusi-diskusi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan isi suratkabar
partai ini  kelihatan sekali ia menguasai banyak soal secara baik. Sudah
tentu, sebagai wakil ketua CC PKI, ia tahu banyak mengenai seluk-beluk dunia
politik Indonesia  waktu itu.



Tetapi, dalam diskusi-diskusi dalam redaksi itu juga kelihatan segi-seginya
yang kuat dan menonjol dalam masalah sastra, musik, atau seni pada umumnya.
Bagi saya, Bung Njoto adalah seorang seniman yang ulung di samping seorang
politikus yang sangat brilian, dan seorang publisis atau wartawan dan
sekaligus sastrawan yang berbakat. Karena itu, tidak salahlah kiranya Bung
Karno memilihnya sebagai pembantu dan teman seperjuangannya.



Seingat saya, selama saya bekerja di redaksi Harian Rakyat, ia tidak pernah
marah-marah dengan kasar terhadap siapa saja. Sidang-sidang redaksi di bawah
pimpinannya selalu  berlangsung dengan sejuk dan menyenangkan. Yang sampai
sekarang masih saya ingat adalah peringatannya dalam menulis sesuatu. Ia
mengatakan supaya semua tulisan-tulisan diperiksa berkali-kali sebelum
diserahkan kepada redaktur yang bertanggungjawab. Sebab, sekali ada
kesalahan, maka akan besar akibatnya kalau sudah cetak.



Seingat saya lagi, tidak seorang pun di antara anggota redaksi Harian
Rakyat, yang menganggap sosok Bung Njoto sebagai orang yang sombong atau
sok, walaupun ia adalah wakil ketua CC PKI dan dekat dengan Bung Karno, dan
disukai oleh banyak orang di Lekra atau berbagai kalangan yang luas lainnya.



Dalam pergaulan di luar pekerjaan redaksi, Bung Njoto juga cukup luwes,
lincah dan hangat. Saya masih ingat ketika kami sering bersama-sama
dengannya makan nasi dengan gulai kambing di jalan Gondangdia Lama pagi-pagi
sekali (masih gelap) sesudah koran mulai dicetak. Atau makan bakmi di jalan
Krekot. Tetapi suatu pengalaman yang tetap terkenang dalam ingatan saya
sampai sekarang (sesudah lebih dari 50 tahun) ialah ketika saya berangkat
dengan pesawat terbang menuju Padang dalam tahun 1956 untuk mulai memimpin
suatu suratkabar.



“Orang luar” memasuki daerah Minangkabau


Ceritanya begini. Pada suatu hari, dalam pertengahan tahun 1956, Bung Njoto
memberitahukan kepada saya bahwa ada suratkabar di Padang (Harian
PENERANGAN) , yang dterbitkan oleh pimpinan Baperki cabang Padang,  yang
juga seorang  tokoh Katolik, bernama Lie Oen Sam, membutuhkan penggantian
pimpinan redaksi.  Ia menawarkan lowongan yang baik ini kepada saya, dan
menanyakan apakah saya bersedia menerimanya. Ia menyakan itu karena waktu
itu di Sumatra Barat sedang terjadi ketegangan karena pergolakan politik
yang pada pokoknya menentang berbagai politik pemerintah pusat (Jakarta).
Dan suara-suara anti Bung Karno dan anti-PKI juga sudah sejak lama
berkumandang dengan lantang waktu itu.



Bagi saya, tawaran Bung Njoto ini adalah suatu hal yang membanggakan hati
saya. Sebab, waktu itu saya berumur 28 tahun, dan belum kawin.  Dan walaupun
pengalaman saya sebagai wartawan baru 5 tahun lebih (di harian Indonesia
Raya dari 1950-1953, dan di Harian Rakyat dari akhir 1953 sampai pertengahan
1956) saya bertekad untuk mengambil risiko dengan memimpin suatu suratkabar
di daerah yang sedang bergolak dan anti-Sukarno sekaligus anti-PKI.



Rupanya, Bung Njoto juga cukup mengerti akan risiko yang mungkin saya hadapi
dengan pekerjaan memimpin suratkabar di daerah yang dikuasai secara mutlak
oleh Masyumi (bersama PSI)  yang bersekutu dengan golongan militer yang
dipimpin oleh Letkol Achmad Husein. Oleh karena itu saya dianjurkannya untuk
bertemu dan minta nasehat-nasehat kepada Bung Bachtarudin, anggota CC PKI
yang berasal dari Sumatra Barat dan yang cukup terkenal di daerahnya karena
perjuangannya di jaman revolusi 45 sebagai komisaris besar polisi.



Keprihatinan (atau kehati-hatian) Bung Njoto terhadap segala risiko yang
saya hadapi di daerah yang sedang bergolak waktu itu adalah wajar dan ada
dasarnya. Sebab, saya adalah wartawan yang terang-terangan telah bekerja di
Harian Rakyat, organ sentral PKI. Ditambah lagi saya berasal dari Jawa
Timur. Bagi “orang luar” semacam saya, ditambah dengan suasana daerah yang
tidak ramah kepada golongan yang mendukung politik Bung Karno pada waktu
itu, adalah sulit sekali untuk “memasuki “ daerah Minangkabau.



Berkat bantuan Bung Njoto saya beruntung mendapatkan berbagai nasehat yang
berharga sekali  bagi saya dari Bung Bachtarudin untuk memasuki masyarakat
Minangkabau dengan memimpin Harian PENERANGAN, sampai tahun 1960.



Bahwa Bung Njoto memberi perhatian besar kepada pekerjaan baru saya sebagai
pemimpin redaksi di daerah Masyumi dan PSI yang bersekutu dengan Letkol
Achmad Husein ( yang kemudian menjadi pusat pembrontakan PRRI)
termanifestasi ketika ia memerlukan mengantar keberangkatan saya ke Padang
di lapangan terbang Kemajoran.



Tindakannya yang demikian itu sangat membesarkan hati saya waktu itu. Sama
besarnya ketika  saya ditugaskan olehnya sebagai wartawan Harian Rakyat
untuk meng-cover Konferensi AA di Bandung yang bersejarah itu dalam
tahun1955.



Titik-titik pertemuan antara PWAA, Bung Njoto dan Bung Karno


Ketika saya sudah pindah ke Jakarta dalam tahun 1960 untuk menjadi pemimpin
redaksi suratkabar Harian EKONOMI NASIONAL maka hubungan saya dengan Bung
Njoto mulai makin dekat dan juga makin sering bertemu. Sebab, ia memberikan
perhatian besar terhadap teman-teman wartawan yang melakukan
kegiatan-kegiatan melalui PWI, PWAA, KPAA (Konferensi Pengarang Asia-Afrika)
OISRAA (Organisasi Indonesia untuk Setiakawan Rakyat Asia Afrika), Ganefo,
KIAPMA  (Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing), Komite
Perdamaian dll dll.



Karena saya dipilih sebagai bendahara Panitia Pusat KWAA (Konferensi
Wartawan Asia-Afrika) dan kemudian juga dipilih sebagai bendahara PWI Pusat
merangkap bendahara PWAA, maka hubungan saya dengan Bung Njoto menjadi makin
erat. Karena saya waktu itu sering sekali melakukan berbagai misi untuk PWAA
ke luar negeri dan ikut menjalankan politik Bung Karno mengenai perjuangan
melawan nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) dalam skala Asia–Afrika
maka saya menyaksikan bahwa dalam banyak hal ada titik-titik pertemuan
antara PWAA, Bung Njoto dan Bung Karno.



Dari kegiatan-kegiatan itu semualah saya dapat mengetahui bahwa Bung Njoto
mempunyai hubungan atau kenalan yang banyak dengan tokoh-tokoh besar di
dalam negeri dan di luar negeri, dan karenanya mempunyai wawasan yang cukup
luas tentang masalah internasional, terutama yang berkaitan dengan
perjuangan rakyat Asia-Afrika melawan nekolim. Mungkin, ini semua jugalah
yang  merupakan latarbelakang  kedekatan politik dan jiwa antara Bung Karno
dengan Bung Njoto. Tidak salahlah kalau ada orang mengatakan bahwa di antara
tokoh-tokoh politik di Indonesia pada waktu itu, baik yang dari golongan
nasionalis, agama maupun komunis, Njotolah yang termasuk paling dekat dengan
Bung Karno.



Saya tidak kenal dari dekat dengan pemimpin-pemimpin tingkat tinggi PKI
lainnya, umpamanya Aidit, Lukman, Sudisman, Sakirman, atau Oloan Hutapea.
Namun saya merasa pernah merasa dekat dengan Njoto. Karenanya, dengan tidak
ragu-ragu saya bisa mengatakan bahwa Njoto adalah tokoh besar PKI yang
mempunyai banyak keunggulan yang menonjol sekali, dan karenanya ia telah
menjadi kebanggaan dan kekaguman bagi banyak orang.



====



PS.   Mengingat pentingnya isi edisi khusus majalah Tempo “ Njoto dan
tragedi G30 S” yang menarik untuk diketahui oleh lebih banyak orang sebagai
bahan bacaan tambahan, maka website  http://umarsaid.free.fr/  menyajikan
berbagai tulisan dalam edisi khusus tersebut.


Kirim email ke